CALON petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengklaim bahwa dirinya sudah mendapatkan dukungan dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk maju dalam Pilkada Jakarta 2017. Ahok akan dipasangkan dengan Djarot Syaiful Hidayat yang saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Benar tidaknya klaim Ahok sebaiknya menunggu sikap resmi DPP PDIP. Karena di saat bersamaan arus bawah menunjukkan penolakan yang sangat besar terhadap Ahok. Jajaran DPD PDIP Jakarta, misalnya, terang-terangan menolak Ahok dengan mengekspresikannya melalui sebuah lagu "Ahok Pasti Tumbang" yang dikumandangkan di dalam rapat DPD PDIP Jakarta dan telah diunggah ke jejaring sosial Youtube.
Tentu penolakan arus bawah ini akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi Megawati. Apalagi sebelumnya DPD Jakarta telah melakukan penjaringan dan saat ini sudah mengerucut menjadi 6 calon kandidat yang kemudian telah diserahkan kepada Megawati. DPD Jakarta juga telah memutuskan bergabung dengan Koalisi Kekeluargaan yang jelas-jelas menjadikan Ahok sebagai musuh bersama.
Membesarkan Anak MacanSelain penolakan DPD Jakarta yang kian menguat, sebaiknya Megawati juga mempertimbangkan masa depan partai dalam menghadapi kompetisi politik di masa mendatang baik dalam level provinsi DKI Jakarta maupun dalam konstelasi nasional.
Ada dugaan bahwa pencalonan Ahok di level Jakarta hanyalah sebagai batu loncatan menuju Pilpres 2019. Diprediksi Ahok akan mendampingi Jokowi sebagai pasangan capres dan cawapres. Hal ini bisa dilihat dari beberapa langkah politik Jokowi diantaranya soal kegigihannya melobi Megawati agar memberikan dukungan kepada Ahok.
Dan bila Jokowi-Ahok jadi berpasangan dalam Pilpres 2019, bisa diprediksi pasangan ini akan menuai kemenangan, mengingat posisi sebagai petahana sehingga leluasa melakukan manuver politik menjaring pemilih sebesar-besarnya.
Dan pada Pilpres 2024, Ahok berpeluang maju sebagai Capres. Karena menurut konstitusi, dimana jabatan presiden dibatasi hanya dua periode, maka pada Pilpres 2024 Jokowi sudah tidak bisa mencalonkan diri kembali. Situasi inilah yang membuka peluang politik bagi Ahok untuk tampil sebagai capres.
Dan tidak menutup kemungkinan Ahok akan memenangkan konstestasi Pilpres 2024. Dan terbuka peluang Ahok akan melanjutkan kemenangannya pada periode kedua di Pilpres 2029. Bila rangkaian cerita ini benar-benar terjadi, maka ini bisa dikatakan sebagai malapetaka bagi PDIP. Setidaknya Ahok akan menikmati kemenangan politik hingga 17 tahun yang akan datang.
Calon AlternatifSebelum mimpi buruk itu terjadi, sebaiknya PDIP mengambil langkah politik antisipatif. PDIP jangan berani mengambil resiko membesarkan anak macan. Ongkos politiknya terlalu besar baik untuk PDIP maupun untuk kader-kader potensialnya.
Oleh karena itu dalam kontestasi Pilkada Jakarta 2017, PDIP tidak perlu ikut-ikutan mengusung Ahok. Cukup Partai Nasdem, Partai Hanura dan Partai Golkar yang mengusung Ahok.
PDIP sebagai partai terbesar yang bisa mengusung calon sendiri, harus berani mengajukan calonnya sendiri untuk menjadi penantang petahana. Banyak kader potensial PDIP yang layak diajukan menjadi lawan Ahok, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Walikota Surabaya Risma Trismaharini, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Syaiful Hidayat dan lain-lain.
Bila para kader PDIP tidak ada yang bersedia menjadi penantang Ahok, Megawati bisa mempertimbangkan 6 nama hasil penjaringan yang dilakukan oleh DPD DKI Jakarta. Namun, bila figur-figur yang ada dirasa bukan merupakan lawan sepadan bagi Ahok, Megawati bisa mempertimbangkan calon alternatif yang memiliki peluang terbesar bisa mengalahkan Ahok.
Calon alternatif tersebut misalnya mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli. Selain memiliki popularitas yang sangat tinggi, Rizal Ramli memiliki garis perjuangan yang senafas dengan PDIP. Dua keunggulan itulah yang bisa dijadikan modal untuk menggenjot elektabilitasnya hingga bisa mengalahkan Ahok.
Rizal Ramli adalah simbol kepedulian terhadap rakyat kecil. Dengan slogan membangun Jakarta tanpa air mata, Rizal Ramli aktif mendatangi kantong-kantong rakyat, terutama wilayah-wilayah yang menjadi korban penggusuran Ahok.
Rakyat Jakarta juga sudah banyak yang mengetahui sepak terjang Rizal Ramli dalam memperjuangkan kepentingan rakyat kecil. Penghentian proyek reklamasi Pulau G adalah buktinya. Meskipun harus kehilangan jabatan, Rizal Ramli tetap berkomitmen membela kepentingan para nelayan dan kepentingan negara yang terganggu oleh proyek reklamasi Pulau G.
Pilihan yang MenentukanAkhirnya semuanya kembali kepada Megawati, akan menjatuhkan pilihan kepada siapa. Keputusan saat ini akan menentukan masa depan partai hingga 17 tahun ke depan.
Memberi peluang kepada Ahok sama saja dengan memelihara anak macan. Usia Ahok masih sangat muda, kiprah politiknya masih membentang panjang. Daya dobrak dan jelajahnya sudah tidak perlu diragukan lagi. Ahok juga tak segan lompat perahu dan meninggalkan kendaraan lama.
Gaya berpolitik yang super pragmatis terbukti sudah berkali-kali mengecewakan partner politik. Sebut saja, Partai Golkar pernah ditinggalkannya saat memutuskan merapat ke Partai Gerindra demi berduet dengan Jokowi dalam Pilkada Jakarta 2012.
Ketika Jokowi naik menjadi Presiden dimana otomatis kursi gubernur Jakarta jatuh ke tangannya, Ahok tak segan-segan mencampakkan Partai Gerindra yang dulu pernah ditungganginya.
Menjelang Pilkada Jakarta 2017, bersama relawan politiknya, Ahok berencana menggandeng Heru Budi Hartono sebagai pasangannya untuk bertarung dalam pilkada melalui jalur perseorangan. Lagi-lagi, Ahok mencampakkan partner politiknya dan kini berniat maju bersama Djarot Syaiful Hidayat.
Gaya berpolitik Ahok yang tidak menjunjung loyalitas berbalik 180 derajat dengan komitmen politik Megawati yang sangat menjunjung tinggi loyalitas. Lihat saja bagaimana marahnya Megawati ketika merasa dikhianati oleh SBY. Amarah itu hingga kini belum padam dan entah sampai kapan akan mereda.
Jangan sampai kejadian serupa terulang kembali. Ahok sudah terbukti tidak bisa memegang loyalitas dalam berpolitik. Menjadikan Ahok sebagai kandidat maka siap-siap saja dikecewakan. Daripada dikecewakan lebih baik tidak usah memelihara anak macan.
[***]
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan