Sampah terus menggunung di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, kendati pengelolaannya telah diambil alih Pemprov DKI. Ditambah lagi, bau sampah terus mengganggu warga kawasan tersebut.
Tiga truk sampah hijau muda mengantre di depan pintu gerÂbang TPST Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Ketiga truk tersebut menunggu giliran untuk melewati jembatan timbangan yang berada di balik gerbang TPST Bantar Gebang. Setelah melewati timbangan tersebut, truk-truk itu menuju tanjakan yang ada di sisi kiri, untuk memÂbuang sampah.
Ada enam wilayah (zona) pembuangan sampah yang terseÂdia di Bantar Gebang. Untuk Zona I, IIdan V luasnya menÂcapai 48 hektar, Zona IIIsekitar 20 hektar, Zona IV mencapai 6,5 hektar, dan zona burung sekitar 3 hektar.
Pada September lalu terjadi kebakaran di zona IIIdan IV. Lahan yang terbakar di zona IV seluas 3 hektar, sementara di zona IIIseluas 5 hektar. Sehingga, total lahan yang terbakar 8 hektar.
Setiap hari, ratusan pemuÂlung mengais rezeki di enam zona tersebut. Bau sampah buat merekaadalah teman. Setiap harinya para pemulung ini bergulat di antara kerumuÂnan lalat dan belatung demi sesuap nasi. Mereka bergantung pada sampah yang datang ke Bantargebang.
Salah satunya adalah Iman. Pria asal Jawa Tengah ini, setiap hari harus bersaing dengan para pemulung lainnya di Zona V. Berbekal karung plastik yang telah dimodifikasi untuk dapat menampung sampah lebih banyak, Iman berjuang di antara tumpukan sampah. Tak lupa perlengkapan lainnya, seperti ganco dan sepatu butut yang setia melindungi kakinya.
"Kerja seperti ini jadi biasa jika sudah belasan tahun. Toh, apa yang kami lakukan ini halal. Tak apa-apa kerja seperti ini, yang penting dapur di kontrakan tetap ngebul," jelas Iman.
Menurut pria lulusan SMP itu, menjadi pemulung tidak semuÂdah yang terlihat. Mereka harus bersaing ketat dengan sesama pemulung, untuk mendapatkan sampah yang bisa dijual.
"Ada ratusan pemulung yang mencari peruntungan di sini. Belum lagi bahaya longsor yang mengancam nyawa setiap waktu. Karena setiap hari tumÂpukan sampah semakin tinggi," tuturnya.
Amin menyatakan, penghasilannya dari hasil mengais sampah, kerap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Karena itu, sebaÂgai masyarakat bawah, dia hanyaberharap biaya hidup lebih murah. "Ya, sekarang ijazah SMP untuk kerja bisa jadi apa? Paling cuma bisa mulung seperti ini," ucapnya.
Dia mengaku tidak mengetahui, perihal pengambilalihan Bantargebang oleh Pemprov DKI Jakarta. Bapak dua anak itu tidak mau ambil pusing dengan masalah tersebut. Asalkan, dirinyatetap dibolehkan memulung di tempat tersebut.
"Saya sih terserah saja kalau Pemprov DKI mau ambil alih, dan menjadi pengelola Bantar Gebang. Toh tidak setuju juga, saya tidak bisa apa-apa. Yang penting, saya bisa tetap mulung di sini," tandasnya.
Jika pemulung masih bisa "menikmati" pengambilalihan Bantargebang oleh Pemprov DKI, tidak demikian dengan warga sekitar. Warga di sekitar TPST Bantargebang saat ini tak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi sampah di lokasi terseÂbut. Meski berdampak kepada kesehatan warga, khususnya anak bayi dan balita karena harus mencium bau sampah yang sangat menyengat.
Soalnya, warga takut pada anÂcaman yang disampaikan pimpiÂnan daerah, yakni bila ada yang melakukan aksi penolakan dan protes terhadap berlangsungnya kerja di lokasi, akan ditangkap dan diproses hukum.
"Mau apa lagi. Kami dilarang protes, diancam ditangkap. Kita bukan takut ditangkap, karena pasti dibebaskan. Cuma kalau harus bolak-balik ke Polda buang waktu saja. Jadi pasrah saja sama Allah," kata Wanardi, warga Ceketing Udik, Bantargebang.
Dia menambahkan, pengeloÂlaan TPST Bantargebang saat ini semakin kacau kondisinya. Seperti kondisi bau sampah, lingkungan, dan jalan yang sekarang banyak berserakan sampah, serta gangguan truk sampah yang sering mengantre untuk masuk.
"Yang lebih dikhawatirkan itu soal kesehatan warga, karenadampak sampah timÂbulnya jangka panjang, khususnya bagi anak bayi dan balita," ucapnya.
Menurut Wanardi, warga diam bukan berarti tak bertindak, hanya warga sepakat menungguwaktu yang sudah ditentukan sambil melihat kondisi. Kalaupun dari waktu yang ditenÂtukan makin buruk, warga sudah berencana mengadu ke DPRD Kota Bekasi.
"Kalau bertindak sendiri tidak bisa, nanti kami malah dituduh PKI. Makanya, paling kami mengadu ke DPRD, cuma kapannya belum bisa dipastikan. Untuk saat ini, kami masih memaklumi masa transisi Pemprov DKI daÂlam pengelolaan sampah yang sebelumnya dilakukan pihak lain," tuturnya.
Selain bau sampah, masyarakat di sekitar TPST Bantargebang juga mengeluhkan masalah ketersediaan air bersih. Mereka berharap, selain mengambil alih sepenuhnya pengolahan TPST Bantar Gebang, Pemprov DKI Jakarta juga segera memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga sekitar.
Hal itu diungkapkan Lurah Ciketing Udik, Nata Wirya. Dia menyatakan, masyarakat setempat belum sepenuhnya mendapatkan air bersih. Ini mengingat kondisi sampah yang sudah menggunung di tengah-tengah pemukiman warga di tiga kelurahan di Kecamatan Bantargebang. Kondisi ini telah mencemari sumur-sumur air milik warga setempat.
"Di kantor kelurahan ini saja, air sudah tidak bisa dipakai unÂtuk minum. Paling hanya bisa diÂpakai untuk mencuci kendaraan dan mandi. Tapi kalau untuk minum atau masak, masyarakat membeli air bersih," kata Nata di Kantor Kelurahan Ciketing Udik, Bantargebang.
Sebenarnya, lanjut Nata, pengelola TPST Bantar Gebang sebelumnya sudah membuat tiga sumur artesis (air bersih) untuk masyarakat. Hanya saja, pengelola sebelumnya tidak memberikan fasilitas pipanisasi hingga ke rumah-rumah warga. Sehingga, penggunaan air bersih dari tiga sumur artesis yang suÂdah ada, masih belum dapat diÂgunakan masyarakat terdampak yang berada di sekitar TPST Bantargebang.
"Kami berharap, Pemprov DKI dapat menambah sumur artesis untuk memenuhi kebuÂtuhan air bersih bagi masyarakat. Kemudian, pipanisasi itu kami harapkan betul-betul sampai ke rumah warga," tandasnya. ***