KITA masih ingat, Medan pernah mendapat julukan Texas, sebuah ‎kota di daerah utara Amerika yang terkenal karena keras dan kurang beradab. Mungkin sebagian besar warga kota Medan tidak peduli dengan predikat atau julukan ini. Karena memang yang paling bertanggung jawab adalah aparatur dan para pimpinan yang dalam hal ini adalah Walikota dan jajarannya.
Sejak dulu Medan punya peran penting dan secara geopolitik strategis. Karena menjadi demarkasi terhadap selat Malaka dan intervensi ekonomi negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Apa yang terjadi di Medan tentu menjadi perhatian masyarakat Indonesia, khususnya warga Sumatera Utara.
Sehubungan dengan hal itu, Medan tentu saja diharapkan mampu menjadi kebanggaan dan sebuah kota yang menjadi harapan dengan citra yang sempurna. Tentu bukan sebatas citra, tapi benar-benar sesuai dengan keinginan warga, Medan menjadi kota yang bersih, aman beradab dan seterusnya.
Celakanya, wajah Kota Medan hari ini tidak semakin baik bahkan terlihat memperihatinkan. Beberapa persoalan Kota Medan seperti, transportasi, sampah dan kebersihan (bahkan akhir akhir ini banjir), premanisme, infrastruktur, sarana prasarana publik, pertanahan tata ruang selalu menjadi PR para walikota Medan.
‎Dalam menghadapi usia yang tidak bisa dikatakan muda, yaitu 426 tahun, Medan belum dapat menjadi kebanggaan warganya, apalagi kebanggaan Indonesia. Dalam minggu terakhir di bulan Juli ini, tidak terlihat aktivitas bahwa Kota Medan sedang berulang tahun, bukan perayaan yang kita inginkan, tetapi aktivitas yang mengingatkan dan membuat kita merasa memiliki dan bangga dengan kota Medan. Padahal banyak hal dapat ditampilkan, baik itu pagelaran budaya pun juga pembangunan, atau memang kedua hal itupun sudah hilang dari Kota Medan.
Hari ini kita melihat Medan sudah lebih seperti Hongkong. Ketika kita tiba di stasiun KA Medan, maka yang akan kita lihat‎ bangunan vihara yang sangat besar. Titi Gantung sebagai salah satu ikon kota Medan, tertutup oleh bangunan tempat ibadah Budha tersebut. Belum lagi bangunan ruko dan gedung gedung niaga yang juga dimiliki bangsa Cina itu semakin menjamur di Kota Medan.
Jarang sekali dan bahkan tidak pernah terlihat lagi kaum 'Boemi Poetera' memakai baju 'teluk belanga' lalu lalang di tengah kota Medan.‎ Saat ini suku asli kota Medan ini semakin terpinggirkan, baik kehilangan pengusaan atas tanah juga secara ekonomi tidak berdaya.
Disinilah salah satu peran pemerintah Kota Medan dibutuhkan. Sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap datuk-datuk para pendiri kota Medan, ‎pemerintah kota setidaknya mempertahankan bangunan, lapangan atau juga daerah yang menjadi lokal heritage seperti, Lap. Merdeka, Tugu Perjuangan, Istana dan situs budaya lainnya yang dengan narasi yang tepat serta menarik dapat menjadi atraksi pariwisata.
Sebagai kota yang haterogen dan berpenduduk cukup banyak, Kota Medan dapat menjadi center of excellence karena kebutuhan warga Sumut khususnya Medan sangat besar terhada pendidikan. Menjadikannya sebagai pusat budaya dan pendidikan pada gilirannya akan membangkitkan kebanggaan terhada Kota Medan. Hal ini dilakukan dengan memberi porsi dan keberpihakan pada kaum Boemi Poetera sebagai pemilik dan penguasa kota Medan sesungguhnya!
Selamat ulang tahun Medan, kota sejati kota pahlawan!‎
Penulis adalah pelopor Gerakan Bangga Medan dan Seknas Boemi Poetera