Berita

Pulau G, proyek reklamasi:net

On The Spot

Tak Ada Lagi Yang Usir Nelayan Dari Pulau G

Kabar Reklamasi Pantai Jakarta
JUMAT, 03 JUNI 2016 | 09:23 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Sejak dua minggu lalu, nelayan Muara Angke, Jakarta, sudah bisa mencari ikan lagi di sekitar Pulau G, proyek reklamasi. Tak ada kapal patroli dan petugas keamanan yang mengusir mereka lagi.

Sebuah kapal nelayan beru­kuran sedang, bercat hijau, mendekati Pelabuhan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. Beberapa nelayan berdiri di pinggir perahu itu, sambil me­megang tali. Mereka bersiap me­nyandarkan kapal ke pelabuhan. Tali tersebut dibutuhkan untuk menambatkan kapal itu.

Setelah kapal merapat, ne­layan lain mengangkat beberapa kotak berwarna kuning. Mereka lalu menyerahkan kotak tersebut kepada rekannya yang berdiri di pinggir Dermaga Muara Angke. Ikan berjatuhan dari kotak, ke­tika mereka memindahkannya ke pinggir dermaga.

Mereka kemudian menyusun semua kotak yang dipenuhi ikan lembang itu. Total ada 35 kotak yang dikeluarkan dari perahu. Semua kotak itu disusun menjadi enam baris, tepat di samping kapal. Semuanya merupakan hasil menjaring ikan dalam jarak 2-3 mil dari pelabuhan Muara Angke. "Kami berangkat jam 7 pagi. Jam 7 malam baru melaut lagi," ujar nelayan, Sarbam.

Sarbam mengatakan, setiap hari ia dan rekan-rekannya melaut dua kali, yaitu pagi hingga sore hari dan malam sampai subuh. Saat malam hari, para nelayan yang menggunakan perahu berukuran sedang itu, bisa melaut hingga ke sekitar kepulauan seribu.

Sebab, saat malam ikan lebih banyak berada di lokasi terse­but. Kondisi berbeda terjadi jika melaut pagi hari. Ikan juga cukup banyak berada tak jauh dari pelabuhan, sehingga dirinya tidak perlu jauh berlayar. "Tapi itu sebelum ada pulau reklamasi ya. Setelah direklamasi, ikannya hilang," imbuhnya.

Sarbam menyatakan, sekarang kondisi perairan di sekitar Muara Angke sudah sedikit membaik. Ikan memang masih sedikit akibat adanya proyek reklamasi. Namun, kini sebagian nelayan sudah bisa lebih leluasa men­cari ikan, karena Pulau G sudah kosong. Tidak ada lagi petugas yang melarang mereka mencari ikan di sekitar pulau itu.

"Sudah dua minggu ini tidak ada aktivitas proyek di pulau itu. Nelayan yang pakai kapal kecil, bisa mencari ikan di sana, tidak ada yang mengusir lagi. Kalau kami tidak bisa, karena perairan­nya terlalu dangkal," ucap dia.

Menurut Sarbam, para nelayan yang menggunakan kapal kecil, tidak hanya mencari ikan di sekitar pulau itu. Banyak yang memilih untuk menyandarkan kapal, sambil menunggu hasil tangkapan di pulau pasir itu. Sebab, nelayan yang pakai perahu kecil tidak bisa bolak-balik melaut dalam satu hari.

"Boros bahan bakar soalnya. Mereka itu sekali melaut, perginyabeberapa hari. Entah mereka sampai menginap di pulau palsu itu apa tidak," ucapnya.

Sarbam mengaku dirinya tidak mengetahui detail, bagaimana kondisi pulau tersebut saat ini. Sebab, perahu yang dinaikinya, tidak mungkin mendekati pulau, sehingga ia hanya bisa memantau dari jauh. "Itu pun hanya pandangan sekilas ketika kami melewati lokasi tersebut. Biasanya malam atau subuh sehabis mencari ikan di sekitar perairan kepulauan seribu," katanya.

Tapi dari beberapa kali memantau, lanjutnya, tidak ada alat berat lagi di pulau tersebut. Truk, bachoe, dan kapal penyemprot pasir sudah tak tampak. Begitu juga para penjaga pulau yang selalu menggunakan life jacket oranye. Dari kejauhan, yang tampak hanya hamparan pasir luas. "Selain dere­tan perahu nelayan yang merapat tentunya," tuturnya.

Kondisi tersebut dibenar­kan Koordinator Forum Kerukunan Nelayan Muara Angke (Forkema), Saefudin. Dia menegaskan, Pulau G memang dalamkondisi kosong, sehingga nelayan bisa bebas beraktivitas di sana. "Mulai kapannya tidak tahu.Saya hanya tahu dari kawan-kawan ka­lau nelayan sudah bisa nyari ikan di sana," tegas pria yang sebe­lumnya kerap melaut di sekitar wilayah Pulau C dan D ini.

Menurut Saefudin, kondisi ini tak lantas membuat nasib semua nelayan membaik. Pasalnya, aktivitas proyek di Pulau C dan Pulau D masih berjalan normal. Hal itu diketahuinya ketika melaut pada Rabu siang lalu. Ketika itu, dirinya tidak bisa merapat, karena keburu dicegah petugas keamanan pulau.

"Saya mendekat karena sebel­umnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah minta agar aktivitas proyek di kedua pulau itu dihentikan se­mentara. Tapi dari pantauan kami, tidak demikian," ucapnya.

Seperti diketahui, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melayangkan sanksi administratif berupa penghentian sementara seluruh kegiatan operasional pembangu­nan Pulau C dan D Mei lalu. PT KNI dilarang untuk melakukan aktivitas selain apa yang diperintahkan pemerintah.

Direktur Jenderal bidang Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan, sanksi administratif berlaku selama 125 hari sampai perusahaan pengem­bang yang bersangkutan, yakni PT Kapuk Naga Indah (PT KNI) dapat memperbaiki pelangga­ran dan izin lingkungan terkait pembangunan. Penghentian ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri KLHK.

Berdasarkan pantauannya, backhoe, truk, dan kapal pe­nyembur pasir masih bersiaga di kedua pulau itu. Truk berukuran sedang, bahkan terpantau bolak-balik memindahkan batu. Padahal pemerintah hanya membolehkan mereka untuk membuat kanal pemisah antara Pulau C dan D.

"Pas saya desak, katanya lagi buat kanal. Tapi kalau memang lagi bikin kanal, kok yang diang­kut truk itu pasir batu, bukan pa­sir. Bikin kanal itu kan dikeruk," terangnya.

Koordinator Forum Kerukunan Nelayan Muara Angke, Saefudin mengaku tidak bisa memastikan, pekerjaan apa yang tengah dilaku­kan di kedua pulau itu. Karena dirinya tidak bisa mendekat dari laut atau pun darat. Pasalnya, jem­batan penghubung antara Pantai Indah Kapuk dengan pulau rekla­masi juga dijaga ketat. Petugas keamanan pulau bersiaga 24 jam di area tersebut. "Coba saja kalau tidak percaya," tandasnya.

Menurut Saefudin, sebetulnyakeberadaan Pulau C dan D inilah yang paling merugikan nelayan Muara Angke. Sebab, ketika pulau tersebut mulai dibangun, pengembang bekerjatanpa memperhatikan lokasi tempat para nelayan membudidayakan kerang hijau. Semua bambu yang digunakan untuk menangkap kerang, patah akibat ditabrak. Sedangkan kerang-kerangnya menghilang karena ombak ka­pal yang lalu lalang. "Akibatnya, nelayan rugi besar. Sebab, untuk bisa melakukan itu, nelayan mem­butuhkan modal sekitar Rp 15 juta per orang," tuturnya.

Dia memaparkan, akibat kon­disi ini, banyak nelayan yang berganti pekerjaan untuk me­menuhi kebutuhan sehari-hari. Ada yang jadi kuli bangunan, pemulung, buruh atau ikut ke kapal besar. Sebab, kapal kecil sudah tidak bisa digunakan lagi untuk mencari kerang di sana.

"Air keruh, ditabur jaring pun tak ada ikan. Pendapatan turun dratis. Ada yang pindah ke perairan ke Sumatera, yakni Lampung," paparnya.

Saefudin menilai, proyek re­klamasi membuat nelayan kecil semakin terjepit. Biaya untuk melaut bertambah. Biasanya, mereka hanya membutuhkan 20 liter solar, tetapi karena adanya pulau reklamasi, maka perahu mereka membutuhkan 20 sampai 40 liter solar karena jarak yang jauh. Waktu melaut pun otomatis ikut berubah.

"Awalnya, mereka berangkat subuh dan pulang sore hari. Sekarang berangkat subuh, pulang­nya bisa subuh lagi," jelas dia.

Dia menuturkan, banyak jenis ikan yang telah menghilang dari perairan Muara Angke seperti kerapu. Ikan kembung masih bisa didapatkan disekitar Pulau C dan D. "Paling masih dapat ikan mata belo, ukurannya kecil. Udang sudah lama tidak ada," tandasnya.

Saefudin menyatakan, sejakawal para nelayan sudah ingin melakukan perlawanan keras ter­hadap dibangunnya kedua pulau tersebut. Namun, pihaknya tidak bisa melawan karena pengem­bang dikabarkan memberikan ganti rugi terhadap nelayan tertentu. "Ada yang cuma diganti Rp 3 juta, Rp 5 juta. Niat perla­wanan kami jadi kandas duluan," sesalnya.

Dia mengaku belum tahu lang­kah apa yang akan diambil para nelayan, terkait kondisi Pulau C dan Pulau D itu. Saefudin hanya berharap pemerintah bisa ber­sikap tegas kepada pengembang kedua pulau tersebut.

Sekadar informasi, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendaftarkan gugatan di PTUN terkait pemberian izin reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. KNTI menggugat SK Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.

Nelayan menilai, reklamasi tersebut berdampak buruk bagi pekerjaan mereka dan dapat mer­usak lingkungan sekitar. Mereka mendaftarkan gugatan ke PTUN pada Selasa, 15 September 2015 dengan Nomor Perkara 193/G.LH/2015/PTUN-JKT.  ***

Populer

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

MUI Tuntut Ahmad Dhani Minta Maaf

Rabu, 02 Oktober 2024 | 04:11

Rhenald Kasali Komentari Gelar Doktor HC Raffi Ahmad: Kita Nggak Ketemu Tuh Kampusnya

Jumat, 04 Oktober 2024 | 07:00

Aksi Massa Desak Polisi Tetapkan Said Didu Tersangka

Kamis, 03 Oktober 2024 | 20:43

Stasiun Manggarai Chaos!

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 13:03

UPDATE

Jelang Lengser, Jokowi Minta Anak Buah Kendalikan Deflasi Lima Bulan Beruntun

Senin, 07 Oktober 2024 | 10:00

Kekerasan Terhadap Etnis Uighur Ubah Hubungan Diplomatik di Asteng dan Astim

Senin, 07 Oktober 2024 | 09:57

Zulhas Janji akan Kaji Penyebab Anjloknya Harga Komoditas

Senin, 07 Oktober 2024 | 09:49

2 Wanita ODGJ Hamil, Kepala Panti Sosial Dituding Teledor

Senin, 07 Oktober 2024 | 09:46

Hubungan Megawati-Prabowo Baik-baik Saja, Pertemuan Masih Konsolidasi

Senin, 07 Oktober 2024 | 09:36

Pasar Asia Menguat di Senin Pagi, Nikkei Dibuka Naik 2 Persen

Senin, 07 Oktober 2024 | 09:30

Riza Patria Minta Relawan Pakai Medsos Sosialisasikan Program

Senin, 07 Oktober 2024 | 09:29

Penampilan 3 Cawagub Dahsyat dalam Debat Pilkada Jakarta

Senin, 07 Oktober 2024 | 09:26

Aramco Naikkan Harga Minyak Mentah Arab Light untuk Pembeli di Asia

Senin, 07 Oktober 2024 | 09:17

PDIP Ingatkan Rakyat Tak Pilih Pemimpin Jalan Pintas

Senin, 07 Oktober 2024 | 09:16

Selengkapnya