Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara kembali meluncurkan awan panas. Akibatnya, tujuh orang tewas dan dua orang menderita luka. Perkebunan pun rusak.
Jam baru menunjukkan pukul 15.00 WIB, tapi suasana sudah gelap. Tidak mendung, tapi abu vulkanik sedang mengguyur dengan pekatnya. Kendati cuaca sedang tidak bersahabat dan berbahaya, Tedeh Tarigan tetap beraktivitas di ladangnya.
Petani ini sibuk mengibas-ibaskan pohon tomat dan cabai. Tak juga bersih, tanaman terseÂbut dilap satu persatu. "Semoga masih banyak buah yang bisa diselamatkan," ujar Tedeh keÂpada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Kondisi perkebunan di Desa Berastepu, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo diselimuti abu vulkanik. Perkebunan yang berjarak 9 kilometer dari Gunung Sinabung ini, sudah tidak hijau lagi. Perkebunan diselimuti butiran abu yang menutupi seluruh daun, sehingga keabu-abuan.
Hampir semua petani membersihkan tanamannya dengan cara mengibas-ngibaskan daun agar abu vulkanik rontok. Setelah abu rontok, buah-buahan atau sayuran dilap menggunakan kain.
Tedeh mengatakan, luncuran abu vulkanik datang tiba-tiba, sehingga tidak banyak tanamanyang bisa diselamatkan. "Padahal, dua minggu ini sudah siap panen," kata wanita berumur 68 tahun ini sedih.
Namun, lanjut Tedeh, karena abu vulkanik menutupi tanaman, hampir dipastikan terjadi gagal panen. "Kami lagi pilah-pilah, semoga ada buah yang bisa diselamatkan agar kerugian tidak semakin besar," tuturnya.
Di ladang sekitar 2 hektar, Tedeh menanam 4 ribu pohon tomat dan 5 ribu pohon cabai. "Biaya tanam dan bibit setiap pohonnya Rp 6 ribu. Tinggal hitung saja kerugiannya," tutur dia.
Dengan perhitungan tersebut, Tedeh memprediksi kerugiannya paling tidak Rp 54 juta. "Itu beÂlum termasuk ongkos perawatan dan operasional sehari-hari," tandasnya.
Kerugian akibat abu vulkanik Gunung Sinabung, kata Tedeh, bukan sekali ini saja. Dua tahun lalu malah lebih parah karena seluruh tanamannya hancur total karena hanya berjarak 3 kiloÂmeter dari gunung. Tapi, karena lahan yang ditanaminya tak seÂluas kali ini, maka kerugiannya lebih kecil. "Saya rugi Rp 25 juta waktu itu," kenangnya.
Demi memenuhi kebutuhan hidup, Tedeh kemudian menÂcari lokasi berkebun yang aman dengan jarak 9 kilometer dari gunung. "Tapi sama saja hasilÂnya, karena arah anginnya ke sini," ucapnya.
Walaupun demikian, dia menÂcoba sekuat tenaga menyelamatÂkan tanaman yang masih bisa dijual. Dia pun masih bersyukur, kendati yang dijual, tak seberapa dibanding modal yang telah dikeluarkannya. "Syukur, hari ini masih bisa menjual 5 kiloÂgram tomat ke pengepul seharga Rp 1500 per kilo," sebutnya.
Padahal kalau tidak kena abu vulkanik, lanjut Tedeh, per kg tomat bisa dihargai Rp 3 ribu. "Yang penting masih ada yang bisa terjual," tuturnya.
Untuk itu, Tedeh meminta keÂpada pemerintah agar memperÂhatikan nasib warga yang tinggal di kawasan Gunung Sinabung. "Uang kami sudah hampir haÂbis. Makan pun seadanya saja, singkong," tutupnya.
Senada, Ramona Sembiring, warga Gurusinga, Brastagi, Karo juga terkena dampak abu vulkanik Gunung Sinabung. "Tanaman tomat dan cabai saya rusak semua," ucap Ramona terisak.
Padahal, kata pria 40 tahun ini, daÂlam waktu tidak lama lagi, tanaman di kebunnya akan panen. "Lebih satu hektare tanaman saya rusak akibat tertutup abu," tuturnya.
Demi mengurangi kerugian, Ramona berusaha sekuat tenaga memilih buah tomat dan cabai yang masih bisa dijual. Caranya, dengan mengibaskan tanaman yang kena debu dengan kain samÂpai bersih. "Syukur, hari ini bisa memilih tomat 10 kilo," kata dia.
Namun, harga tomat dan cabai yang dijualnya anjlok karenaterkena debu. "Biasanya bisa laku Rp 3 ribu per kilo. Sekarang, paling laku Rp 1000," sebut Ramona.
Dia berharap, dalam waktu dekat terjadi hujan deras agar deÂbu-debu yang menutupi tanaman bisa hilang. "Kalau harus memÂbersihkan satu persatu tanaman, tak sanggup kita," tandasnya.
Mengenai imbauan pemerintahagar warga menjauh dari gunung, Ramona menghargainya. Dia beÂralasan, kebunnya masih aman karena jaraknya cukup jauh dari gunung, lebih dari 4 km. "Kami tidak bisa jauh-jauh dari gunung, karena kami hidup dari sini, dari tanaman sayuran dan buah-buahan ini," tutupnya.
Terpisah, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, semua korban meletusnya Gunung Sinabung berada dalam zona merah, atau 4 kilometer dari puncak guÂnung. "Semua korban adalah warga Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo," sebut Sutopo.
Menurut Sutopo, Desa Gamber berada pada radius 4 km di sisi tenggara dari puncak kawah Gunung Sinabung. Wilayah ini dinyatakan sebagai daerah berbahaya atau zona merah. Berdasarkan rekomenÂdasi Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), kata Sutopo, tidak boleh ada aktivitas masyarakat di Desa Gamber karena berbahaya dari ancaman awan panas, lava pijar, abu pekat dan material lain dari erupsi.
"Sejak 31 Oktober 2014, Desa Gamber direkomendasikan seÂbagai daerah berbahaya dan masyarakatnya harus direlokasi ke tempat yang lebih aman," terangnya.
Masyarakat, kata Sutopo, juga tidak boleh melakukan aktivitas, termasuk untuk mengolah laÂhan pertanian di Desa Gamber. "Apalagi saat status Awas," tandasnya.
Makanya, dia menyayangkan masih ada masyarakat yang beraktivitas di Desa Gamber kendati sudah direkomendasikan tidak aman sejak 2014. Padahal, bila rekomendasi itu dipatuhi, seÂharusnya tidak ada korban jiwa. "Tapi, sebagian masyarakat tetap nekat berkebun dan tinggal sementara waktu sambil mengolahkebun dan ladangnya," kata dia.
Alasan ekonomi, kata Sutopo, adalah faktor utama yang meÂnyebabkan masyarakat Desa Gamber nekat melanggar laranganmasuk ke desanya.
Selain itu, Sutopo juga mengimbau masyarakat dan pengunjung untuk tidak melakukan aktivitas di dalam radius 3 km dari puncak. Juga masyarakat dalam jarak 7 km untuk sektor selatan-tenggara, jarak 6 km untuk sektor tenggara-timur, serta jarak 4 km untuk sektor utaraâ€"timur laut Gunung Sinabung agar dievakuasi ke lokasi yang aman.
Selain itu, lanjut dia, masyarakat yang berada dan bermukim di dekat sungai-sungai yang berhulu di Gunung Sinabung agar tetap waspada terhadap bahaya lahar.
Dia berharap masyarakat meÂmatuhi imbauan ini agar korban jiwa tidak bertambah, karena awan panas sangat berbahaya. Awan panas, lanjutnya, merupaÂkan campuran material berukuran debu hingga blok, bersuhu lebih dari 700 derajat celsius yang meÂluncur dengan kecepatan bisa di atas 100 kilometer per jam.
Sutopo menambahkan, tim SAR saat ini masih melakukan pencarian korban. Evakuasi cukup sulit dilakukan karena letusan Gunung Sinabung yang disertai awan panas, masih seringterjadi.
Pencarian, kata dia, dilakukan dengan tetap memperhatikan anÂcaman erupsi Gunung Sinabung. "Letusan disertai awan panas masih sering terjadi, sehingga membahayakan petugas SAR," tutupnya. ***