Bupati Bojonegoro, Jawa Timur ini nekat mengadu nasib untuk bertarung di Pilkada DKI ke Jakarta. Padahal masa jabatan dia sebagai orang nomor satu di Bojonegoro hingga 2018 nanti. Partai Amanat Nasional (PAN) yang memboyong Kang Yoto- sapaan akrab Suyoto, ke Jakarta.
Di Jawa Timur, Kang Yoto yang sudah memimpin Bojonegoro hingga dua periode ini diklaim menjadi salah satu bupati berprestasi. Di bawah kepemimpinannya, Bojonegoro terpilih menjadi daerah perconÂtohan mewakili Indonesia pada Open Government Partnership (OGP) Subnational Government Pilot Program atau Percontohan Pemerintah Daerah Terbuka.
Mengusung konsep memimpin dengan pendekatan 'keÂbahagiaan sosial', Kang Yoto menempatkan regulasi bukan menjadi senjata utama. Baginya, kesamaan hati merupakan yang utama. Kini Kang Yoto ingin tarung di arena berbeda, di Jakarta bukan Bojonegoro. Apa saja jurus yang akan diÂmainkannya di Jakarta, berikut pemaparan Kang Yoto kepada Rakyat Merdeka;
Setelah jadi bupati, mau jadi apalagi rencananya Anda?Kalau masih laku, dan ada yang nawar, saya kira jalan saja ya kita.
Kalau ada yang nawarin jadi gubernur DKI bagaimana?Kalau ada yang nawar dan laku, ya saya siap. Selama belum memutuskan pensiun dari politik harus siap terus. Selama ada keinginan publik. Karena politisi itu kan kayak supir bus, kalau ada panggilan harus siap. Dia juga harus mau diperbincangÂkan, artinya bisa mungkin diproÂmosikan, dikritik, dihadang, itulah politisi. Dia harus siap seperti itu.
Anda lebih suka jalur indeÂpenden atau parpol?Intinya, parpol ataupun jalur independen adalah kesempatan untuk menangkap keinginan rakyat. Bahwa proses pilkada, pilpres adalah sebuah proses untuk melayani rakyat.
Tapi beberapa survei bilang masyarakat mulai jenuh denÂgan parpol?Saya rasa tidak semua temÂpat orang jenuh pada parpol. Karena banyak juga yang kemuÂdian masyarakat percaya dengan parpol dan karena itulah juga percaya dengan pilihan-pilihan yang diajukan parpol.
Memangnya nggak takut dimintai mahar?Ini saya nggak tahu, karena pengalaman saya menjadi ketua partai belum pernah minta maÂhar. Saya kan juga ketua partai dulu di Jawa Timur. Boleh cek semua orang yang pernah saya beri rekomendasi.
Kalau boleh tahu, sudah berapa partai yang meminang Anda?Semua masih wacana ya, dan sebagai politisi diwacanakan itu harus mau.
Menurut Anda, jadi pemimpin itu baiknya dicalonkan atau mencalonkan diri?Itu bisa dua-duanya. Kalau masyarakatnya apatis, saya kira harus ada yang menawarkan diri. Tapi kalau masyarakatnya pro-aktif dan partai menangkap keinginan rakyat, ya saling pro-aktif, jadi jangan didikotomi, mencalonkan atau dicalonkan. Itu bukan soal mana yang lebih baik, tapi bagaimana progres mekanisme demokrasi bisa berÂjalan dengan baik.
Kalau terpilih jadi Gubernur DKI, apa saja yang perlu dibeÂnahi?Kalau saya membayangkan untuk Jakarta, apa yang sudah bagus itu harus diteruskan. Lalu tinggal ditambahin
human approach-nya.
Seperti apa itu?Human approach itu adalah pendekatan bagaimana human development semua ini kerangÂkanya adalah memajukan keÂhidupan umat manusia, kehiduÂpan warga Jakarta. Bayangan saya, DKIini kan rumah besar, bukan hanya milik warga DKI, tapi juga milik seluruh orang Indonesia. Jadi bagaimana ruÂmah besar ini menjadi nyaman dan menyenangkan.
Kesenjangan bisa diatasi, yang miskin bisa naik kelas. Yang kaya semakin memberikan manfaat untuk lingkungannya. Lalu, fasilitas publiknya dikelola bersama-sama, jangan lupa yang menentukan DKI baik atau tidak bukan hanya pemerintah DKI, tapi juga warga. Maka warga bisa berpartisipasi.
Contohnya...Soal banjir misalnya, siapa sih yang memberi sampah kalau bukan kita semua, baik langÂsung atau tidak. Maka itulah yang saya sebut perlu ada koÂlaborasi antara pemerintah dan warga, mengharuskan kita saling nyambung, saling kenal, jangan dilompatin, tahu-tahu kita bicara aturan. Tapi harus bicara dulu, setiap masalah pasti ada keingiÂnan bersama, ada visi bersama, dari situ akan muncul apa yang boleh apa yang tidak, kemudian kita konsultasikan pada ilmu pengetahuan, para ahli untuk bicara, dibuat konsensus mana yang boleh mana yang tidak. Dari situlah dibuat regulasi yang dimandatkan pada penegak aturan, ketika ditegakkan sudah nggak ada masalah.
Tapi persoalan yang dihadapi gubernur terkadang membenÂturkannya dengan sebagian masyarakatnya? Benturan pemimpin itu dimana tempatnya, kalau ditahap pertama ada niat, nggak ada benturan. Semua orang harus didengarin niÂatnya sama atau tidak. Baru yang kedua bicara visi bersama. Ini kan kolaboratif, bersama-sama. Memangnya pemimpin itu punya visi sendiri, rakyat punya visi sendiri. Kan nggak. Pemimpin itu kan pelayan rakyat, di tengah-tengah rakyat itu ada pengusaha, NGO, politisi, emang nggak bisa ketemu, ketemu dong. Ini negeri kok. Tidak ada rumus pasti, setiap masalah itu punya cara sendiri untuk menyelesaikannya.
Memangnya Anda pernah merelokasi warga tanpa geÂjolak?Pengalaman saya mengawal industri migas, yang sekarang 20 persen minyak Indonesia kan dari Bojonegoro. Itu melibatkan hampir 6.000 warga yang harus merelakan tanahnya, itu perlu proses dua sampai tiga tahun. Tapi begitu berhasil, semua menerima. Kan lancar, tidak perlu membangun pagar tinggi-tinggi.
Masak iya warga nggak ada yang melawan?Oh tadinya sempat melawan, lewat truk saja dicegat. Baru kemudian kita kumpulin, kita dengerin semua aspirasinya apa, keinginannya apa.
Akhirnya, apa keinginan penting mereka yang Anda catat?Ada tiga, waktu itu, bagaimaÂna tata ruangnya tetap dibanÂgun, mana yang boleh diubah mana yang tidak, yang kedua adalah orang-orang yang unÂskilling (tidak punya keahlian) mendapatkan pekerjaannya seperti apa, lalu (ketiga) bagaimana peluang bisnis lokal bisa mendapatkannya.
Nah dari situ kita bikin peraÂturan daerahnya, lalu penguÂsahanya kita ajak ngomong, daripada pakai pagar keamanan tinggi-tinggi, bagaimana kalau orang dibikin suka. Kalau orang suka, nanti orang akan merelaÂkan, mendukung, semua ikut bahagia. Setelah pendekatan bahagia sosial ini, jadi lancar. Kalau ada kasus salah paham bisa dengan cepat diselesaikan.
Menurut Anda antara aturan dengan keinginan rakyat, mana yang lebih didahuluÂkan?Saya kira, yang harus didengar dulu adalah aspirasi bersama. Karena pemerintah itu untuk apa sih. Pemerintah itu kan unÂtuk ngurus kehidupan bersama kan, jadi harus didengarkan bersama-sama, tapi harus didenÂgarkan keterbatasan bersama. Kemudian baru dibikin aturan untuk keinginan bersama itu bisa dipenuhi.
Jadi pemerintah tidak baik jika langsung main gusur begitu?Saya kira tidak.
Jadi kebijakan Gubernur DKI saat ini menurut Anda salah dong?Oh saya tidak ingin berkoÂmentar soal Pak Ahok.
Jika Anda yang menjadi Gubernur DKI, bagaimana Anda menyikapi reklamasi Teluk Jakarta?Pertama kita berniat reklaÂmasi atau tidak, yang kedua visi kita tentang lingkungan hidup Jakarta kayak apa, soal baÂgaimana pantai itu harus ditata. Lalu level ke tiga, bagaimana mewujudkan visi itu dengan strategi ke sana. Nah, baru yang ke mpat aturannya.
Nah sekarang, kesannya seÂmua orang berdebat soal aturan. Tapi esensinya tidak memperÂoleh porsi yang cukup. Baru setelah muncul rumusan mana yang boleh mana yang tidak, baru dibikin aturannya. Jika perlu aturan lama direvisi, aturan baru dibikin. Karena aturanlah yang mengikat bersama, begitu hakikatnya konsensus. Baru diÂjalankan pelan-pelan. Yang sekarang terjadi saya kira orang berdebat soal aturan, tapi lupa yang tiga tadi. ***