Berita

Khofifah Indar Parawansa:net

Wawancara

WAWANCARA

Khofifah Indar Parawansa: Miris, Yang Mengasuh, Yang Diajak Curhat Oleh Anak-anak, Itu Gadget Bukan Orangtuanya

SABTU, 02 APRIL 2016 | 09:41 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Kasus perdagangan dan eksploitasi anak yang diungkap Polres Jakarta Selatan hanyalah remahan dari segudang kasus serupa yang terjadi di Indonesia.
Kementerian Sosial (Kemensos) mencatat ada 4,1 juta anak Indonesia yang terlan­tar dan 35.000 anak yang diek­sploitasi saat ini. Hal itu, menu­rut Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa terjadi bukan semata-mata karena de­sakan ekonomi, tapi lantaran longgarnya kekerabatan di da­lam keluarga. Simak pemaparan Menteri Khofifah kepada Rakyat Merdeka terkait hal tersebut:

Banyak kalangan mengata­kan anak yang menjadi korban eksplotasi kebanyakan muncul lantaran desakan ekonomi?
Nggak juga. Buktinya si W (korban eksploitasi anak yang dijumpai Menteri Khofifah di safe house Kemensos) itu bi­lang, sehari dia itu bisa dapat Rp 130.000, sebulan berapa, ini melebihi UMK (Upah Minimum Kota), jadi nggak miskin kan. Jadi sebenarnya yang miskin adalah rohaninya, yang miskin adalah spiritualnya, mentalnya. Jadi yang Pak Jokowi bilang, pembangunan mental, pemban­gunan karakter masih menjadi PR besar bagi kita.


Lalu apa yang harus di­lakukan?
Nah pada posisi ini ayo kita komunikasikan dari hati-ke hati. Kalau memang ini eligible untuk bisa terima program perlindun­gan sosial, daftarkan. Supaya dia terima PKH (Program Keluarga Harapan), anak-anak bisa dapat gizi yang baik, kalau dapat PKH, dia dapat Rp 1,2 juta setahun, empat kali cair. Kalau anaknya sekolah, kasih KIP (Kartu Indonesia Pintar), kalau SD Rp 450 ribu, SMP Rp 750 ribu, SMA Rp 1 juta. Kalau PKH dia dapat juga, jadi double benefit. Jadi seluruh elemen masyarakat sudah harus proaktif.

Sebenarnya, apa pelajaran penting yang bisa ditarik dari persoalan ini?
Tanggung jawab orang tua. Jarang sekali orang yang men­gaitkan dengan tanggung jawab orang tua.

Lantas di mana porsi tang­gung jawab pemerintah?
Juga sebagai sesuatu yang wajar, sebagai bagian dari tang­gung jawab pemerintah. Tetapi tanggung jawab utama, dan kewajiban utama memelihara, melindungi, mengasuh adalah orang tua dan keluarga. Nah sekarang ini semacam ada degra­dasi tanggung jawab, termasuk melonggarnya kekerabatan.

Sedih lho aku lihat ketika kasus Marshanda (dengan ayah­nya). Sebelum saya melihat dan mendengar sendiri awalnya saya nggak percaya, masak sih seperti itu. Tapi ternyata betul. Kebayang nggak (sulitnya kum­pul keluarga), beragama Islam, ya paling tidak tiap lebaran ngumpul. Kalau nggak ngumpul kan pasti dicari itu.

Kalau yang beragama Kristen pada saat Natal, kalau nggak ada kan dicari. Begitu juga tahun baru. Ini nggak ada, kok nggak dicari. Ada kelonggaran di da­lam membangun kekerabatan. Karena bagi saya, Indonesia itu tetap menganut extended family. Ini lho sepupu ku, pamanku, keponakanku, itu kan masih gitu. Jadi, betapa kita harus melaku­kan revitalisasi terhadap bangu­nan kekerabatan kita. Kalau saya sih melihat, nggak bisa bicara ketahanan nasional bagaimana tanpa dilihat bagaimana bangu­nan ketahanan keluarga.

Berarti dalam hal ini pe­merintah kudu secepatnya mengambil tindakan...
Dari tahun 2000 saya sudah ngomong, ayo family resilience. Itu PBB saja punya Family Foundation, betapa bahwa PBB juga melihat penting lho kita ini melihat rumpun keluarga.

Pada posisi seperti itulah, kenapa sebetulnya ada perkaw­inan, supaya jelas ini mertua, ini bapakku, ini sepupuku, ini sau­daraku, itu lah kemudian men­jadikan kita berkerabat-kerabat. Sekarang, berkerabat-kerabat lalu apa artinya, ya ada tanggung jawab. Oh ini lho, ada omku, ponakanku, dia butuh support apa, rumahnya bocor kita mesti apa, oh ya kita punya uang, kita urunan. Kekerabatan seperti itu yang sekarang rupanya menga­lami kelonggaran.

Jadi Anda termasuk yang kaget melihat ayahnya Marshanda?
Apa yang terjadi pada kasus Marshanda, pertama saya juga pasti kaget, kedua Marshanda tetap mau mengakui bahwa itu bapaknya, itu baik. Tapi yang ke­tiga, ayo bangun gitu lho. Negeri ini menghadapi sesuatu yang menurut saya agak mengagetkan bahwa ada kelonggaran di dalam kekerabatan kita.

Kenapa kelonggaran dalam kekerabatan ini bisa terjadi?
Saya tidak bisa terlalu mema­hami, kenapa terjadi kelongga­ran seperti itu, karena bagi saya kita ini tetap menganut extended family. Ketika ada kelonggaran kekerabatan maka akan ada pe­longgaran tanggung jawab. Tadi malam ada lagi tu bayi tiga bulan yang dikirim ke safe house-nya Kemsos.

Itu dijual oleh ibunya. Tadi siang, ibunya sudah tertangkap. Jadi si bayi dijual oleh Ibunya Rp 40 juta. Dari Rp 40 juta, ibunya hanya dapat Rp 13 juta, yang Rp 27 juta itu diambil penjualnya. Nah lepas dari itu semua, kayak apa sebetulnya si Ibu ini melihat anaknya.

Sama halnya yang tadi saya li­hat anak-anak di Panti Bina Insan, panti Dinsos DKI. Itu anak-anak yang itu, karena sebagian besar mereka justru dikirim dari rumah sakit. Kata mereka, RSCM paling telat dua minggu sekali, karena rata-rata setiap minggu itu pasti ada anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya.

Nah orang tua-orang tua yang meninggalkan anak mungkin ada yang terpaksa, mungkin juga karena putus asa dengan masa depannya. Atau malu pada kelu­arganya. Nah pada posisi seperti inilah membangun tata nilai yang mestinya kita sudah punya patokan, ini lho tata nilai yang memang secara umum itu ya seperti ini, orang kalau nikah ya antara laki-laki dengan perem­puan, ya diupacarakan, jangan nikah siri gitu, orang kalau hamil ya diadministrasikan. Nah pola-pola seperti ini kan regulasinya terang. Kan anak-anak nggak mikir itu, sekarang bagaimana peran orang tua dan melibatkan diri menjadi bagian dari dina­mika kehidupan anaknya.

Mungkinkah itu karena kurangnya pengetahuan bagaimana menjadi orangtua?
Jadi Sayyidina Ali (Ali Bin Abi Thalib) itu bilang, kalau anak usia Paud sampai tujuh tahun, ajak dia sambil bermain dikenalkan Tuhannya, dikenal­kan dunia, alam gitu. Tapi kalau tujuh sampai 10 tahun ajari dia sopan santun, kehidupan yang beradab.

Di atas 10 tahun anak ini sudah pandai berdebat. Kata Sayidina Ali, anak ini tolong diikuti, didengar, nah sekarang kadang orang tua bilang kamu tahu apa, anak kencur misalnya kan. Jangan pernah menganggap kehidupan anak-anak second class society.

Jadi mereka juga perlu diden­garkan apa pendapatnya, mau­nya, supaya mereka punya te­man berbagi informasi. Kalau ndak, dia mencari informasi ya dari gadget. Kalau sudah begitu, yang mengasuh anak-anak ini ya gadget, bukan orang tuanya. Yang diajak bercurhat ya gadget. Nah disitu, terjadilah eksploitasi seksual, eksploitasi ekonomi. Artinya menjadi orang tua seka­rang jauh lebih berat daripada tahun 2000-an.

Untuk menumbuhkan ke­sadaran orangtua, apa yang harus dilakukan?

Menurut saya sudah wajib ada pelatihan pranikah. Calon istri dan calon suami harus tahu hak dan kewajibannya, supaya mereka sama-sama siap. Menurut saya, apa yang menjadi contoh di dalam tradisi Katolik itu bagus sekali. Karena mereka sampai enam bulan memberikan pelatihan pra-nikah. Sampai ada modul-modulnya.

Menurut saya harus dilakukan oleh negeri kita yang ternyata tingkat perceraiannya makin tinggi, pemudaran kekeraba­tan, sampai akhirnya menjadi tega. Orang tua bukan menjadi pelindung, malah menjadi mon­ster bagi anak-anaknya. Karena banyak yang melihat pernikahan itu bukan sebagai sesuatu yang sakral. Sepertinya, makin mu­dah pernikahan itu dilakukan ya kalau nggak suka, cerai. Jadi tidak dianggap sebagai sesuatu yang sakral dalam membangun kehidupan.

Selain oleh orang tua, pengamen anak-anak betul ada yang mengomandoi?
Kalau peminta-minta itu ada yang mengomandoi anak, itu pengakuan dari W, ananda umur lima tahun itu. Kalau nggak mau, dia dicubit oleh ibunya. Si W dan Rini kan keduanya nggak ada lagi ayahnya, si Rini laki-laki umur enam tahun.

Mereka mau nggak tinggal di safe house?
Si W bilang nyaman sekali di safe house itu, nggak ada yang nyubitin dia, makannya teratur. Hal-hal seperti ini harus dijadi­kan koreksi bersama bahwa pemudaran kekerabatan dan pemudaran tanggung jawab orang tua nggak bisa dianggap enteng. Karena anak-anak ini masa depan bangsa, supaya bisa saling melidungi. ***

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Pakar Tawarkan Framework Komunikasi Pemerintah soal Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 05:32

Gotong Royong Perbaiki Jembatan

Kamis, 25 Desember 2025 | 05:12

UU Perampasan Aset jadi Formula Penghitungan Kerugian Ekologis

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:58

Peresmian KRI Prabu Siliwangi-321 Wujudkan Modernisasi Alutsista

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:39

IPB University Gandeng Musim Mas Lakukan Perbaikan Infrastruktur

Kamis, 25 Desember 2025 | 04:14

Merger Energi Fusi Perusahaan Donald Trump Libatkan Investor NIHI Rote

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:52

Sidang Parlemen Turki Ricuh saat Bahas Anggaran Negara

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:30

Tunjuk Uang Sitaan

Kamis, 25 Desember 2025 | 03:14

Ini Pesan SBY Buat Pemerintah soal Rehabilitasi Daerah Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 02:55

Meneguhkan Kembali Jati Diri Prajurit Penjaga Ibukota

Kamis, 25 Desember 2025 | 02:30

Selengkapnya