Penjelasan dengan gaya bahasa provokatif oleh Kepala SKK Migas, Amin Sunaryadi, bahwa rakyat Maluku harus tertunda 2 tahun (2020) untuk menikmatinya manisnya proyek Blok Masela, dianggap sebagai salah kaprah.
Padahal kalaupun awal Maret 2016 pemerintah sudah menetapkan skenario pengembangan Blok Masela, proses persiapan tender Front End Engineering Design (FEED) dan pelaksanaan FEED, serta Feasibility Study dan AMDAL butuh waktu sekitar 2 tahun juga.
"Dan prosesnya diperkirakan selesai pada tahun 2018 setelah Inpex Masela diperpanjang kontrak Production Sharing Contract (PSC), sehingga pada saat itulah final investment decission (FID) akan ditetapkan apakah layak dilanjutkan atau dihentikan dengan melihat harga pasaran gas dunia," kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, Kamis (17/3).
Sebelumnya, Yusri menyindir pernyataan Amin yang mengkritik ketidakjelasan sikap pemerintah soal rencana pengembangan atau plan of development (POD) Blok Masela. Amin seolah menunjukkan kegagalan paham sekaligus menyudutkan sikap presiden. (Baca:
Kepala SKK Migas Gagal Memahami Sikap Presiden)
Yusri melanjutkan, menurut Peraturan Presiden nomor 9 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi bahwa kewenangan SKK Migas atas usulan KKKS Inpex Masela hanya butuh persetujuan Menteri ESDM untuk menyetujui POD tersebut, tanpa harus menyeret Presiden ke ranah hal yang sangat teknis.
Kalaupun muncul perdebatan pro dan kontra soal yang paling menguntungkan bagi negara, sebaiknya SKK Migas bisa saja dengan kewenangannya memutuskan Inpex segera melakukan tender FEED yang transparan dan bebas dari konflik kepentingan. Dengan ketentuan lakukan studi FEED skema darat "Onshore " dan FEED skema laut "Offshore" dan harus dikerjakan oleh konsorsium perusahaan nasional engineering yang berbeda.
"Kemudian hasilnya menjadi acuan untuk FID. Seandainya di ranah publik masih terjadi juga perdebatan pro kontra, tentu pemerintah tidak perlu sibuk lagi menjawabnya, karena akan dijawab oleh perusahaan engineering yang telah melakukan FEED," jelasnya.
Bahkan, kalau masih ingin lebih aman lagi karena takut biaya Engineering, Procurement, Construction and Installation (EPCI) membengkak dari nilai POD, solusinya dengan membuat kontrak FEED+EPCI menjadi satu paket dengan sistem lumpsum (dibayar sekaligus) seperti yang dilakukan oleh Shell di Proyek Prelude Australia.
Kalau langkah tersebut dijalankan oleh SKK Migas, tambahnya, tentu tidak perlu Inpex Masela melakukan PHK terhadap tenaga ahli nasional dan staf pendukung untuk kegiatan terkait. Sebaliknya, malah Inpex harus mencari tenaga tambahan lagi karena banyak tenaga ahli terkait bidang ini yang sudah pindah ke Malaysia.
Berdasarkan hal-hal di atas, menjadi sangat pantas menurut Yusri, jika publik mendapat laporan bahwa kinerja SKK Migas pada periode 2015 telah "menombok" biaya
cost recovery sebesar USD 1,04 miliar setara sekitar Rp 14 triliun.
"Jadi kesimpulan saya bahwa keputusan Presiden Jokowi itu sudah sangat benar, rekomendasi POD (dari Inpex) belum lengkap sehingga harus dikembalikan untuk dilengkapi dengan feasibility study, AMDAL dan hasil FEED harus dilengkapi di dalam POD," jelasnya.
[ald]