Berita

ilustrasi/net

Jika Kejagung Ragu, Lebih Baik KPK Garap Kasus PT. Grand Indonesia

SELASA, 08 MARET 2016 | 11:39 WIB | LAPORAN: ALDI GULTOM

Pernyataan kuasa hukum PT Grand Indonesia (GI) yang menyatakan tidak ada kerugian negara dalam kontrak Build, Operate, Transfer (BOT) antara BUMN PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI)-PT GI adalah pernyataan keliru.

"Pembangunan Menara BCA dan Kempinski yang menurutnya termasuk dalam kategori bangunan-bangunan lainnya dalam perjanjian, merupakan sebuah tafsir belaka dan sangat bisa diperdebatkan,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Law Reform Institute (ILRINS), Jeppri F. Silalahi, kepada wartawan (Selasa, 8/3).

Jeppri yakin, skema kompensasi terhadap PT. HIN akan sangat berbeda bila dalam rencana kontrak BOT itu tercantum pembangunan Apartemen Kempinski dan Menara BCA. Dia mengatakan, tidak mungkin bangunan yang sangat komersil dan menguntungkan  didefinisikan sama dengan bangunan-bangunan lainnya dalam perjanjian. (Baca: Pengacara Grand Indonesia: Kejagung Harus Bersikap Proporsional)


Menanggapi pernyataan Juniver Girsang selaku kuasa hukum PT GI yang menyebut perkara itu adalah perdata, Jeppri mengakuinya jika dilihat dari aspek legal formal perjanjian.

Tetapi perbuatan PT. CKBI-PT. GI yang bersiasat dan mengandung itikad tidak baik dalam praktik pelaksanaan BOT, dengan membangun Menara BCA dan Kempinski yang tidak ada dalam perjanjian, merupakan  tindak pidana korupsi. Di sana ada unsur yang langsung maupun tidak langsung merugikan negara dalam konteks delik formil. (Baca: Ada Kerugian Negara Dalam Kontrak BOT Dengan PT. Grand Indonesia)

"Menurut saya unsur tindak pidana korupsi sudah pasti ada. Jika Kejaksaan Agung lamban dan masih memiliki keraguan untuk menangani kasus ini, ada baiknya KPK segera mengambil alih kasus ini. KPK pasti dengan sangat mudah menelusuri semua kejanggalan-kejanggalan baik itu dalam perjanjian maupun dalam pelaksanaan," ujar Jeppri.

Dia meminta kasus ini tidak hanya dilihat bahwa PT. HIN mendapatkan kompensasi uang dan bangunan untuk lantas disebut untung. Masalahnya, mendapatkan kompensasi yang tidak proporsional merupakan kerugian yang harus dipermasalahkan karena merugikan  PT. HIN sama saja dengan merugikan negara. Negara tidak boleh kalah dengan korporasi-korporasi yang sengaja merugikan BUMN. [ald]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Kepuasan Publik Terhadap Prabowo Bisa Turun Jika Masalah Diabaikan

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:46

Ini Alasan KPK Hentikan Kasus IUP Nikel di Konawe Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:17

PLN Terus Berjuang Terangi Desa-desa Aceh yang Masih Gelap

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:13

Gempa 7,0 Magnitudo Guncang Taiwan, Kerusakan Dilaporkan Minim

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:45

Bencana Sumatera dan Penghargaan PBB

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:27

Agenda Demokrasi Masih Jadi Pekerjaan Rumah Pemerintah

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:02

Komisioner KPU Cukup 7 Orang dan Tidak Perlu Ditambah

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:45

Pemilu Myanmar Dimulai, Partai Pro-Junta Diprediksi Menang

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:39

WN China Rusuh di Indonesia Gara-gara Jokowi

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:33

IACN Ungkap Dugaan Korupsi Pinjaman Rp75 Miliar Bupati Nias Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:05

Selengkapnya