Pengacara Novel Baswedan, penyidik Komisi PemÂberantasan Korupsi (KPK) yang tengah tersangkut perkara, mendukung penuh keputusan Jaksa Agung MPrasetyo men-deponering alias mengesampingkan perkara kliennya.
Hanyasaja, menurut Muji, saat ini ada pihak luar yang 'berÂmain' memboncengi keputusan Jaksa Prasetyo tersebut, dengan tujuan ingin membuang Novel dari KPK. Siapakah pihak yang membonceng keputusan Jaksa Pras itu? Simak penuturan Muji berikut ini:
Ada kalangan yang menilai keputusan Jaksa Pras men-deponering kasus Novel sebaÂgai bentuk pelecehan teehadap penegakan hukum?
Pertama, secara normatif deponering itu diatur dalam undang-undang. Artinya secara hukum, itu memang dimungÂkinkan dan menjadi kewenangan operasional Kejaksaan, yaitu Jaksa Agung.
Pertama, secara normatif deponering itu diatur dalam undang-undang. Artinya secara hukum, itu memang dimungÂkinkan dan menjadi kewenangan operasional Kejaksaan, yaitu Jaksa Agung.
Secara filosofi hukum kira-kira begini, ada dua tujuan hukum; Pertama, kepastian dan yang kedua adalah kemanfaatan hukum. Kalau ditambah satu lagi adalah keadilan. Pada situasi tertentu kita seringkali dihadapÂkan kepastian dan kemanfaatan. Kadang-kadang diperlukan (deÂponering) ketika ada manfaat yang lebih besar kalau kasus itu dihentikan.
Jadi menurut Anda tidak meÂlecehkan penegakan hukum?Dibaca lagi dasar argumentasi filosofis tadi. Kasus-kasus krimiÂnalisasi kepada AS (Abraham Samad), BW (Bambang Widjojanto), Novel Baswedan sebeÂnarnya kan semua fakta, temuan-temuan lembaga negara yang resmi, baik Komnas HAM mauÂpun Ombudsman menunjukkan bahwa motifnya bukan demi penÂegakan hukum. Bahkan menurut Ombudsman ada maladministrasi, penyalahgunaan kewenangan. Komnas HAM juga menemukan ada banyak sekali pelanggaran HAM dalam penangkapan dan penahanan BW.
Jadi yang harus dilakukan adalah kembalikan wibawa huÂkum, supaya bisa dipercaya lagi ketika disalahgunakan oleh penegak hukumnya sendiri, yaitu dengan deponering atau SKP2 (Surat Keterangan Penghentian Perkara).
Kenapa nggak SP3 saja?Di Kepolisian ada SP3, tapi nggak mungkin untuk kasusnya AS, Novel dan BW. Karena meÂmang yang menghendaki adanya kriminalisasi adalah lembaga yang memiliki SP3 itu, dalam hal ini Kepolisian. Mana mungÂkin Kepolisian mau menghÂentikan. Oleh karena itu yang mungkin adalah Kejaksaan.
Ada yang mengatakan deÂponering ini wujud intervensi Presiden dalam penegakan huÂkum yang sedang berjalan?Turun tangan Presiden itu apakah bisa disebut intervensi? Tidak. Presiden boleh dan harus turun tangan dalam hal penegak hukum yang tidak menjalankan hukum secara tidak indepenÂden. Kalau penegak hukum sendiri melecehkan hukum, yang menggunakan instrumen hukum bukan untuk kepentingan hukum, maka di situlah Presiden memang harus turun tangan.
Kok Anda sebut melecehÂkan?Masalahnya, rekomendasi Ombudsman diabaikan begitu saÂja. Dalam kasus BW, rekomendasi Ombudsman sudah mentok itu. Sampai Ombudsman melapor keÂpada Presiden bahwa rekomendasi dia diabaikan oleh Kapolri. Terus Presiden sudah menegur Kapolri lho untuk menjalankan rekomenÂdasi Ombudsman. Terus Kapolri bilang apa ke Ombudsman; Dia bilang begini, tolong dong kasih waktu ke saya, jangan tampar muka saya di hadapan Presiden. Saya akan memenuhi itu. Tapi ya tetap saja nggak dilakukan apa-apa.
Bukankah Kepolisian memiÂlih meneruskan di pengadiÂlan? Nggak bisa dong. Memang Ombudsman dan Komnas HAM itu lembaga apa... Itu lembaga negara juga kan. Kalau penegak hukum tidak menghormati lembaÂga-lembaga negara itu, terus siapa yang disuruh menghormati.
Sebenarnya yang melecehÂkan hukum siapa? Mereka melecehkan rekomenÂdasi Ombudsman, melecehkan rekomendasi Komnas HAM, lembaga negara yang dibentuk oleh undang-undang. Bahkan lebÂih dari itu, Presiden lho. Presiden itu sudah menegur Kapolri, tapi masih diabaikan. Lalu kita mau menghormati siapa?
Apa perlu diganti saja petÂinggi Polri yang mengabaikan rekomedasi lembaga negara?Yang pasti memang harus mengambil tindakan tegas. Karena ini bisa menjadi preseden buruk terus menerus. Sekali ada perintah Presiden bisa diabaikan dan dibiarkan saja, orang itu pasti akan besar kepala. Oh, dibiarin kok oleh Presiden, kayak gitu.
Terkait kabar adanya barter dalam kasus Novel?Kami mendengar itu sudah cuÂkup lama, ada tawaran-tawaran untuk keluar dari KPK, mau temanya mengabdi di BUMN atau apa, inilah akibat kalau karÂpet merah penyelesaian secara hukum itu justru dihindari oleh Kejaksaan.
Mas Novel itu melamar ke KPK baik-baik, terus diterima, di-SK-kan, yang nyuruh dia keÂluar bukan pimpinan KPK, meÂmang lu siapa gitu. Memangnya apanya BUMN, bisa ngatur-ngatur: Di isi orang ini dong, di isi orang itu. Nggak bisa juga dong, kenapa negara dikendaliÂkan begini-begini.
O..ya, kenapa Novel ngÂgak bertarung di pengadilan saja?Bagaimana bertarung di penÂgadilan, orang dipanggil saja kagak. Posisi Novel kan kalau dipanggil, ayo. Emang kita perÂnah bilang jangan disidang, nggak juga.
Kalau harus memilih, penÂgadilan atau deponeering?Pertanyaannya jangan diÂarahkan memilih deponering atau tidak, tetapi deponering itu tindakan normatif yang dimungÂkinkan dan konsekuensi logis jika kita jeli membaca dokumen, bukan alternatif atau pilih mana sidang atau deponering. Karena tahapannya tidak dilakukan, justru kita dibawa ke opini. Kita tidak dalam posisi memiÂlih opsi-opsi begitu. Karena kalau diikutin prosedur yang benar, pasti deponering ujung-ujungnya. ***