Berita

Muji Kartika Rahayu:net

Wawancara

WAWANCARA

Muji Kartika Rahayu: Kalau Dipanggil Pengadilan, Novel Ayo Tapi Jangan Ngatur-ngatur, Emang Lu Siapa

JUMAT, 19 FEBRUARI 2016 | 09:01 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Pengacara Novel Baswedan, penyidik Komisi Pem­berantasan Korupsi (KPK) yang tengah tersangkut perkara, mendukung penuh keputusan Jaksa Agung MPrasetyo men-deponering alias mengesampingkan perkara kliennya.

Hanyasaja, menurut Muji, saat ini ada pihak luar yang 'ber­main' memboncengi keputusan Jaksa Prasetyo tersebut, dengan tujuan ingin membuang Novel dari KPK. Siapakah pihak yang membonceng keputusan Jaksa Pras itu? Simak penuturan Muji berikut ini:

Ada kalangan yang menilai keputusan Jaksa Pras men-deponering kasus Novel seba­gai bentuk pelecehan teehadap penegakan hukum?

Pertama, secara normatif deponering itu diatur dalam undang-undang. Artinya secara hukum, itu memang dimung­kinkan dan menjadi kewenangan operasional Kejaksaan, yaitu Jaksa Agung.

Pertama, secara normatif deponering itu diatur dalam undang-undang. Artinya secara hukum, itu memang dimung­kinkan dan menjadi kewenangan operasional Kejaksaan, yaitu Jaksa Agung.

Secara filosofi hukum kira-kira begini, ada dua tujuan hukum; Pertama, kepastian dan yang kedua adalah kemanfaatan hukum. Kalau ditambah satu lagi adalah keadilan. Pada situasi tertentu kita seringkali dihadap­kan kepastian dan kemanfaatan. Kadang-kadang diperlukan (de­ponering) ketika ada manfaat yang lebih besar kalau kasus itu dihentikan.

Jadi menurut Anda tidak me­lecehkan penegakan hukum?

Dibaca lagi dasar argumentasi filosofis tadi. Kasus-kasus krimi­nalisasi kepada AS (Abraham Samad), BW (Bambang Widjojanto), Novel Baswedan sebe­narnya kan semua fakta, temuan-temuan lembaga negara yang resmi, baik Komnas HAM mau­pun Ombudsman menunjukkan bahwa motifnya bukan demi pen­egakan hukum. Bahkan menurut Ombudsman ada maladministrasi, penyalahgunaan kewenangan. Komnas HAM juga menemukan ada banyak sekali pelanggaran HAM dalam penangkapan dan penahanan BW.

Jadi yang harus dilakukan adalah kembalikan wibawa hu­kum, supaya bisa dipercaya lagi ketika disalahgunakan oleh penegak hukumnya sendiri, yaitu dengan deponering atau SKP2 (Surat Keterangan Penghentian Perkara).

Kenapa nggak SP3 saja?
Di Kepolisian ada SP3, tapi nggak mungkin untuk kasusnya AS, Novel dan BW. Karena me­mang yang menghendaki adanya kriminalisasi adalah lembaga yang memiliki SP3 itu, dalam hal ini Kepolisian. Mana mung­kin Kepolisian mau mengh­entikan. Oleh karena itu yang mungkin adalah Kejaksaan.

Ada yang mengatakan de­ponering ini wujud intervensi Presiden dalam penegakan hu­kum yang sedang berjalan?
Turun tangan Presiden itu apakah bisa disebut intervensi? Tidak. Presiden boleh dan harus turun tangan dalam hal penegak hukum yang tidak menjalankan hukum secara tidak indepen­den. Kalau penegak hukum sendiri melecehkan hukum, yang menggunakan instrumen hukum bukan untuk kepentingan hukum, maka di situlah Presiden memang harus turun tangan.

Kok Anda sebut meleceh­kan?
Masalahnya, rekomendasi Ombudsman diabaikan begitu sa­ja. Dalam kasus BW, rekomendasi Ombudsman sudah mentok itu. Sampai Ombudsman melapor ke­pada Presiden bahwa rekomendasi dia diabaikan oleh Kapolri. Terus Presiden sudah menegur Kapolri lho untuk menjalankan rekomen­dasi Ombudsman. Terus Kapolri bilang apa ke Ombudsman; Dia bilang begini, tolong dong kasih waktu ke saya, jangan tampar muka saya di hadapan Presiden. Saya akan memenuhi itu. Tapi ya tetap saja nggak dilakukan apa-apa.

Bukankah Kepolisian memi­lih meneruskan di pengadi­lan?
Nggak bisa dong. Memang Ombudsman dan Komnas HAM itu lembaga apa... Itu lembaga negara juga kan. Kalau penegak hukum tidak menghormati lemba­ga-lembaga negara itu, terus siapa yang disuruh menghormati.

Sebenarnya yang meleceh­kan hukum siapa?
Mereka melecehkan rekomen­dasi Ombudsman, melecehkan rekomendasi Komnas HAM, lembaga negara yang dibentuk oleh undang-undang. Bahkan leb­ih dari itu, Presiden lho. Presiden itu sudah menegur Kapolri, tapi masih diabaikan. Lalu kita mau menghormati siapa?

Apa perlu diganti saja pet­inggi Polri yang mengabaikan rekomedasi lembaga negara?
Yang pasti memang harus mengambil tindakan tegas. Karena ini bisa menjadi preseden buruk terus menerus. Sekali ada perintah Presiden bisa diabaikan dan dibiarkan saja, orang itu pasti akan besar kepala. Oh, dibiarin kok oleh Presiden, kayak gitu.

Terkait kabar adanya barter dalam kasus Novel?
Kami mendengar itu sudah cu­kup lama, ada tawaran-tawaran untuk keluar dari KPK, mau temanya mengabdi di BUMN atau apa, inilah akibat kalau kar­pet merah penyelesaian secara hukum itu justru dihindari oleh Kejaksaan.

Mas Novel itu melamar ke KPK baik-baik, terus diterima, di-SK-kan, yang nyuruh dia ke­luar bukan pimpinan KPK, me­mang lu siapa gitu. Memangnya apanya BUMN, bisa ngatur-ngatur: Di isi orang ini dong, di isi orang itu. Nggak bisa juga dong, kenapa negara dikendali­kan begini-begini.

O..ya, kenapa Novel ng­gak bertarung di pengadilan saja?
Bagaimana bertarung di pen­gadilan, orang dipanggil saja kagak. Posisi Novel kan kalau dipanggil, ayo. Emang kita per­nah bilang jangan disidang, nggak juga.

Kalau harus memilih, pen­gadilan atau deponeering?
Pertanyaannya jangan di­arahkan memilih deponering atau tidak, tetapi deponering itu tindakan normatif yang dimung­kinkan dan konsekuensi logis jika kita jeli membaca dokumen, bukan alternatif atau pilih mana sidang atau deponering. Karena tahapannya tidak dilakukan, justru kita dibawa ke opini. Kita tidak dalam posisi memi­lih opsi-opsi begitu. Karena kalau diikutin prosedur yang benar, pasti deponering ujung-ujungnya. ***

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

UPDATE

KPK Siap Telusuri Dugaan Aliran Dana Rp400 Juta ke Kajari Kabupaten Bekasi

Rabu, 24 Desember 2025 | 00:10

150 Ojol dan Keluarga Bisa Kuliah Berkat Tambahan Beasiswa GoTo

Rabu, 24 Desember 2025 | 00:01

Tim Medis Unhas Tembus Daerah Terisolir Aceh Bantu Kesehatan Warga

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:51

Polri Tidak Beri Izin Pesta Kembang Api Malam Tahun Baru

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:40

Penyaluran BBM ke Aceh Tidak Boleh Terhenti

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:26

PAN Ajak Semua Pihak Bantu Pemulihan Pascabencana Sumatera

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:07

Refleksi Program MBG: UPF Makanan yang Telah Berizin BPOM

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:01

Lima Tuntutan Masyumi Luruskan Kiblat Ekonomi Bangsa

Selasa, 23 Desember 2025 | 22:54

Bawaslu Diminta Awasi Pilkades

Selasa, 23 Desember 2025 | 22:31

Ini yang Diamankan KPK saat Geledah Rumah Bupati Bekasi dan Perusahaan Haji Kunang

Selasa, 23 Desember 2025 | 22:10

Selengkapnya