Berita

Yandri Susanto:net

Wawancara

WAWANCARA

Yandri Susanto: Revisi UU Pemilu Bakal Panas, Sudah Ada Tiga Kubu

JUMAT, 12 FEBRUARI 2016 | 08:44 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Revisi Undang-Undang Pemilu yang kini tengah digodok Komisi II DPR memang belum masuk dalam pemba­hasan. Namun peta kekuatan dukungan partai yang ingin mengembalikan sistem Pemilu 2019 kembali meng­gunakan sistem proporsional tertutup seperti Pemilu 2004, sudah terlihat. Partai Golkar, PKB, PKS dan PDIP sudah merapatkan barisan untuk mengembalikan sistem usang itu.

Dengansistem proporsional tertutup, maka caleg yang berhak melenggang ke Senayan diten­tukan berdasarkan nomor urut. Artinya, mereka yang berhak duduk di kursi empuk DPR dimu­lai dari caleg nomor urut I, bukan didasarkan pada perolehan suara terbanyak seperti yang dipakai da­lam sistem proporsional terbuka.

Sekretaris Fraksi PAN DPR Yandri Susanto sudah menang­kap peta kekuatan partai yang ingin mengembalikan sistem penghitungan suara usang terse­but. Berikut pemaparan ang­gota Komisi II DPR ini kepada Rakyat Merdeka:


Saat ini, pembahasan terh­adap revisi UU Pemilu sudah panas. Sebenarnya kapan RUU Pemilu ini akan dibahas DPR?

Saat ini secara formal, Komisi IIDPR yang membidangi masalah politik dan otonomi daerah belum membahasnya. Tapi kami sudah sepakat, da­lam waktu dekat akan segera dibahas. Apalagi, sekarang su­dah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016. Tetapi kami tidak bisa menjamin bahwa Undang-Undang Pemilu ini akan cepat selesai dibahasnya.

Anda memprediksi pemba­hasan revisi undang-undang ini akan alot?
Benar. Karena sekarang ini, sudah ada beberapa kubu yang menyatakan sikapnya soal model pemilihan legislatif 2019 besok. Pertama, ada yang menginginkan pileg nanti tetap memakai sistem proporsional terbuka. Ada juga yang ingin kembali pada proporsional ter­tutup. Serta ada yang belum tentukan sikapnya.

Meskipun dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu nanti ada beberapa poin be­sar yang akan dibahas, tetapi saya sudah bisa mencium bahwa pembahasan nanti akan berjalan cukup seru. Bisa-bisa, pemba­hasan ini akan berlarut-larut hanya pada satu masalah yakni sistem pemilu, apakah propor­sional terbuka atau tertutup.

Lantas apa sikap PAN terkait hal itu?

Kami menghormati pendapat parpol-parpol tersebut, karena itu hak mereka. Tetapi PAN sebagai partai yang lahir awal re­formasi, tetap akan mempertah­ankan dengan model sekarang. Apalagi, saat awal pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu tentang proporsional terbuka, bisa dikatakan PAN sebagai pencetusnya. Jadi, meskipun sekarang belum masuk pada pembahasan, PAN sudah pasti akan tetap memakai sistem proporsional terbuka yakni pe­nentuan caleg terpilih berdasar­kan suara terbanyak.

Kenapa?
Sebab, kalau hanya nomor urut, maka caleg dengan nomor urut jadi tidak akan aktif dalam kampanye. Mereka yang di no­mor urut bawah saja nantinya yang akan turun ke masyarakat untuk berkampanye.

Salah satu alasan parpol ingin kembali pada propor­sional tertutup adalah kualitas caleg terpilih yang menjadi anggota Dewan sangat mem­prihatinkan...
Masalah kualitas caleg, itu kembalikan lagi pada parpol masing-masing. Dalam meka­nisme perekrutan caleg, setiap parpol tentunya punya per­syaratan khusus dalam merekrut caleg. Belum lagi dengan proses kaderisasi yang dilakukan jauh sebelum pencalegan. Jadi, tidak bisa kemudian disebut bahwa dengan sistem suara terbanyak, maka caleg yang dihasilkan kurang berkualitas. Itu tang­gung jawab parpol, bukan lantas menghancurkan sistem yang sudah baik ini.

Tapi dengan suara terban­yak, caleg yang bertarung akhirnya 'jor-joran' dalam hal model kampanye sampai jual beli suara?
Tidak juga. Faktanya yang ha­bis duit banyak itu tidak terpilih. Masalah cost politik yang besar, itu bisa diperkuat aturannya, termasuk soal jual beli suara. Kita akui, dalam pemilu me­mang ada jual beli suara. Tetapi itu kan oknum, bukan semua anggota DPR terpilih karena jual beli suara. Bukan hanya PAN, saya pikir semua parpol termasuk para calegnya semua juga mengharamkan jual beli suara. Makanya saya bilang tadi, aturan pengawasan dan sanksi ini yang diperketat dan diper­tegas. Misalnya, parpol kalau tahu calegnya melakukan jual beli suara, langsung pecat. Maka otomatis batal sudah keterpi­lihannya sebagai anggota DPR. Begitu juga dengan oknum KPU yang terlibat dalam jual beli su­ara itu. Tapi jangan gara-gara itu, maka kita menyalahkan sistem bukan malah memperbaiki, itu saya pikir kemunduran. ***

Populer

UPDATE

Selengkapnya