Robert Joppy Kardinal:net
Robert Joppy Kardinal:net
"Freeport itu sudah puluhan tahun menguasai tanah Papua. Kalau mau ambil hati orang Papua, ini momentum bagus bagi Freeport. Tempatkan orang Papua duduk di sana," ujar Ketua Kaukus Parlemen Papua Robert Joppy Kardinal kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Kendati demikian, Robbert berharap pemerintah pusat justru mengambil momentum ini untuk kepentingan yang lebih besar. Seperti apa, berikut wawancara selengkapnya :
Anda menilai ada momenÂtum baik dari keputusan Maroef Syamsuddin munÂdur dari jabatannya sebagai Presdir PT Freeport?
Mundurnya Maroef ini meruÂpakan kesempatan bagi Freeport untuk mengubah paradigma yang selama ini mereka lakukan. Saya yakin dan percaya beliau sebagai seorang prajurit pasti mundur karena kebijakan-keÂbijakan yang dimiliki Freeport bertentangan dengan keyakinan dia sebagai prajurit. Jadi lebih bagus dia mengundurkan diri.
Sampai saat ini PT Freeport masih menggodok siapa pengÂganti Maroef. Anda punya pandangan?
Saya pikir, ini momentum yang tepat bagi PT Freeport untuk mengambil hati orang Papua. Sebagai wakil rakyat yang berasal dari sana, tentunya kami berharap PT FI menempatÂkan orang Papua sebagai pengÂganti Maroef. Banyak kok orang Papua yang kompeten untuk duduki kursi strategis tersebut.
Dalam menempatkan sesÂeorang pada posisi strategis, tentu Freeport punya acuan yang kuat salah satunya kapaÂsitas dan profesional...
Gampang kok nyari orang asli Papua yang punya kemamÂpuan manajerial, kapasitas dan kompetensi untuk jadi orang nomor satu di PT FI. Saya yaÂkin, banyak orang Papua yang hebat dan punya kapasitas untuk menjabat sebagai direktur utama PT FI. Kalau ada yang bilang orang Papua belum siap, berarti mendiskreditkan orang Papua.
Kenapa harus orang Papua, itu kan hak mutlak Freeport menunjuk siapa saja?
Nah untuk obati itu semua, PT FI mesti berbaik hati. Ini merupakan kesempatan untuk mengambil hati orang Papua dengan mengangkat orang asli Papua sebagai Presiden Direktur di PT FI. Saya kira itu penting sekali. Kalau sampai tidak terjaÂdi, berarti FI yang sudah beropÂerasi hampir setengah abad itu tidak berhasil menyiapkan orang asli Papua untuk memimpin perusahaan tersebut.
Bukannya selama ini sudah banyak putra asli Papua yang terlibat dalam pengelolaan di PT Freeport?
Selalu saya katakan cuma berapa persen orang Papua yang bekerja di sana dibandingkan dengan jumlah karyawan yang begitu banyak.
Kontraktor-kontraktornya, suplier-supliernya semua dari luar, tidak ada orang daerah yang bisa menjadi kontraktor atau suplier di situ. Hampir semua dari luar. Jadi bagaimana bisa membangun Papua disitu kalau orang daerah tidak dilibatkan. Jadi saya yakin bapak Presiden Jokowi yang punya perhatian besar terhadap Papua memberi kebijakan yang baik tentang Freeport ini.
Tapi sampai saat ini pemerÂintah sendiri belum terlalu beÂreaksi dengan keputusan Maroef mundur dari jabatannya?
Justru ini kesempatan buat pemerintah untuk merubah. Bila perlu PT FI jangan diberi izin ekspor dulu sampai proyek pemÂbangunan smelternya selesai. Saya kira PT FI tutup pun tidak akan mengganggu APBN negara kita. Betapa malunya kita sebaÂgai bangsa Indonesia kalau satu perusahaan seperti PT FI ditutup kemudian dianggap bisa mengÂganggu APBN kita. Itu sama saja mengecilkan harga diri bangsa kita sendiri. Wong dividen saja sudah 3 tahun ditahan-tahan oleh PT FI, hak-hak pemerintah belum dibayar sampai saat ini. Waktu pembahasan di banggar Oktober tahun 2015, menurut pemerintah belum dibayar. Mereka minta ini, minta itu tapi kewajibannya tidak dilaksanakan.
Anda kesannya kesal sekali dengan PT FI?
Kebetulan saya di Komisi IV DPR RI, salah satu mitra kita adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Nah saya melihat masalah lingkunÂgan hidup dan masalah taman nasional yang ada di sana itu. Sekarang sudah mencair es-nya. Salju abadi yang kita banggakan makin lama makin menipis gara-gara operasi PT FI di sana.
Padahal kita tahu, salju abadi itu merupakan salah satu keajaiban dunia yang ada di tanah Papua. Di daerah tropis ada salju abadi, ada hutan yang besar, ada pantai yang bagus, cuma ada di tanah Papua. Nah itu mulai hancur gara-gara Freeport. Gunung habis, tailing-nya dibuang di sungai Aiqua itu sampai kelaut, matilah kepiting, udang, tempat mata pencaharian masyarakat suku-suku yang ada di sana itu. Hak ulayat masyarakat tujuh suku yang ada di situ sekian puluh tahun belum dibayar hak ulayat-nya. Kini sudah dituntut Bupati Timika beserta kepala-kepala suku karena sekian puluh tahun tidak pernah dibayar.
Berarti Anda mendukung dong bila pemerintah tidak perlu memperpanjang konÂtrak Freeport?
Saya kira apa yang pernah dikatakan oleh Bapak Luhut Pandjaitan ketika memberi kesakÂsian di MKD mengenai divestasi saham, saya kira pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah tidak perlu beli. Tunggu saja habis kontrak setelah 2021. Lakukan sama seperti Blok Mahakam yang sebelumnya dikelola Total Indonesia. Kan setelah habis kontrak kembali kepemilikannya ke Indonesia. Setelah itu cari siapa yang ingin kelola tapi bosnya pemerintah Indonesia.
Sama dengan Freeport, begitu habis kontraknya kembali ke pemerintah Indonesia. Siapa yang mau kelola, bisa BUMN atau kalau Freeport mau kembali kelÂola disana silahkan tapi bosnya Pemerintah Indonesia. Tapi saya kira Freeport 53 tahun sudha cukup disana. Stopkan saja, tidak perlu takut. Kembalikan ke negara RI, selesai. ***
Populer
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29
UPDATE
Rabu, 24 Desember 2025 | 00:10
Rabu, 24 Desember 2025 | 00:01
Selasa, 23 Desember 2025 | 23:51
Selasa, 23 Desember 2025 | 23:40
Selasa, 23 Desember 2025 | 23:26
Selasa, 23 Desember 2025 | 23:07
Selasa, 23 Desember 2025 | 23:01
Selasa, 23 Desember 2025 | 22:54
Selasa, 23 Desember 2025 | 22:31
Selasa, 23 Desember 2025 | 22:10