Hasrat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso merevisi Undang-Undang Intelijen dan Undang-undang Terorisme dianggap bukan solusi utama mencegah aksi terorisme di Indonesia. Melalui undang-undang yang ada, BIN dianggap sudah cukup punya jalur kerja yang jelas untuk mencegah terjadinya gerakan teroris di daÂlam negeri.
"Yang perlu dievaluasi itu kinerja BIN, bukan payung hukumnya. Soal penangkapan, biar serahkan pada Kepolisian bukan minta tambah kewenanÂgan," ujar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
KontraS berpendapat, insiden bom Thamrin yang terjadi Jumat (15/1) lalu, bukan alasan BIN untuk menambah kewenangan. Masalah penindakan, itu menjadi tanggung jawab dan kewenangan pihak Kepolisian. Berikut wawancara lengkapnya :
Dengan dalih lebih optiÂmal memutus mata rantai gerakan teroris, BIN berharap Undang-Undang Intelijen dan Undang-Undang Terorisme direvisi. Tanggapan Anda?Bagi kami, tidak ada urgensinÂya merevisi Undang-Undang Intelijen, termasuk Undang-Undang Terorisme. Yang kurang maksimal itu kinerjanya bukan undang-undangnya. Makanya kami menolak usulan BIN terseÂbut. Dalam pencegahan teror, mandat yang diberikan undang-undang sudah jelas pada BIN. Sekarang tinggal kinerjanya yang perlu ditingkatkan, bukan payung hukumnya.
Tapi BIN menganggap, unÂdang-undang yang ada memÂbatasi ruang gerak mereka. Revisi itu agar BIN bisa juga melakukan penindakan bila mencium ada gelagat yang kurang baik...Lho, memang tugasnya dia (BIN) mencari informasi yang sebanyak mungkin lalu berkoordinasi dengan lembaga lain. Misalnya secepat mungkin koorÂdinasi dengan pihak Kepolisian agar bisa segera menindak pihak yang dicurigai.
Apa cukup kalau dibebankan pada Kepolisian saja unÂtuk menangkap teroris? Polisi memang mandat hukumnya untuk bertindak. Dan juga kapasitasnya memang untuk bertindak. Jadi ya wewenangnya memang harus dikasih ke merÂeka. Bukan BIN mengajukan diri untuk melakukan penindakan. Itu salah.
Insiden bom Thamrin kemarin bukankah bisa menjadi momenÂtum betapa pentingnya revisi undang-undang tersebut? Enggak bisa dong. Masa gara-gara peristiwa begini, bom Thamrin, BIN minta kewenanÂgan untuk menindak, UU Kamnas mau disahkan?. Tak seharusÂnya BIN memanfaatkan situasi seperti ini. Proses legalisasi itu punya logika sendiri. Enggak bisa hanya gara-gara satu peristiÂwa, lalu lahir legalisasi. Lagian, ini bukan baru pertama kali ada kasus BIN minta revisi payung hukumnya.
Memang apa yang Anda khawatirkan? Pada tahun 2011 juga ada upaya untuk merevisi UU Intelijen karÂena maraknya tindakan-tindakan teror. Revisi katanya dilakukan untuk menambah kewenangan intelijen sehingga dapat menceÂgah dan menindak aksi-aksi teroris. Dan sekarang ada kasus lagi, lantas BIN lakukan hal serupa. Saya mencium, nanti ujung-ujungnya minta dibentuk Undang-Undang Keamanan Nasional (Kamnas). Sama saja balik lagi ke Orde Baru.
Namun dalam menindak aksi teror, kita tahu polisi semÂpat beberapa kali salah tangÂkap. Ini menjadi tanda bahwa Kepolisian tidak bisa menindak aksi terorisme sendiri...Sama saja. Emang kalau BIN nggak bisa salah tangkap? Kalau polisi saja bisa salah, apalagi BIN. Jadi, diperkuat kerja saÂmanya. Bekerja sama satu sama lain, itu yang paling penting. Dan masing-masing profesional. Sangat aneh saja ketika kemarin ada kasus, ditanya apa saja kerja BIN, maka mereka menjawab kalau sudah tahu, tapi karena nggak punya kewenangan maÂkanya terjadi insiden. Ini bukan alasan. Kenapa nggak kasih tahu polisi untuk bertindak? Kan beÂgitu. Ini soal implementasi kerja bukan soal mandatnya.
Dari kasus kemarin, apa yang menjadi catatan KontraS ke depan?Saya berharap, Presiden dan Wapres harus berani mengevaluasi kinerja BIN. Kita harus cek dulu kerja BIN apa saja selama ini, tugas dia informasi gathering tidak bisa dikasih weÂwenang penindakan. Evaluasi, di mana kesalahan, mereka harÂus mengumumkan kesalahan mereka, tidak boleh menutupi kesalahan hanya dengan minta kewenangan. ***