Secara keseluruhan, pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember lalu terbilang kondusif. Tapi tingkat partiÂsipasi publik dalam menggunakan hak pilihnya rendah. Tingkat partisipasi publik di beberapa daerah bahkan hanya berkisar 50-70 persen saja. Kualitas pilkada juga terpuruk diwarnai perilaku tak netral dari penyelenggara pemilu dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Simak pemaÂparan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshidiqie terkait pilkada serentak.
Masih banyak yang memÂpersoalkan ketidaknetralÂan penyelenggara dalam pilkada serentak. Ini baÂgaimana?
Iya itu satu hal. Makanya ada 300 orang yang sudah kita pecat selama dua tahun terakhir ini, lantaran terbukti tidak netral. Paling serius itu. Banyak yang kita pecatin gara-gara itu. Tapi kan tidak semua.
Apakah ke depan perlu ada pengetatan dalam rekrutÂmen?
Apakah ke depan perlu ada pengetatan dalam rekrutÂmen?Iya dong, pasti. Makanya kita harapkan Undang-Undang (pilkada) tahun 2016 diharapÂkan sudah selesai. Pengaturan mengenai rekrutmennya nanti 2017 KPU, Bawaslu seluruh Indonesia sudah harus dipilih lagi. Jadi dua tahun sebelum Pemilihan Umum 2019 sudah beres semua.
Masukan anda agar lemÂbaga penyelenggara pemilu itu bisa lebih independen bagaimana?Ya kalau diharapkan dia indeÂpenden, lebih independen dari sekarang. Sebenarnya yang jauh harus diprioritaskan itu justru birokrasi.
Kenapa demikian?PNS kita di Pilkada ini justru lebih banyak tidak independenÂnya daripada penyelenggara pemilu. Jadi, dua-duanya ini baik penyelenggara pemilu mauÂpun PNS, harus dipastikan penÂgaturannya supaya betul-betul independen. Sekarang sudah ada aturan, kalau dia terbukti tidak independen, dipecat. Itu, dengan adanya DKPP banyak yang bisa diperbaiki.
Apa perlu aturan baru?Misalnya pun tidak ada aturan baru, dengan aturan yang ada saja ini pun, lama-kelamaan ini pasti Insya Allah akan jauh lebih baik. Karena mekanisme pemberhentian ini baru, nanti juga lama-lama akan menjadi kebiasaan, lama-lama terbentuk menjadi perilaku. Selama tiga taÂhun terakhir ini memang terbukti lebih baik. Dibandingkan pileg dan pilpres dulu, (sekarang) sudah jauh lebih baik.
Apa indikatornya kalau sekarang sudah lebih baik?Sekarang waktu pilkada, itu juga laporan, pengaduan itu juga makin berkurang. Jadi peÂnyelenggara pemilu kita makin baik. Apalagi sesudah adanya keputusan-keputusan efektif dari DKPP, mereka takut juga kan. Karena putusan-putusan DKPP itu efektif, bisa diberhentikan. Nah mereka bisa dicegah dari kemungkinan berbuat yang tidak semestinya.
Terkait rendahnya partisipasi publik di pilkada apa yang perlu dievaluasi?Kita kan terlalu ekstrim nih, dari kampanye jor-joran, dibiÂayai oleh masing-masing pasanÂgan calon atau partai menjadi kampanye dibiayai oleh negara. Sedangkan negara kan angÂgarannya terbatas. Maka spanÂduk-spanduk jadi kurang. Nah itu tanpa disadari, berdampak kepada pendidikan politik. Pendidikan politik untuk mengÂgerakkan orang-orang memilih itu masih perlu, makanya pesta demokrasi ini masih dirasakan sebagai pesta. Tapi sekarang ini jauh lebih ekstrim, dari pilkada yang tempo hari terlalu jor-joran, terlalu semarak, di setiap sudut jalan ada spanduk, ada foto orang di mana-mana menjadi jorok, sekarang ini di mana-mana nggak ada.
Selama satu tahun terakhir ini, masa kampanye saya kelilÂing, termasuk Presiden Jokowi merasakan kok adem ayem. Jadi adem ayem itu karena meÂmang tidak berhasil menggalang dan menggerakkan partisipasi masyarakat. Jadi saya rasa baik juga ya kita evaluasi.
Apa saja yang perlu dievaluÂasi?Supaya partai politik itu boleh, tapi secara terbatas. Biarin aja gitu lho kesemarakan itu ada. Jangan sama sekali nggak seÂmarak, dan tidak membantu proses pendidikan politik. Kita pilih jalan tengahnya lah nanti. Kita pikirkan. Sehingga tidak seperti sekarang, tidak terlalu sepi. Sepi banget. ***