Setelah melalui pembahasan yang cukup alot akhirnya pemerintah menyetujui menaikkan nilai ganti rugi bagi korban salah tangkap hingga 600 kali lipat, dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) 27 Tahun 1983 TenÂtang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jika sebelumnya di PP 27/1983, korban salah tangkap hanya diberi ganti rugi senilai Rp 5.000 - Rp 1 juta, dengan PP baru, kompensasi korban salah tangkap dibagi menjadi tiga kategori; Pertama, korban salah tangkap tanpa kekerasan akan diberi kompensasi Rp 500 ribu - Rp 100 juta. Kedua, jika korÂban salah tangkap mengalami kekerasan dan luka berat akan diberi ganti rugi Rp 25 juta - Rp 300 juta. Sementara untuk korÂban salah tangkap yang meningÂgal dunia pemerintah memberi kompensasi Rp 50 juta - Rp 600 juta.
Di balik munculnya ketenÂtuan baru itu pria inilah yang bekerja merumuskan PP terseÂbut. Berikut wawancara Rakyat Merdeka dengan Prof Widodo Eka Tjahjana;
Apa yang menjadi dasar pertimbangan revisi PP ini?Dalam pelaksanaan penyeÂlidikan dan penyidikan perkara kadang-kadang ada anggota Polri secara personal bertindak di luar ketentuan PP 27/1983. Misalnya, karena sudah salah tangkap si korban hanya diberi kompensasi materi secara personÂal untuk menutup itu. Misalnya, ada tukang ojek yang menjadi korban salah tangkap dipenjara hingga delapan bulan tapi hanya diberi ganti rugi dengan cara personal saja.
Padahal Polri kan menjalankÂan tugas atas nama negara, bukan personal. Sehingga yang mempertanggungjawabkan itu negara. Bahwa jika terjadi kekhÂilafan dan ketidakprofesionalan ya negara yang harus bertangÂgung jawab. Oleh karena itu lewat PP ini di satu sisi institusi penegak hukum dituntut juga memperbaiki kinerjanya.
Bagaimana jika kesalahan itu memang sengaja dilakukan. Merekayasa kasus misalkan?Biasanya itu bersifat sektoral pada institusi masing-masing. Kerap, mungkin ada kesalahan dan kelalaian itu (diberikan) sanksi administrasi, entah itu mutasi, penurunan jabatan bahÂkan pemberhentian. Misalnya kelalaian yang menyebabkan meninggal. Bisa saja itu terjadi. Tapi itu tidak tercakup di PP ini. Tapi itu di instansi masing-masing.
Nominal ganti rugi salah tangkap ini meningkat cukup signifikan. Bagaimana jika terjadi persekongkolan merÂekayasa kasus salah tangkap untuk mendapatkan kompenÂsasi?Saya rasa tidak mungkin, karena itu didasarkan kepada putusan hakim. Jadi hakim nanti yang akan menetapkan besaran ganti rugi itu. Karena itu akan tertuang juga dalam penetapan hakim.
Bisa dipastikan persekongÂkolan itu tidak mungkin terÂjadi?Nggak bisa, nggak akan bisa. Karena masing-masing pihak akan terkontrol.
Substansinya, apa saja yang membedakan PP ini dengan yang sebelumnya?Yang substansi, dulu RPP ini tidak membedakan antara mereka yang cacat dengan yang mati. Nah sekarang ada penÂgelompokan yang memberikan nilai keadilan secara substansil bagi korban yang meninggal.
Lantas bagaimana proseÂdur pencairan duit ganti rugi tersebut? Soal bagaimana kita memÂbantu korban memperoleh hak dari negara itu cukup mengÂgunakan petikan bukan salinan putusan (hakim). Kalau petiÂkan yang diminta oleh korban, 1-2 jam sudah keluar, hari itu juga bisa langsung diajukan (pencairan ganti ruginya) ke Menteri Keuangan. Tapi kalau salinan praktiknya selama ini bisa sampai berbulan-bulan. Cukup petikan atau salinan kita kasih dua-duanya.
Bisa diceritakan bagaimana proses revisi PP kompensasi ini berlangsung?Jadi kemarin itu kita melakuÂkan harmonisasi, termasuk kita mengundang juga dari Kementerian Keuangan dan instiÂtusi terkait untuk membahas juga bagaimana prosedur pencairan kompensasi itu. Secara teknis Pak Menteri mengarahkan kita nggak lama kok itu. Kita sudah capai kesepakatan. Pertama, menyangkut ganti rugi, ada debirokratisasi.
Pemangkasan yang oleh KMK (Keputusan Menteri Keuangan) tahun 1983 itu kan sebetulnya agak berbelit dan membutuhkan waktu panjang. Karena perspekÂtif kita sama, perspektif yang berpihak kepada rakyat pencari keadilan, sehingga ini harus dipangkas.
Apa saja yang dipangkas?Menteri Hukum dan HAM kita harapkan itu otomatis tidak terlibat. Jadi cukup ketua penÂgadilan saja menerbitkan petiÂkan tentang penetapan putusan langsung disampaikan kepada korban dan korban langsung disampaikan kepada Menteri Keuangan.
Kalau KMK1983 itu setelah dari pengadilan, Kementerian Keuangan, masih Kementerian Kehakiman istilahnya dulu itu. Ini yang kita pangkas sekarang. Itu yang pertama, yang kedua di PP ini juga dan KMK1983 untuk pelaksanaan ganti rugi tidak ditetapkan berapa lama. Nah sekarang ganti rugi kita sepakati 14 hari, padahal waktu kita masih dalam draft itu kita sepakati 90 hari.
Draf itu dari hasil kompilasi dengan LBH, praktisi dan seÂmuanya masukkan kemudian kita rumuskan 90 hari. Namun dalam perkembangannya, ada kesepakatan bagaimana negara hadir agar tidak terlalu lama yang menyebabkan ganti rugi itu tidak secepatnya sampai. ***