Berita

Widodo Eka Tjahjana:net

Wawancara

WAWANCARA

Widodo Eka Tjahjana: PP Korban Salah Tangkap Tak Mungkin Bisa Diakali, Karena Dikontrol Melalui Penetapan Hakim

MINGGU, 29 NOVEMBER 2015 | 09:04 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Setelah melalui pembahasan yang cukup alot akhirnya pemerintah menyetujui menaikkan nilai ganti rugi bagi korban salah tangkap hingga 600 kali lipat, dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) 27 Tahun 1983 Ten­tang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
 
Jika sebelumnya di PP 27/1983, korban salah tangkap hanya diberi ganti rugi senilai Rp 5.000 - Rp 1 juta, dengan PP baru, kompensasi korban salah tangkap dibagi menjadi tiga kategori; Pertama, korban salah tangkap tanpa kekerasan akan diberi kompensasi Rp 500 ribu - Rp 100 juta. Kedua, jika kor­ban salah tangkap mengalami kekerasan dan luka berat akan diberi ganti rugi Rp 25 juta - Rp 300 juta. Sementara untuk kor­ban salah tangkap yang mening­gal dunia pemerintah memberi kompensasi Rp 50 juta - Rp 600 juta.

Di balik munculnya keten­tuan baru itu pria inilah yang bekerja merumuskan PP terse­but. Berikut wawancara Rakyat Merdeka dengan Prof Widodo Eka Tjahjana;


Apa yang menjadi dasar pertimbangan revisi PP ini?
Dalam pelaksanaan penye­lidikan dan penyidikan perkara kadang-kadang ada anggota Polri secara personal bertindak di luar ketentuan PP 27/1983. Misalnya, karena sudah salah tangkap si korban hanya diberi kompensasi materi secara person­al untuk menutup itu. Misalnya, ada tukang ojek yang menjadi korban salah tangkap dipenjara hingga delapan bulan tapi hanya diberi ganti rugi dengan cara personal saja.

Padahal Polri kan menjalank­an tugas atas nama negara, bukan personal. Sehingga yang mempertanggungjawabkan itu negara. Bahwa jika terjadi kekh­ilafan dan ketidakprofesionalan ya negara yang harus bertang­gung jawab. Oleh karena itu lewat PP ini di satu sisi institusi penegak hukum dituntut juga memperbaiki kinerjanya.

Bagaimana jika kesalahan itu memang sengaja dilakukan. Merekayasa kasus misalkan?
Biasanya itu bersifat sektoral pada institusi masing-masing. Kerap, mungkin ada kesalahan dan kelalaian itu (diberikan) sanksi administrasi, entah itu mutasi, penurunan jabatan bah­kan pemberhentian. Misalnya kelalaian yang menyebabkan meninggal. Bisa saja itu terjadi. Tapi itu tidak tercakup di PP ini. Tapi itu di instansi masing-masing.

Nominal ganti rugi salah tangkap ini meningkat cukup signifikan. Bagaimana jika terjadi persekongkolan mer­ekayasa kasus salah tangkap untuk mendapatkan kompen­sasi?
Saya rasa tidak mungkin, karena itu didasarkan kepada putusan hakim. Jadi hakim nanti yang akan menetapkan besaran ganti rugi itu. Karena itu akan tertuang juga dalam penetapan hakim.

Bisa dipastikan persekong­kolan itu tidak mungkin ter­jadi?
Nggak bisa, nggak akan bisa. Karena masing-masing pihak akan terkontrol.

Substansinya, apa saja yang membedakan PP ini dengan yang sebelumnya?

Yang substansi, dulu RPP ini tidak membedakan antara mereka yang cacat dengan yang mati. Nah sekarang ada pen­gelompokan yang memberikan nilai keadilan secara substansil bagi korban yang meninggal.

Lantas bagaimana prose­dur pencairan duit ganti rugi tersebut?

Soal bagaimana kita mem­bantu korban memperoleh hak dari negara itu cukup meng­gunakan petikan bukan salinan putusan (hakim). Kalau peti­kan yang diminta oleh korban, 1-2 jam sudah keluar, hari itu juga bisa langsung diajukan (pencairan ganti ruginya) ke Menteri Keuangan. Tapi kalau salinan praktiknya selama ini bisa sampai berbulan-bulan. Cukup petikan atau salinan kita kasih dua-duanya.

Bisa diceritakan bagaimana proses revisi PP kompensasi ini berlangsung?

Jadi kemarin itu kita melaku­kan harmonisasi, termasuk kita mengundang juga dari Kementerian Keuangan dan insti­tusi terkait untuk membahas juga bagaimana prosedur pencairan kompensasi itu. Secara teknis Pak Menteri mengarahkan kita nggak lama kok itu. Kita sudah capai kesepakatan. Pertama, menyangkut ganti rugi, ada debirokratisasi.

Pemangkasan yang oleh KMK (Keputusan Menteri Keuangan) tahun 1983 itu kan sebetulnya agak berbelit dan membutuhkan waktu panjang. Karena perspek­tif kita sama, perspektif yang berpihak kepada rakyat pencari keadilan, sehingga ini harus dipangkas.

Apa saja yang dipangkas?
Menteri Hukum dan HAM kita harapkan itu otomatis tidak terlibat. Jadi cukup ketua pen­gadilan saja menerbitkan peti­kan tentang penetapan putusan langsung disampaikan kepada korban dan korban langsung disampaikan kepada Menteri Keuangan.

Kalau KMK1983 itu setelah dari pengadilan, Kementerian Keuangan, masih Kementerian Kehakiman istilahnya dulu itu. Ini yang kita pangkas sekarang. Itu yang pertama, yang kedua di PP ini juga dan KMK1983 untuk pelaksanaan ganti rugi tidak ditetapkan berapa lama. Nah sekarang ganti rugi kita sepakati 14 hari, padahal waktu kita masih dalam draft itu kita sepakati 90 hari.

Draf itu dari hasil kompilasi dengan LBH, praktisi dan se­muanya masukkan kemudian kita rumuskan 90 hari. Namun dalam perkembangannya, ada kesepakatan bagaimana negara hadir agar tidak terlalu lama yang menyebabkan ganti rugi itu tidak secepatnya sampai. ***

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

UPDATE

DAMRI dan Mantan Jaksa KPK Berhasil Selamatkan Piutang dari BUMD Bekasi

Selasa, 23 Desember 2025 | 14:12

Oggy Kosasih Tersangka Baru Korupsi Aluminium Alloy Inalum

Selasa, 23 Desember 2025 | 14:09

Gotong Royong Penting untuk Bangkitkan Wilayah Terdampak Bencana

Selasa, 23 Desember 2025 | 14:08

Wamenkum: Restorative Justice Bisa Diterapkan Sejak Penyelidikan hingga Penuntutan

Selasa, 23 Desember 2025 | 14:04

BNI Siapkan Rp19,51 Triliun Tunai Hadapi Libur Nataru

Selasa, 23 Desember 2025 | 13:58

Gus Dur Pernah Menangis Melihat Kerusakan Moral PBNU

Selasa, 23 Desember 2025 | 13:57

Sinergi Lintas Institusi Perkuat Ekosistem Koperasi

Selasa, 23 Desember 2025 | 13:38

Wamenkum: Pengaturan SKCK dalam KUHP dan KUHAP Baru Tak Halangi Eks Napi Kembali ke Masyarakat

Selasa, 23 Desember 2025 | 13:33

Baret ICMI Serahkan Starlink ke TNI di Bener Meriah Setelah 15 Jam Tempuh Medan Ekstrim

Selasa, 23 Desember 2025 | 13:33

Pemerintah Siapkan Paket Diskon Transportasi Nataru

Selasa, 23 Desember 2025 | 13:31

Selengkapnya