Permohonan uji materi UU 2/2002 tentang Kepolisian dan UU 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan (LLAJ) menuai cercaan dari majelis hakim konstitusi.
Menurut anggota Majelis Hakim MK, Maria Farida, tanda tangan antara permohonan awal atau pendahuluan dengan perubahannnya memiliki perbedaan signifikan.
"Tanda tangan kuasa hukumnya saya melihatnya seperti ditandatangani oleh satu orang dalam perbaikan permohonan karena ini berbeda sekali dengan permohonan awal,†ujar Maria di sela tanya jawab uji materi sidang terkait kewenangan kepolisian menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM) di ruang sidang Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (1/10).
Menanggapi hal ini, hakim ketua Arief Hidayat meminta kuasa hukum pemohon untuk segera mengklarifikasi pertanyaan hakim Maria. Sebab, jika tanda tangan itu terbukti palsu, permohonan yang diajukan bisa dianggap 'main-main.'
"Ini sangat bahaya. Saya mohon pihak terkait (kepolisian) bisa lihat disitu. Nanti coba dilihat," ujar Arief.
Arief mengingatkan, jangan sampai dalam forum terhormat MK terjadi hal yang dianggap tidak senonoh.
Pihak Pemohon, Erwin Natosmal Oemar mengaku terburu-buru memproses permohonan uji materi tersebut. Namun ia tegaskan, bukan berarti para pemohon mengabaikan proses detail soal tanda tangan itu.
"Ini terbukti dari adanya pemberitahuan mengenai perubahan pasal hukum maupun yang tidak kami tanda tangani. Jadi yang tanda tangan orangnya langsung. Itu bisa dikonfirmasi ke masing-masing," ujar Erwin.
Atas temuan itu, hakim Arief meminta Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari kuasa hukum pemohon khususnya yang membubuhkan tandatangan untuk diserahkan ke panitera MK untuk dicek. Lalu ia juga meminta Polri mengecek kebenaran tanda tangan tersebut.
"Polri sebagai pihak terkait dalam kasus kita minta klarifikasi dan identifikasi tanda tangan, Polri betul-betul bisa independen. Artinya keterangan itu kalau memang tandatangannya otentik, katakan otentik. Kalau tidak, katakan tidak otentik. Karena bisa berakibat kalau ini palsu maka permohonan ini gugur," ujar Arief.
Ia menambahkan, pemalsuan tanda tangan dalam permohonan bisa dikatakan pidana. Tapi karena ini bukan delik aduan maka ia mempersilakan Polri yang menangani persoalan ini dan diharapkan independen karena menyangkut kredibilitas insitusi penegak hukum tersebut.
Ia pun meminta paling lambat pada sidang yang akan datang, identifikasi tanda tangan tersebut bisa diputuskan keasliannya. Sebab hal ini berhubungan erat dengan kelanjutan uji materi kewenangan SIM.
"Ini untuk menjaga kewibawaan mahkamah. Kalau ada permohonan dengan tandatangan palsu, itu melecehkan mahkamah. Para hakim sepakat harus kita jaga bersama kewibawaan mahkamah. Karena itu saya minta pada Polri meskipun sebagai pihak terkait yang berkenaan dengan permohonan ini, saya mohon Polri tetap independen," demikian Arief.
Di tempat yang sama, Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Brigadir Jenderal Pol Sam Budigusdian sebagai pihak terkait mengaku menyesalkan adanya dugaan pemalsuan tanda tangan tersebut. Sam mengatakan, tindakan itu jelas penghinaan pada peradilan.
"Ini berat sekali menurut saya, pengadilan yang sangat mulia dilecehkan. Kalau itu palsu pengadilan dihentikan. Ini sungguh memalukan dan melecehkan," kata Sam.
Sam pun mendukung upaya majelis hakim yang meminta agar ahli forensi dari kepolisian turun tangan mengusut persoalan tersebut dengan pembanding KTP masing-masing kuasa hukum pemohon. Menurut Sam, jika terbukti pemohon bisa dijerat dengan pasal pemalsuan.
Untuk diketahui, Koalisi untuk Reformasi Polri yang terdiri dari Indonesia Legal Roundtable diwakili Erwin Natosmal Oemar, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diwakili Julius Ibrani, dan lainnya menggugat sejumalh Pasal dala UU Kepolisian dan UU LLAJ. Pada intinya mereka menggugat kewenangan kepolisian dalam menerbitkan SIM dan STNK.
[wid]