Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyampaikan peta masalah ekonomi nasional di hadapan Presiden Joko Widodo. Dalam acara yang digelar di Jakarta Convention Center itu, Ketua Umum ISEI, Darmin Nasution, memaparkan lebih dulu masalah dan solusi yang ditawarkan ISEI. Setelahnya, Presiden Jokowi memberikan pandangan dan garis kebijakan pemerintahannya.
Di awal penjelasannya, Darmin mengatakan, ekonomi kita selama beberapa tahun terakhir atau sejak 2006-2007, sangat didominasi oleh perkembangan pengolahan sumber daya alam, termasuk dari non-migas dan perkebunan. Saat ini, Indonesia memasuki apa yang disebut sebagai "super siklus" dalam harga-harga komoditas.
"Ekonomi kita yang motor pernggeraknya dulu umumnya adalah manufaktur, beralih ke komoditas. Itu akan baik-baik saja selama siklusnya di atas terus. Sayangnya siklusnya tidak selalu di atas,†kata Darmin dari atas mimbar.
Dalam beberapa tahun, lanjut dia, siklus berubah jadi menurun dan mempengaruhi penghasilan orang Indonesia. Turunnya harga komoditas itu paling berpengaruh di masyarakat luar Jawa. Satu atau dua provinsi yang tadinya sangat menikmati hasil migas, akhir-akhir ini bukan hanya mengalami perlambatan ekonomi tapi juga pertumbuhan negatif.
"Misalnya Riau, Kalimantan Timur, semua alami itu," ujar Darmin lagi.
Perlambatan ekonomi itu juga terjadi pada konsumsi karena penghasilan masyarakat terganggu. Menurutnya, hal itu sudah terjadi beberapa tahun terakhir ini. Misal, pertumbuhan penjualan semen, pembelian kendaraan bermotor maupun kredit konsumsi, menurun bahkan mulai negatif. Perkembangan produksi dan investasi juga mulai stagnan, bahkan mulai melambat.
Dalam segi penerimaan APBN pun menurun. Dalam APBN-P 2015, pencapaian yang tercatat lebih kecil dari tahun sebelumnya. Dua kementerian paling utama dalam infrastruktur, yaitu pekerjaan umum dan perhubungan, ternyata rendah dalam realisasi pengeluaran. Tercatat, masih di bawah capaian tahun lalu.
"Dalam situasi seperti ini ada satu pilar yang bisa diharapkan jadi stimulus melawan siklus itu, yaitu APBN. Biasanya APBN yang dipakai untuk menangkal dampak negatif dari faktor luar itu. Nah, ini salah satu faktor masalahnya. Kelihatannya kita terlambat bereaksi terhadap tendensi yang berlangsung," ucap Darmin
Sebagai kesimpulan, Darmin menyampaikan beberapa solusi yang ditawarkan ISEI. Pertama, menjamin ketersediaan pangan atau bahan makanan pokok. Hal itu jadi penting sekali dan banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah di belakang itu. Pemerintah juga diminta menjaga fluktuasi harga yang berdampak pada kemiskinan.
Kedua, menjaga nilai tukar rupiah yang berdampak negatif pada dunia usaha dan rumah tangga. Ketiga, memupuk tabungan dalam negeri dari masyarakat. Bahkan pemerintah disarankan membangun kembali kebiasaan masyarakat untuk menabung, paling tidak menempatkan uang mereka di bank dalam jangka waktu tertentu agar bank mempunyai cukup modal untuk memutar perekonomian.
Ia juga menyinggung target pengumpulan pajak yang masih meleset dari target. Namun di sisi lain, pihak Direktorat Pajak datang dengan berbagai inisiatif baru yang sayangnya sering berubah-ubah, terkesan kurang matang dalam persiapan.
"Ini mungkin karena target (penerimaan pajak) yang harus dicapai terlalu besar, yang kalau dalam waktu singkat itu luar biasa berat (untuk mencapainya). Kekurangsiapan itu membuat gugup dunia usaha. Target pajak dinaikkan signifikan 39 persen di tengah perekonomian yang melambat. Ini tak sejalan dengan tujuan fiskal yang cenderung harus akomodatif dalam situasi ekonomi yang melambat," terang Darmin.
[ald]