Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan tidak mau dipersalahkan bekas Mendikbud M Nuh mengenai Kurikulum 2013.
Keputusan pemerintah SBY melalui Peraturan PemeÂrinÂtah (PP) 32 tahun 2013 meÂngataÂkan bahwa pemerintah diÂberi wakÂtu tujuh tahun untuk meÂneÂrapkan Kurikulum 2013 itu,’’ tegas Anies Baswedan.
Tapi, lanjutnya, kenapa pemeÂrintah langsung menerapkannya dengan hanya persiapan setaÂhun, sehingga menimbulkan baÂÂnyak masalah. Sekarang kita akan menjaÂlankan sesuai PP itu. Jadi kebiÂjakan ini bukan langÂkah munÂdur dari kebijakan seÂbelumÂnya,’’ jelasnya.
Ini wawancara lengkap
Rakyat MerdeÂka dengan Anies BasweÂdan di kanÂtornya, Jakarta, Jumat (12/12).
Anda dinilai melakukan langÂkah mundur. Apa komenÂtar Anda?Justru saya yang mau bertanya, kenapa persiapannya hanya diÂkerÂjakan setahun, sehingga baÂnyak masalah. Coba dikerjakan sesuai dengan PP yang dibuat oleh SBY itu, tentu tidak ada maÂsalah.
Di seluruh dunia, menjalankan kurikulum tidak ada yang perÂsiaÂpannya hanya setahun, apalagi neÂgeri sebesar Indonesia. SingaÂpura empat tahun, Inggris tujuh tahun.
Menurut saya, janganlah saling menyalahkan. Kalau saya diam saja, tidak ada kontroversi. Tapi sekolah, gurunya dan muridnya kerepotan. Begitu juga orangtua kerepotan.
Lagi pula kita ini bukan mengÂhentikan, tetapi melaksanakan sesuai PP yang dibuat pemerinÂtahan SBY yang diberi waktu tuÂjuh tahun. Tapi Insya Allah saya yakin tiga sampai empat tahun saja sudah selesai.
Bagaimana Anda menyikapi pro dan kontra dihentikannya Kurikulum 2013?Sebenarnya Kurikulum 2013 terus mengalami evaluasi untuk dilaksanakan. Yang berhenti itu, sekolah yang baru menerapkan satu semester. Sedangkan yang tiÂga semester di 3 persen sekolah menjadi rintisan untuk dijadikan contoh agar diterapkan di berÂbagai sekolah. Jadi bukan untuk mengganti kurikulum.
Tidak semua sekolah harus kembali ke Kurikulum 2006?Betul. Yang baru melaksanaÂkan satu semester, bisa mengguÂnakan Kurikulum 2006. Sebab, ditemukan banyak masalah.
Apa saja masalahnya?Masalahnya ada pada impleÂmenÂtasi. Pertama, pelatihan guÂrunya belum tuntas. Kedua, buÂkunya belum lengkap. Efeknya ketika dijalankan menimbulkan masalah karena ada 202 ribu sekolah.
Pelatihan guru membutuhkan kira-kira 6-8 bulan. Bayangkan melatih guru 3,1 juta orang. SeÂcara kesiapan belum tentu bisa melaksanakan.
Kita melihat ini kurikulum baÂgus, jangan sampai justru meÂnimÂbulkan masalah di sekolah. MaÂkanya yang 3 persen yang meÂnerapkan kurikulum itu diÂkemÂbangkan. Setiap sekolah mengÂgunakan 3 persen ini untuk temÂpat pelatihan, dan diterapkan di sekolah-sekolah.
Bagaimana dengan sekolah yang sudah menerapkan KuriÂkulum 2013 secara full?Justru persoalannya seluruh sekolah sudah menerapkan, tapi dengan kesiapan yang berbeda-beda. Saya mulai di sini baru enam minggu, namun banyak keÂÂÂluhan dari masyarakat. MaÂsaÂlahÂnya bukan di kurikulumÂnya, tapi penggunanya belum disiapkan dengan baik.
Kalau buku, persoalannya di mana?Coba bayangkan, sampai deÂngan akhir Desember ini lebih dari 25 persen kabupaten belum meÂnandatangi kontrak percetaÂkan buku. Tanda tangan konÂtrak buÂkan berarti sudah menÂcetak, tetapi baru tanda tangan kontrak. Habis itu nyetak. SeÂtelah itu baru dibagi. Padahal, ini sudah mau habis semester.
Akhir semester satu saja seÂkitar 20 persen sekolah belum terima buku. Jadi masalahnya, adalah karena dalam implemenÂtasinya banyak masalah.
Bagaimana dengan buku KurikuÂlum 2013 yang sudah dicetak?Buku-buku itu jalan terus. TiÂdak ada percetakan yang diruÂgiÂkan. Kontrak jalan terus dan buÂkunya tetap dikirim ke sekolah. SeÂkolah wajib menerima bukuÂnya, dimanfaatkan di perpustaÂkaÂannya. Nanti ketika sekolah meÂlaksanakan (Kurikulum 2013-red) buku itu bisa diguÂnakan.
Banyak orangtua murid dibuat bingung oleh keputusan itu. Komentar Anda?Sebetulnya tidak ada yang memÂbingungkan, semuanya jeÂlas. Yang baru satu semester pakai Kurikulum 2006, sebanyak 97 pesen sekolah. Yang sudah meneÂrapkan tiga semester, yaitu 3 persen sekolah teruskan seÂbagai sekolah rintisan. ***