Berita

hikmahanto juwana/net

Bisnis

Pakar: Lobi Masih Lemah, Pemerintah Jangan Gegabah Ratifikasi FTCT

SELASA, 02 DESEMBER 2014 | 10:36 WIB | LAPORAN:

Kementerian Perindustrian memastikan menolak ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau konvensi pengendalian tembakau karena aturan yang ada dinilai sudah cukup untuk mengatur industri hasil tembakau.  

FCTC juga dinilai memberangus rokok kretek. Padahal, berbicara soal rokok kretek itu ada tiga aspek, yakni kretek sebagai industri 'heritage', pendapatan dari cukai rokok, dan aspek tenaga kerja.  Meski begitu, tetap saja ada sejumlah kalangan yang menilai pemerintah harus mendorong ratifikasi FCTC agar bisa punya peran di forum internasional.

Menanggapi hal itu, pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana menilai, argumentasi bahwa jika meratifikasi FCTC kemudian Indonesia punya peran di internasional terlalu menggampangkan. Padahal, sudah terbukti, kemampuan lobi-lobi pemerintah, wakil wakil pemerintah, di forum internasional masih lemah.


"Mereka, para wakil kita di forum internasional, belum bisa mewarnai kepentingan Indonesia. Misal Indonesia ikut masuk WTO, nyatanya kepentingan Indonesia selalu tak diakomodasi, warna Indonesia kurang terlihat. Kemampuan lobi pemerintah masih lemah," ujar Hikmahanto saat dihuungi wartawan, Selasa (2/12).

Menurut dia, dengan kemampuan lobi yang masih lemah akan lebih baik pemerintah tidak memaksakan ratifikasi FCTC. Ini perlu dilakukan karena Indonesia merupakan negara penghasil tembakau terbesar di dunia sehingga jangan sampai ketika ratifikasi, justru kepentingan Indonesia selalu ditekan oleh pihak luar.

"Menurut saya ditunda dulu sampai kita yakin kita bisa punya pengaruh dan punya warna di forum internasional. Kita ini negara penghasil tembakau terbesar jelas harus punya suara, jadi harus diperhatikan betul," tandasnya.

Ia menilai politik internasional berbeda dengan di DPR di mana mayoritas mungkin bisa mengedalikan suara memberi warna. Dalam lobi politik internasional, ada begitu banyak kepentingan. Jika posisi lemah, akan sangat berbahaya.

Di sisi lain, Hikmahanto juga mengingatkan, ratifikasi FCTC sudah berkaitan dengan lintas sektoral kementerian sehingga jangan lagi ada ego sektoral antar kementerian seperti yang sudah seringkali diingatkan oleh Presiden Joko Widodo. Untuk itu perlu dilihat secara komprehensif dan tidak gegabah.

"Kita tahu ratifikasi FCTC dikehendaki oleh Kementerian Kesehatan, tapi dampaknya ke Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Desa dan banyak lagi sektor ekonomi tergannggu. Selama ini tembakau sudah jadi tulang punggung ekonomi melalui cukai, lapangan pekerjaan. Lalu apakah dengan rafifikasi semua masalah kesehatan selesai, bebas rokok, kan tidak juga," tegasnya.

Terakhir, kata Hikmahanto, akan lebih baik pemerintah memaksimalkan instrumen hukum yang ada ketimbang memaksakan rafifikasi FCTC. Apakah instrumen yang ada itu sudah maksimal atau belum. Jangan sampai pemerintah ngotot ratifikasi tapi kemudian kedaulatan ekonomi politik dirongrong. Jadi, kata dia, tidak benar seakan setelah ratifikasi semua masalah akan selesai.  Belum lagi kekhawatiran, jika rafikasi impor tembakau juga akan makin melonjak.

"Jangan sampai kita bergerak ikut dalam satu konvensi, justru kedaulatan kita dirongrong, tidak benar ikut ratifikasi seakan semua menjadi benar semua. Kembali lagi, lebih baik pakai hukum kita. AS saja belum rafitikasi, kenapa tiba-tiba Indonesia seakan akan mau jadi pahlawan," tegas Hikmatanto.[wid]


Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Perbankan Nasional Didorong Lebih Sehat dan Tangguh di 2026

Senin, 22 Desember 2025 | 08:06

Paus Leo XIV Panggil Kardinal di Seluruh Dunia ke Vatikan

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00

Implementasi KHL dalam Perspektif Konstitusi: Sinergi Pekerja, Pengusaha, dan Negara

Senin, 22 Desember 2025 | 07:45

FLPP Pecah Rekor, Ribuan MBR Miliki Rumah

Senin, 22 Desember 2025 | 07:24

Jaksa Yadyn Soal Tarik Jaksa dari KPK: Fitnah!

Senin, 22 Desember 2025 | 07:15

Sanad Tarekat PUI

Senin, 22 Desember 2025 | 07:10

Kemenkop–DJP Bangun Ekosistem Data untuk Percepatan Digitalisasi Koperasi

Senin, 22 Desember 2025 | 07:00

FDII 2025 Angkat Kisah Rempah Kenang Kejayaan Nusantara

Senin, 22 Desember 2025 | 06:56

Polemik Homebase Dosen di Indonesia

Senin, 22 Desember 2025 | 06:30

KKP Bidik 35 Titik Pesisir Indonesia Buat KNMP Tahap Dua

Senin, 22 Desember 2025 | 05:59

Selengkapnya