Badan Intelijen Negara (BIN) mesti mengalami reformasi secara paradigma maupun kelembagaan. Salah satunya, mengenai jumlah anggota yang sekarang masih jauh dari ideal.
"Masalah ideal atau tidak itu tergantung anggaran negara. CIA (Amerika Serikat) itu punya 6000 orang anggotanya di seluruh dunia. Sedangkan kita di dalam negeri kita tidak sampai 2000 orang anggota. Itu tidak ideal tapi kita harus sesuaikan dengan anggaran negara," jelas mantan Wakil Kepala BIN, As'ad Said Ali, kepada , di kantornya, Jakarta, Kamis malam (20/11).
Yang lebih penting, menurut doktor kehormatan bidang hukum dari Universitas Diponegoro ini, pola perekrutan dan pendidikan. Calon anggota BIN dididik secara akademik, diarahkan untuk kualitas yang lebih bagus. Jangan lupakan perekrutan sarjana-sarjana dari universitas terbaik.
"Tak perlu terlalu besar jumlahnya. Yang penting ideal saja jumlahnya. Penambahan jumlah anggota itu kan nggak bisa langsung jadi," tegas pria yang pernah 9,5 tahun menjabat Waka BIN ini.
Ditambahkannya, visi ancaman dari BIN dan kapasitas masing-masing insan intelijen atau kelembagaannya harus berubah.
"Artinya ada perubahan kelembagaan yang kecil tapi fleksibel. Jangan diorganisir ala militer atau birokrat, itu celaka," tegas Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini.
Insan intelijen seharusnya tidak berpikir mengenai jabatan dari awal, tapi fungsional. Ia mesti berpikir menjadi ahli di satu bidang atau kasus. Misalnya ahli di bidang gerakan radikal semacam ISIS.
"Bukan cuma bagi-bagi jabatan. Karena judulnya ini kemampuan. Harus fleksibel dan mudah bergerak. Intelijensia tinggi dan menyertakan masyarakat dalam kesadaran membantu intelijen sebagai pertahanan dan keamanan nasional," tambah As'ad.
[ald]