Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menolak gugatan PDIP Cs terkait Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3). Ketua MK Hamdan Zoelva memastikan putusan itu sudah benar, karena itu dia tak khawatir kalau ada pihak tertentu yang akan mempersoalkan putusan itu ke Komite Etik MK.
“Hakim mempunyai hak untuk tidak menghadirkan dan menÂdengarkan ahli dari pemohon juÂdicial review undang-undang,’’ kaÂta Hamdan Zoelva kepada Rakyat Merdeka, di ruang kerjanya, GeÂdung MK, Jakarta, Kamis (3/10).
Seperti diketahui, PDIP akan melaporkan para hakim yang menolak gugatannya dalam UU MD3 ke Komite Etik MK. “Kami mempertimbangkan unÂtuk melaÂporÂkan hakim yang di luar dissenÂting opinion ini ke koÂmiÂte etik mahÂkamah, supaya diÂpeÂriksa. SeÂbab, hak-hak kami seÂbagai peÂmohon tidak diakomoÂdir,†kata Ketua DPP PDIP BiÂdang Hukum dan HAM TriÂmedya Panjaitan.
Dalam putusan ini, ada dissenting opinion atau pendapat berbeda dari hakim Maria Farida Indarti dan Arief Hidayat.
Hamdan Zoelva selanjutnya meÂngatakan, jika hakim sudah mempunyai pendapat dalam proÂses pengambilan keputusan, maÂka sebaiknya diambil keputusan.
“Kalau saya mendengarkan ahli dari pemohon, saya wajib menÂdengarkan ahli dari PemeÂrintah dan DPR. Prosesnya jadi semakin panjang,’’ paparnya.
Berikut kutipan selengkapnya:Kenapa panjang?Pasti mereka akan meminta tambahan waktu. Kalau mereka minta empat hari, dan tidak bisa kami penuhi. Kalau saya berikan kesempatan hanya dua hari, tentu hasilnya tidak akan maksimal.
Dalam putusan UU MD3, dua hakim dissenting opinion, seÂberapa alot pembahasannya? Itu perbedaan pandangan yang biasa saja. Bahkan dalam beÂberapa kali persidangan sempat ada tiga hakim yang dissenting opinion. Tapi hal itu sangat jarang terjadi. Hakim kan tidak harus satu pandangan. Bisa berbeda deÂngan yang lainnya. Hakim yang lain ada yang berpendapat bahwa Undang-undang tidak bisa diuji oleh undang-undang. Adanya dissenting opinion bukanlah hal luar biasa, itu hal biasa.
Ketika itu apa ada hakim yang minta pembahasan diperÂpanjang?Tidak ada. Sebab, masing-maÂsing hakim sudah bisa memÂberiÂkan pendapatnya. Kan hal yang normal saja tanpa mendengarkan dari pemohon atau pemerintah. Kalau kami sudah punya pendaÂpat, untuk apa diperpanjang. DaÂlam kondisi tersebut, MK sudah bisa mengambil keputusan.
MK tidak terkesan buru-buru?Tidak ada terburu-buru. SeteÂlah dibawa ke dalam Rapat PerÂmuÂsyawaratan Hakim (RPH), paÂra hakim sepakat untuk tidak memÂperÂpanjang pembahasan dan tiÂdak ingin menunggu terlalu lama.
Kami ingin memberikan keÂpasÂtian hukum yang cepat dan teÂpat. Kalau tidak diselesaikan seÂcara cepat, nanti ramai lagi. SeÂbab, proses pemilihan di DPR terus berlangsung.
Makanya kami putuskan saja. Yang penting, putusan itu tidak melanggar konstitusi.
Setiap pengambilan keputuÂsan, apa MK mengukur efek sosiologis di masyarakat?Yang paling dikedepankan daÂlam pemberian keputusan adalah sesuai dengan konstitusi atau tidak sesuai dengan konstitusi dan undang-undang. Jadi tidak seÂlalu berdasarkan mayoritas. TaÂpi dilihat dari sisi kebenaranÂnya.
Kalau mayoritas dan minorÂtitas, itu persoalan politik. Kami meÂlayani kepentingan puÂblik, bukan kepentingan sekeÂlomÂpok orang atau golongan.
Apa ada tekanan dalam meÂmutuskan gugatan UU MD3?Tidak ada. Sama sekali tidak ada yang menekan. Lagipula tiÂdak ada satu pun lembaga atauÂpun seseorang yang bisa meneÂkan MK dalam setiap pengamÂbilan putusan.
O ya, apa Anda sering menÂjalin komunikasi dengan Presiden SBY?Tidak. Baru kali ini saja saya diÂteÂlepon oleh beliau. SebelumÂnya tidak pernah ada komunikasi via telepon. Paling hanya berÂbinÂcang seÂdikit ketika bertemu daÂlam acara. Saya tetap menÂjunjung tinggi etik dari hakim yang membatasi bertemu deÂngan siapapun.
Apa Presiden membicarakan soal Perppu UU Pilkada?Tidak ada. Pak SBY hanya berÂtanya, MK akan mengambil keÂpuÂÂtusan apa. Tapi saya tidak bisa menÂjawabnya. Berdasarkan kode etik, seorang hakim tidak boleh membeberkan hasil dari sebuah kasus yang sedang berjalan. ***