Berita

Hamdan Zoelva

Wawancara

WAWANCARA

Hamdan Zoelva: Dissenting Opinion 2 Hakim Dalam Putusan UU MD3 Tidak Luar Biasa

SENIN, 06 OKTOBER 2014 | 09:06 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menolak gugatan PDIP Cs terkait Undang-Undang  Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3). Ketua MK Hamdan Zoelva memastikan putusan itu sudah benar, karena itu dia tak khawatir kalau ada pihak tertentu yang akan mempersoalkan putusan itu ke Komite Etik MK.

“Hakim mempunyai hak untuk tidak menghadirkan dan men­dengarkan ahli dari pemohon ju­dicial review undang-undang,’’ ka­ta Hamdan Zoelva kepada Rakyat Merdeka, di ruang kerjanya, Ge­dung MK, Jakarta, Kamis (3/10).

Seperti diketahui, PDIP akan  melaporkan para hakim yang menolak gugatannya dalam UU MD3 ke Komite Etik MK. “Kami mempertimbangkan un­tuk mela­por­kan hakim yang di luar  dissen­ting opinion ini ke ko­mi­te etik mah­kamah, supaya di­pe­riksa. Se­bab, hak-hak kami se­bagai pe­mohon tidak diakomo­dir,” kata Ketua DPP PDIP Bi­dang Hukum dan HAM Tri­medya Panjaitan.


Dalam putusan ini,  ada dissenting opinion atau pendapat berbeda dari hakim Maria Farida Indarti dan Arief Hidayat.

Hamdan Zoelva selanjutnya me­ngatakan, jika hakim sudah mempunyai pendapat dalam pro­ses pengambilan keputusan, ma­ka sebaiknya diambil keputusan.

“Kalau saya mendengarkan ahli dari pemohon, saya wajib men­dengarkan ahli dari Peme­rintah dan DPR. Prosesnya jadi semakin panjang,’’ paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Kenapa panjang?
Pasti mereka akan meminta tambahan waktu. Kalau mereka minta empat hari, dan tidak bisa kami penuhi. Kalau saya berikan kesempatan hanya dua hari, tentu hasilnya tidak akan maksimal.

Dalam putusan UU MD3, dua hakim dissenting opinion, se­berapa alot pembahasannya?
Itu perbedaan pandangan yang biasa saja. Bahkan dalam be­berapa kali persidangan sempat ada tiga hakim yang dissenting opinion. Tapi hal itu sangat jarang terjadi.  Hakim kan tidak harus satu pandangan. Bisa berbeda de­ngan yang lainnya. Hakim yang lain ada yang berpendapat bahwa Undang-undang tidak bisa diuji oleh undang-undang. Adanya dissenting opinion  bukanlah hal luar biasa, itu hal biasa.

Ketika itu apa ada hakim yang minta pembahasan diper­panjang?
Tidak ada. Sebab, masing-ma­sing hakim sudah bisa mem­beri­kan pendapatnya. Kan hal yang normal saja tanpa mendengarkan dari pemohon atau pemerintah. Kalau kami sudah punya penda­pat, untuk apa diperpanjang. Da­lam kondisi tersebut, MK sudah bisa mengambil keputusan.

MK tidak terkesan buru-buru?
Tidak ada terburu-buru. Sete­lah dibawa ke dalam Rapat Per­mu­syawaratan Hakim (RPH), pa­ra hakim sepakat untuk tidak mem­per­panjang pembahasan dan ti­dak ingin menunggu terlalu lama.

Kami ingin memberikan ke­pas­tian hukum yang cepat dan te­pat. Kalau tidak diselesaikan se­cara  cepat, nanti ramai lagi. Se­bab, proses pemilihan di DPR terus berlangsung.

Makanya kami putuskan saja. Yang penting, putusan itu tidak melanggar konstitusi.

Setiap pengambilan keputu­san, apa MK mengukur efek sosiologis di masyarakat?
Yang paling dikedepankan da­lam pemberian keputusan adalah sesuai dengan konstitusi atau tidak sesuai dengan konstitusi dan undang-undang. Jadi tidak se­lalu berdasarkan mayoritas. Ta­pi dilihat dari sisi kebenaran­nya.

Kalau mayoritas dan minor­titas, itu  persoalan politik. Kami me­layani kepentingan pu­blik, bukan kepentingan seke­lom­pok orang atau golongan.

Apa ada tekanan dalam me­mutuskan gugatan UU MD3?
Tidak ada. Sama sekali tidak ada yang menekan. Lagipula ti­dak ada satu pun lembaga atau­pun seseorang yang bisa mene­kan MK dalam setiap pengam­bilan putusan.

O ya, apa Anda sering men­jalin komunikasi dengan Presiden SBY?
Tidak. Baru kali ini saja saya di­te­lepon oleh beliau. Sebelum­nya tidak pernah ada komunikasi via telepon. Paling hanya ber­bin­cang se­dikit ketika bertemu da­lam acara. Saya tetap men­junjung tinggi etik dari hakim yang membatasi bertemu de­ngan siapapun.

Apa Presiden membicarakan soal Perppu UU Pilkada?
Tidak ada. Pak SBY hanya ber­tanya, MK akan mengambil ke­pu­­tusan apa. Tapi saya tidak bisa men­jawabnya. Berdasarkan kode etik, seorang hakim tidak boleh membeberkan hasil dari sebuah kasus yang sedang berjalan.  ***

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Perbankan Nasional Didorong Lebih Sehat dan Tangguh di 2026

Senin, 22 Desember 2025 | 08:06

Paus Leo XIV Panggil Kardinal di Seluruh Dunia ke Vatikan

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00

Implementasi KHL dalam Perspektif Konstitusi: Sinergi Pekerja, Pengusaha, dan Negara

Senin, 22 Desember 2025 | 07:45

FLPP Pecah Rekor, Ribuan MBR Miliki Rumah

Senin, 22 Desember 2025 | 07:24

Jaksa Yadyn Soal Tarik Jaksa dari KPK: Fitnah!

Senin, 22 Desember 2025 | 07:15

Sanad Tarekat PUI

Senin, 22 Desember 2025 | 07:10

Kemenkop–DJP Bangun Ekosistem Data untuk Percepatan Digitalisasi Koperasi

Senin, 22 Desember 2025 | 07:00

FDII 2025 Angkat Kisah Rempah Kenang Kejayaan Nusantara

Senin, 22 Desember 2025 | 06:56

Polemik Homebase Dosen di Indonesia

Senin, 22 Desember 2025 | 06:30

KKP Bidik 35 Titik Pesisir Indonesia Buat KNMP Tahap Dua

Senin, 22 Desember 2025 | 05:59

Selengkapnya