Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemarin menetapkan empat pimpinan baru Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2014-2019. Dua di antaranya anggota DPR periode 2009-2014: Achsanul Qosasih dan Harry Azhar Azis. Begitu paripurna selesai, kedua politisi itu langsung disalami koleganya di parlemen.
Achsanul adalah politisi ParÂtai Demokrat. Sedangkan Harry Azhar Azis dari ParÂtai Golkar. Aksi salam-salaÂman itu, seperti tanda perpisahan bagi keÂduanya di parlemen dan duÂnia poÂlitik. Sebagai anggota BPK, meÂreÂka harus melepas atriÂbut partai poÂlitik yang selama ini disandangnya.
Usai paripurna, Achsanul berÂgegas menuju ruangan kerjanya di lantai 15 gedung Nusantara I, SÂeÂnayan, Jakarta Selatan. Ia henÂdak beres-beres. Diruangannya yang bernomor 2129, masih terÂpampang papan namanya. Stiker lambang Partai Demokrat pun masih menempel di pintu kaca.
Masuk ke ruangan, Achsanul langsung disambut dua stafnya yang bekerja di bagian depan ruang kerja anggota DPR. BerÂbincang sejenak soal tugas-tugas parlemen, ayah satu anak itu meÂnuju ruang kerjanya. Jas hitam diÂlepas lalu ditaruh kursi.
Menyandarkan punggung ke kursi, Achsanul langsung berÂhaÂdapan dengan tumpukan berkas setinggi 30 cm di atas mejanya. Isinya beragam. Ada arsip DPR, hingga buku-buku bacaan. Berkas-berkas itu, akan disortir dan dimasukkan karÂdus untuk dibawanya pulang. “Sudah 80 persen beres-beres seÂlesai,†ujar politisi asal Madura ini.
Beres-beres dimulai sejak peÂkan lalu. Sepanjang Jumat-MingÂgu tak ada agenda di DPR. Ia meÂngerahkan sopir pribadinya untuk membantu mengosongkan ruang kerjanya
Untuk mengangkuti barang-barÂang pribadinya, Achsanul meÂminjam troli milik DPR. Foto diriÂnya bersama SBY berukuran beÂsar telah dicopot dari dinding di sudut ruangan kerja. Foto itu dibawa deÂngan troli. Berikutnya giliran foto-foto keluarga, tulisan kaligrafi hingÂga plakat-plakat penghargaan yang dibawa puÂlang. Sebuah kulÂkas miliknya juga sudah diangkut.
“Yang pasti tidak bawa barang milik DPR,†candanya.
Hampir semua benda-benda priÂbadi milik Achsanul sudah diÂangkut. Yang tersisa di ruaÂnganÂnya tinggal furnitur inventaris DPR. Yakni satu set sofa warna hiÂjau, dua lemari kayu, meja dan kursi kerja, serta satu set komÂpuÂter. Tanpa barang-barang pribadi, ruangan kerja berukuran 32 meter persegi itu tampak lowong.
Paku-paku bekas tempat meÂngaitkan foto dan pajangan belum dicabut dari dinding ruangan kerÂja Achsanul. Paku-paku ini juga akan dicopoti. Achsanul ingin ruangan ini bersih saat dia meÂninggalkannya.
Mengenai berkas-berkas yang masih menumpuk di atas mejaÂnya, Achsanul menuturkan setiap hari hasil rapat di DPR. Menurut dia, sistem pelaporan model ini membutuhkan tempat penyimÂpaÂnan. Ia pernah menyarankan agar sistem pelaporan sidang dan rapat di DPR dibuat secara elektronik dan dikirim ke email.
“Setiap hari ada setengah kilogram kita terima. Ini disortir-sortir. BoÂros kertas, yang penting saja diÂbawa pulang,†katanya. Ia mengaku sediakan dua lemari besar khusus untuk mÂeÂnyimpan berkas-berkas DPR.
Sebelum melanjutkan beres-beÂres, dia menyentuh nasi bungÂkus. Nasi bungkus diÂbuka. Isinya nasi dengan lapuk ikan baÂwal. Tak beberapa santapan maÂkan siang itu tandas.
Merebahkan badan usai santap makan siang, anggota Komisi XI yang membidangi keuangan ini merasa memiliki utang empat RUU yakni RUU Keuangan NeÂgara, Perbankan, Hubungan KeÂuangan Pusat dan Daerah serta ReÂdenomisnasi Rupiah. Empat RUU belum rampung hingga dia harus melepaskan jabatannya di DPR. Anggota Komisi IX lainnya juga tak bisa menyelesaikan pemÂbahasan keempat RUU ini. PaÂsalnya, masa bakti anggota DPR periode 2009-2014 tinggal hituÂngan hari lagi.
Usai istirahat sejanak, AchÂsaÂnul kembali menyortir berkas-berÂkas yang hendak dibawa puÂlang. Di sela-sela itu dia mÂeÂnÂceÂriÂtakan sudah pamit kepada SBY seÂlaku Ketua Umum Partai DeÂmokÂrat, partai tempat dia berÂnaung selama ini.
Ia juga sudah pamit kepada koÂleganya di DPR. “Ya Kamis atau Jumat depan saya sudah tidak ngantor di sini lagi,†sebutnya.
Usai ditetapkan sebagai angÂgoÂta BPK baru, Harry Azhar Azis tak langsung kembali ke ruaÂngannya untuk berbenah. Ia berÂgeÂgas meninggalkan Senayan unÂtuk menghadiri seminar mÂeÂngeÂnai Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia salah satu pembicaranya.
Politisi Partai Golkar mengaku hampir rampung berbenah. LuÂkiÂsan anak-anaknya hingga cenÂderamata dan buku-buku bacaan, leÂbih dahulu diangkuti. MeÂnuÂrutÂnya, hiasan-hiasan dinding itu, akan dipasang di ruang kerja baÂrunya di BPK.
Harry mengaku dalam waktu deÂkat akan melakukan “perpiÂsaÂhan kecil†dengan dua stafnya yang telah menemaninya hampir lima tahun di DPR. “Ya makan-maÂkan saja,†ujarnya.
Sebelumnya, lima orang terÂpilih sebagai anggota BPK peÂriode 2014-2019 dalam voting di KoÂmisi XI DPR, Senin pekan lalu. Pemilihan dilakukan lewat dua kali votingnya. Rizal Djalil kembali terpilih menjadi anggota BPK. Ia akan didampingi empat anggota baru yakni Achsanul QoÂsasi, Harry Azhar Azis, MoÂerÂmaÂhadi Soerja Djanegara, dan Eddy Mulyadi Soepardi.
Gagal Ke Nyaleg, Banting Setir Ke BPKPOLITISI DPR kembali mengisi kursi pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Achsanul QoÂsasi, anggota Fraksi Partai DeÂmokÂÂrat dan Harry Azhar dari FrakÂsi Partai Golkar ditetapkan sebagai anggota BPK Periode 2014-2019 dalam rapat paripurna DPR kemarin.
Dalam catatan Rakyat MerÂdeÂka, tak sedikit anggota legislatif yang loncat pagar ke BPK. GeÂdung BPK kebetulan terletak di seberang kompleks DPR. Mereka yakni Abdullah Zainie, BahaÂruddin Aritonang, Rizal Djalil, Teuku Muhammad Nurlif dan Ali Masykur Musa. Ahsanul dan Harry mengikuti jejak itu.
Sebagian besar anggota DPR yang banting setir jadi anggota BPK lantaran tak bisa nyaleg lagi maupun karena tidak terpilih jadi wakil rakyat. Rizal Djalil, misalÂnya. ParÂtai tempatnya bernaung: PAN melarang mereka yang suÂdah diÂperiode jadi anggota DPR unÂtuk nyaleg lagi. Sebelumnya, RiÂzal anggota DPR periode 1999-2004 dan periode 2004-2009.
Baharuddin adalah anggota DPR periode 1999-2004 dari ParÂtai Golkar. Pada Pemilu 2004 dia mencalonkan diri lagi. Ia bertaÂrung di Daerah Pemilihan (Dapil) Sumut II. Partai beringin memÂperÂoleh dua kursi di dapil ini. Diberikan untuk Rambe KamaÂrulÂÂzaman dan Syarfi Hutauruk yang perolehan suaranya lebih banyak dari Baharuddin.
Abdullah Zainie adalah angÂgoÂta DPR sejak 1971 hingga 1997. Selama kurun 1998-1999, dia menÂjadi hakim di Badan PeÂnyeÂlesaian Sengketa Pajak (BPSP). Tahun Pemilu 1999 dia menÂcaÂlonÂkan diri lagi jadi anggota DPR dan terpilih.
Di Senayan, politisi Partai GolÂkar ini sempat menduduki Ketua Panitia Anggaran DPR. Gagal jadi anggota DPR pada 2004, Zainie mendaftar jadi pimpinan BPK. BahÂkan, dia ditunjuk menÂjadi wakil keÂtua BPK. NaÂmun dia sempat diperiksa KPK dalam kasus suap audit anÂgÂgaran KoÂmisi Pemilihan Umum. Zaini wafat 4 April 2009 dalam usia 67 tahun.
Karier beberapa anggota BPK berlatar belakang politisi sempat ternoda. Baharuddin Aritonang dan Teuku M Nurlif dipenjara. BuÂkan lantaran melakukan peÂnyeÂlewengan di BPK, namun kaÂrena tindak-tanduk mereka ketika di Senayan.
Baharuddin dan Nurlif terlibat suap dalam pemilihan Deputi GuÂbernur Senior BI Miranda GoelÂtom pada 2004. Keduanya divoÂnis satu tahun empat bulan penÂjara oleh Pengadilan Tipikor. Mereka juga didenda Rp 50 juta subsider tiga bulan penjara.
Sementara, Ali Masykur Musa sukses merampungkan satu periode duduk di kursi Anggota BPK (2009-2014). Santer terdengar poÂlitisi PKB itu kembali ikut peÂmilihan periode selanjutnya. NaÂmun di tengah jalan, Ali memilih mundur dari seleksi yang digelar Komisi XI DPR itu.
Ia mundur pada hari kelima seleksi calon pimpinan BPK. TeÂpatÂnya, saat Komisi XI meÂlaÂkuÂkan uji kelayakan dan kepatutan. Tahun lalu. Ali meÂngikuti konÂvenÂsi Partai DeÂmokrat untuk menÂjadi calon presiden. KeikutÂsertaannya daÂlam ranah politik memicu kritik dan protes dari berÂbagai kalanÂgan, karena diÂkhaÂwatirkan menganggu obyÂektiÂviÂtas dan independensi dirinya seÂbaÂgai anggota BPK
Mengikuti jejak pendahulunya, Achsanul dan Harry yang tak terÂpilih lagi menjadi anggota DPR pada Pemilu 2014 langsung meÂlaÂmar jadi pimpinan BPK. KeÂduaÂnya berhasil lolos seleksi.
Ngaku Kantongi Restu SBY
Plong, Tanggalkan Baju Partai Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berlatar politisi harus menanggalkan baju partainya. Dua anggota BPK yang baru: Achsanul Qosasih dan Harry Azhar Azis pun harus mundur dari parpol.
Achsanul menuturkan sudah mengantongi restu dari Ketua Umum Partai Demokrat SBY sebelum melamar jadi anggota BPK pada Agustus lalu. “Pak SBY mempersilakan dan menÂdukung saya ikut seleksi,†ujar Achsanul.
Terpilih sebagai anggota BPK, Achsanul merasa lebih plong (lega). Meninggalkan DPR dan menanggalkan baju partai, dia tak lagi terlibat dalam tarik-menarik kepentingan poÂlitik. “Lebih enak (di BPK), tiÂdak ada tarik-tarikan,†katanya.
Sebelum ikut seleksi pimÂpinan BPK, Achsanul mengaku sering membaca buku-buku soal keuangan negara. MeÂnuÂrutÂnya, tugas BPK sangat berat. Sudah tepat, jika anggota BPK wajib lepas dari baju partai. PaÂsalnya, lembaga itu harus meÂmeriksa Anggaran PendaÂpaÂtan dan Belanja Negara (APBN) seÂbesar Rp 2.000 triliun.
Memiliki background sebaÂgai legislator, Achsanul meÂngaÂku tidak akan kerepotan di jaÂbaÂtan barunya. Soalnya, di KoÂmisi XI dia terlibat dalam pemÂbaÂhasan anggaran negara.
Senada, politisi Partai Golkar, Harry Azhar Azis juga mengaku sudah siap bekerja mengaudit keÂuangan negara. Harry juga berÂasal dari Komisi XI yang memÂbiÂdangi keuangan. Ia bahkan saÂlah satu wakil ketua di komisi itu.
Tentu dia paham betul alokasi keuangan negara karena memÂbaÂhasnya semasa di parlemen. “Ini bagian kehidupan berneÂgaÂra. Dimana pun harus siap,†ujar Harry menanggapi peneÂtaÂpan diÂriÂnya sebagai anggota BPK.
Menurut Harry, DPR, bukan satu-satunya tempat untuk meÂnyumbangkan tenaga dan piÂkiran untuk Indonesia. Harry seÂbenarnya mencalonkan diri menÂjadi anggota DPR. Namun tak terpilih.
Sama seperti Achsanul, Harry pun plong meninggalkan dunia politik dan parpol. “Yah, lebih lega. Ada beban yang hilang,†punÂgÂkasnya. ***