Berita

Veri Muhlis Arifuzzaman

Publika

Pilkada Langsung Adalah Imperatif

KAMIS, 18 SEPTEMBER 2014 | 16:21 WIB

SEKARANG ini adalah zaman dimana orang tidak suka diwakili, jual beli tidak suka ada perantara dan komunikasi tak senang jika pake juru bicara. Semua suka langsung. Face to face, berhadapan wajah, langsung tak ada pembatas.

Begitu juga pilkada. Hampir satu dasawarsa rakyat terlatih memilih pemimpinnya secara langsung. Tak ada hambatan berarti, kecuali sebagaimana banyak disampaikan beberapa pihak bahwa model seperti itu boros, tidak efisien dan tak efektif.

Padahal sejatinya, pemilihan langsung adalah pesta demokrasi. Sebagaimana pesta pada umumnya yang tidak berlangsung setiap saat, semua orang akan terlibat. Di pesta pernikahan misalnya, tuan rumah, besan, tetangga, undangan, juru parkir dan mereka yang ada di sekitar, akan berpesta: turut senang dengan adanya pesta pernikahan itu, ikut makan enak, ikut dengar atau lihat hiburannya juga.


Nah, pilkada adalah pesta rakyat. Ada partisipasi dan keterlibatan stakeholders dalam berbagai pernannya. ‎KPU sebagai penyelenggara, bawaslu/panwaslu mengawasi, ada pemantau, ada pengusung, ada kandidat, ada tim sukses, ada media , percetakan, logistik, biro iklan, konsultan politik, lembaga survey dan seterusnya. Semua ikut hiruk, semua terpikuk.

Yang namanya pesta tentu butuh biaya, tak apa negara mengeluarkan dana buat pesta demokrasi, tokh itu dana rakyat juga. Dana dari pajak mereka. Dikeluarkan untuk menjamin hak suara mereka tersalurkan. Daripada dana itu habis dinikmati hanya oleh 30 sampai 100 orang anggota dewan yang terhormat. Anggap saja, meminimalisir bertambahnya penghuni bui.

Jadi menghilangkan pilkada langsung sesungguhnya adalah menghilangkan hak rakyat untuk menikmati proses demokrasi. Hak untuk menilai, menimbang, memilih dan meminta pertanggungjawaban pemimpinnya secara langsung. Jika rakyat suka, di pilkada mendatang akan dipilihnya kembali, jika tak suka akan ditinggal.

Lantas bagaimana agar pilkada langsung bisa hemat, efektif dan menghasilkan pemimpin bersih, bagus dan bermutu? Tentu ini yang harus menjadi concern semua pihak. Agar hemat, pikirkan cara terbaik untuk itu. Agar efektif, susun perencanaan yang matang semisal pilkada serentak, masa kampanye panjang atau partai pengusung tak dibatasi syarat perolehan kursi.  Atau banyak cara lain, negara ini besar, banyak warga bangsa yang sanggup bersama-sama mencari solusi yang aplikatif.

Sesungguhnya beberapa pilkada yang digelar terakhir telah menunjukan kepada kita bahwa perhelatannya bisa efisien. Banyak kandidat bermutu yang terpilih dan pasti tidak dengan keluar uang banyak. Pilkada langsung adalah kesempatan emas bagi siapa saja warga bangsa untuk muncul menjadi pemimpin. Jika bukan karena pilkada langsung, tak akan muncul tokoh semacam Jokowi, Risma, Ridwan Kami atau Airin sekalipun.

Pilkada langsung juga meminimalisir efek buruk kartelisme dan oligarki politik. Tak dipungkiri, partai politik sekarang ini masih berpersoalan di dalam. Banyak yang masih harus membenahi diri. Kaderisasi dan sistem pengambilan keputusan di partai seringkali bergantung kepada "kehendak" ketua partai atau kelompoknya. Yang paling aktual melihat kasus itu, kita cek saja soal pembentukan dan pengangkatan alat kelengkapan dewan se Indonesia. Perhatikan, banyak kejutan bukan? Itu karena peran partai, dalam konteks ini ketua partai, begitu dominan. Jadi jika pilkada dilakukan lewat DPRD, dapat diduga yang akan menjadi kepala daerah adalah para pemimpin partai politik, keluarga atau kelompoknya.

Walau sekarang banyak ketua partai atau orang partai menjadi kepala atau wakil kepala daerah, tetapi prosesnya cukup teruji. Ada survey yang mengkaji elektabilitas calon kepala daerah itu. Banyak ketua partai yang mundur atau memilih jadi wakil kepala daerah karena tidak populer atau elektabilitasnya rendah. Itu artinya, kalau pilkada dilakukan lewat DPRD, sangat mungkin banyak akan muncul kepala daerah yang tidak dikenal oleh rakyat.

Jadi, pilkada langsung adalah niscaya. Bagus untuk kita, bagus untuk Indonesia.[***]

Veri Muhlis Arifuzzaman, Direktur Konsep Indonesia.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya