Upaya negosiasi masyarakat kepada PT PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) milik pengusaha kakap, Murad Husain, gagal. Peristiwa penutupan jalan yang terjadi tanggal 11-26 Mei 2010 itu berujung kekerasan. Eva Bande, putri asli Banggai, Sulawesi Selatan, dan puluhan petani lain menjadi korban kriminalisasi.
Awalnya, puluhan anggota Kodim 1308 Luwuk Banggai memasuki areal hutan tanaman industri (HTI) di Desa Piondo, Banggai, Sulawesi Tengah. Katanya, untuk latihan perang. Tak disangka di saat bersamaan buldoser milik PT Kurnia Luwuk Sejahtera (KLS) juga memasuki kawasan itu. Latihan perang itu ternyata akal-akalan saja. Dengan senjata lengkap anggota Kodim Luwuk Banggai mengawal aksi buldoser PT KLS merusak akses jalan warga ke kebun mereka di sekitar kawasan HTI.
11 Mei 2010. Malam belum lagi beranjak tinggi. Sekitar 200 warga Desa Piondo dipimpin Sekretaris BPD Kholil berkumpul. Mereka memprotes aksi buldoser PT KLS yang telah merusak mata pencaharian dan kehidupan mereka.
Warga Desa Piondo adalah transmigran yang tiba tahun 1983 dan 1984, ketika desa itu masih dikenal dengan nama Unit 25. Sebanyak 200an Kepala Keluarga (KK) di Desa Piondo berasal dari beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Barat (NTB), lalu Pekalongan, Kudus, Pemalang dan Sragen di Jawa Tengah, juga Blitar di Jawa Timur. Sebagai warga transmigran, negara memberikan lahan seluas 2 Ha kepada setiap KK, yang terdiri atas Pekarangan (LP) seluas 1/4 Ha, LahanUsaha (LU) Satu seluas 1 Ha, dan LU Dua seluas 3/4 Ha.
Lahan usaha mereka yang diberikan negara inilah yang dirampas oleh buldoser PT KLS itu.
Malam itu warga pulang dengan tangan kosong dan hati hampa. Sejak malam itu pula Desa Piondo jadi begitu mencekam. Menurut sejumlah laporan, hingga 25 Mei 2010 jumlah anggota TNI yang mengawal operasi KLS mengalihfungsikan lahan HTI menjadi perkebunan sawit terus bertambah hingga sekitar 300 orang. Sementara upaya negosiasi terus dilakukan warga desa Piondo. Badarudin dan Suparmin diutus warga desa untuk meminta penjelasan dari pihak TNI. Akan tetapi, TNI bersikeras.
Keesokan harinya, sekitar pukul 08.00 WITA, masyarakat kembali menggelar aksi. Di sinilah, Eva Susanti Bande, seorang aktivis perempuan, hadir di tengah aksi itu sebagai jurubicara warga. Eva bukan orang baru bagi masyarakat Piondo. Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulteng itu sudah sejak 2009 ikut mengadvokasi rakyat yang dirugikan oleh proyek raksasa perusahaan-perusahan besar yang mengkonversi lahan hutan menjadi perkebunan sawit.
Siapakah Eva Bande? Ia adalah putri asli Banggai. Ayahnya, Hanafi Bande, adalah seorang pensiunan polisi dari Batui. Sementara almarhumah ibunya, Zahra Basalama, berasal dari Banggai Kepulauan. Advokasi adalah kata kunci dalam hidupnya. Salah seorang anggota Badan Pimpinan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) itu juga pernah menjadi Koordinator Forum Kawasan Timur Indonesia (FKTI) Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah dari 2007 hingga 2009, dan Koordinator Koalisi untuk Pembebasan Perempuan (KUPP) Sulteng dari 2008 hingga 2010.
Kembali ke aksi warga, tuntutan mereka kepada PT KLS hanya satu: bebaskan jalan untuk menuju kebun mereka.
Tidak seperti pada aksi-aksi sebelumnya, kali ini anggota TNI dan polisi di lapangan tidak menghalang-halangi. Mereka seakan memberikan lampu hijau dan mempersilakan warga menumpahkan kemarahan kepada KLS.
Eva tak sanggup menahan kemarahan warga yang sudah memuncak. Warga membakar sebuah buldoser, eksavator dan perumahan karyawan PT KLS.
Setelah melampiaskan kemarahan, warga membubarkan diri dan pulang ke desa mereka masing-masing.
Begitu pula dengan Eva. Ia pulang ke sekretariat FRAS Sulteng. Ketika masih berada di dalam kamar mandi, puluhan polisi tiba dan membawa paksa Eva ke Mapolres Banggai. Malam itu juga Eva ditahan. Ia dikenakan pasal penghasutan yang mengakibatkan kerusakan fasilitas PT KLS. Selain Eva, sebanyak 23 petani yang ikut dalam aksi hari itu juga ditahan dan dikenakan pasal pengrusakan.
Proses hukum terhadap Eva dan ke-23 petani berlangsung super cepat. Hanya dalam waktu lima bulan, hakim menjatuhkan vonis untuk Eva dan kawan-kawan petaninya. Yang tak kalah mengagetkan adalah vonis empat tahun penjara yang dijatuhkan hakim. Vonis ini begitu tinggi dibandingkan tuntutan jaksa yang hanya 3,5 bulan penjara.
Setelah mendapatkan vonis itu Eva melakukan Permohonan Banding ke Pengadilan Tinggi Palu. Di tingkat banding hakim menguatkan putusan Pengadilan Negeri Luwuk. Di tingkat kasasi Permohonan Kasasi Eva ditolak.
Pada 21 agustus 2014 Eva telah mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) melalui kuasa hukumnya yang tergabung dalam Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Aktivis dan Petani Banggai.
Sidang perdana Permohonan Peninjauan Kembali diadakan di Pengadilan Negeri Luwuk pada hari Kamis, 4 September 2014 lalu untuk agenda pembacaan permohonan Peninjauan Kembali. Mereka yang jadi majelis hakim PK adalah Aminudin J Dunggio, SH, Baharudin T, SH dan Moh. Taufik, SH. Yang bertindak sebagai jaksa adalah Andi Suharto, SH. (Kasipidum Kejari Luwuk).
Agenda sidang selanjutnya akan dilakukan besok (Selasa 9/9) yaitu mendengar pendapat dan tanggapan jaksa.
[ald]