Berita

ilustrasi

On The Spot

Rapat Panja Molor Sejam, Pimpinan Komisi Diambil Alih

Mengamati Rapat DPR Untuk Rampungkan 42 RUU
SENIN, 08 SEPTEMBER 2014 | 07:59 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Jam sudah menujukkan pukul 14.30 WIB, namun rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Keuangan Haji di Komisi VIII DPR tak juga dimulai. Padahal menurut jadwal yang tercantum dalam website dpr.go.id, rapat dengan pemerintah itu sedianya dimulai pukul 2 siang.

Anggota DPR yang sudah datang pun jumlahnya segelintir. Sementara peserta dari pemerintah sudah siap di tempat duduk yang disediakan, meski tanpa kehadiran Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Abdul Djamil.

Tiga anggota Komisi VIII terlihat berlari tergopoh-gopoh sambil membawa map di tangan, dan diikuti staf masing-masing. Sampai di depan ruang Komisi VIII mereka berhenti sejenak untuk mengisi absensi di meja di sisi kiri pintu masuk. Masuk ke dalam, mereka memilih duduk di deretan kursi di belakang meja pimpinan.

Tepat pukul 3 sore, rapat dibuka. Hanya ada 10 anggota Panja yang hadir. Mereka mewakili Fraksi Golkar, Demokrat, PDIP, PAN, PPP, PKS, dan Hanura. Sementara perwakilan PKB dan Gerindra absen.

Rapat tertutup ini pun tidak dihadiri Ketua Komisi VIII Ida Fauziah dan Wakil Ketua Sayed Fuad Zakaria. Kedua pimpinan tersebut menyatakan berhalangan hadir. Akhirnya, tampuk kepemimpinan komisi diambil alih Mahrus Munir, wakil ketua Komisi VIII lainnya.

Sebelum rapat dimulai, Mahrus Munir mengatakan, rapat ini adalah lanjutan dari rapat kerja dengan Menteri Agama pada Rabu, 3 September 2014. Isi rapat hanya membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Pengelolaan Keuangan Haji yang merupakan inisiatif pemerintah. “Makanya tidak apa yang ikut sedikit. Yang penting mayoritas (fraksi) sudah terwakili,” kata dia.

Di ujung masa baktinya, anggota DPR periode 2009-2014 masih memiliki pekerjaan rumah (PR) menuntaskan 42 RUU. Besar kemungkinan semua RUU tak bisa diselesaikan. Dengan masa jabatan yang tinggal 3 pekan lagi, mampu anggota DPR menyelesaikannya?

Beberapa RUU yang belum dituntaskan terbilang cukup krusial. Misalnya, RUU KUHP/KUHAP yang sudah ditunggu masyarakat sejak tahun 1982. Selain itu, ada pula RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah, RUU Pemerintah Daerah, RUU Jaminan Produk Halal, dan RUU Perlindungan Anak.

Apabila pembahasan RUU itu tidak diselesaikan pada DPR periode kali ini, maka DPR baru nantinya akan memulai pembahasan dari awal. DPR tidak mengenal sistem carry over atau luncuran RUU.

Badan Legislasi (Baleg) DPR tengah berupaya meminta persetujuan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi agar RUU yang sudah mencapai pembahasan tingkat I dengan pemerintah bisa diluncurkan ke DPR periode selanjutnya.

“Kami mengharapkan mohon menjadi pemikiran bersama untuk dipertimbangkan, untuk tidak dihapus tapi di-take over (DPR) periode berikutnya,” ujar Ketua Baleg Ignatius Mulyono kepada Rakyat Merdeka.

Ignatius menjelaskan, berdasarkan catatan Baleg, setidaknya terdapat 41 RUU yang sudah masuk dalam pembahasan tahap satu. Baleg telah meminta kepada Panitia Khusus (Pansus) maupun Panitia Kerja (Panja), agar bekerja keras dalam membahas seluruh produk perundangan hingga rampung. Apalagi, pendeknya sisa masa bakti DPR periode 2014-2019 mengharuskan penyelesaian dalam waktu cepat.

Namun, Ignatius yang duduk di kursi anggota Komisi II yang membidangi pemerintahan itu tetap meminta kehati-hatian dalam setiap pembahasan RUU. Dia mengatakan, pembahasan RUU sudah berlangsung sedemikian panjang.

Tidak saja sudah memakan waktu, tetapi energi dan biaya yang sedemikian besar.
“Mohon dijadikan pertimbangan sehingga tidak dihapus dan dilanjutkan oleh anggota dewan 2014-2019. Kami akan mengirimkan surat ke pimpinan DPR, pimpinan komisi, pimpinan pansus dan anggota dewan,” ujar politisi Partai Demokrat itu.

Sementara itu, Ketua Pansus RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), Yoseph Umar Hadi mengatakan, pembahasan tersebut sudah berjalan dua tahun.

Masalahnya bukan hanya soal pembahasan yang tersendat, tetapi juga minimnya koordinasi dari pemerintah dengan pihak Pansus DPR. Menurutnya, pemerintah selalu beralasan meminta waktu untuk melakukan kajian.

“Permintaan koordinasi dengan pihak terkait tersebut sudah dilakukan sejak satu tahun lalu. Sayangnya, pemerintah tak juga memberikan perkembangan informasi kajian tersebut,” sesalnya.

Dia sangat menyayangkan lambatnya pembahasan RUU ini tersebut. Pasalnya, RUU Tapera amatlah dinanti masyarakat kelas menengah ke bawah yang menginginkan rumah dengan harga terjangkau dan melalui cara dan mekanisme yang relatif mudah.

“Kami sudah ditugaskan dari 2012 dan pembahasan RUU ini belum bisa berjalan, apalagi waktu sudah sempit,” ujarnya.

Anggota Komisi V itu pun memberi waktu satu pekan agar pemerintah memberikan perkembangan hasil kajian. Setidaknya, Pansus dapat mengetahui perkembangan terkahir hasil kajian pemerintah atas RUU Tapera.

Jika tidak ada perkembangan, Yoseph memberikan ultimatum. Ia meminta kepada pemerintah di bawah tampuk kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono agar mencabut RUU tersebut dari Prolegnas.

“Kajian itu mohon diinformasikan ke kami. RUU Tapera telah disetujui presiden, tapi kami merasa diambangkan dan tidak jelas. Kalau mau dilanjutkan maka kami minta ada ketegasan. Kalau tidak, silakan dicabut,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Menteri Amir Minta RUU Advokat Disahkan September

Pemerintah berharap, DPR bisa menyelesaikan pembahasan semua RUU sebelum akhir masa jabatannya.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir Syamsudin, mengatakan, dirinya berharap agar Rancangan Undang-Undang Advokat (RUU Adovakat) bisa segera disahkan pada masa sidang bulan September ini. Pasalnya, di awal Oktober, anggota DPR baru akan dilantik.

“Harapan kita, iya (bisa disahkan segera). Mudah-mudahan, kalau memungkinkan,” ujarnya saat menghadiri Rapat Panitia Khusus (Pansus) RUU Advokat di Gedung DPR beberapa hari lalu.

Politisi Partai Demokrat ini menuturkan, saat ini pemerintah sudah menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Advokat. “Tadi baru penyusunan jadwal (pembahasan),” tutur Amir yang berlatar belakang advokat ini.

Lebih lanjut, Amir mengakui bila ada penolakan RUU Advokat ini dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Ia menilai bahwa penolakan itu merupakan hal yang wajar.

“Itu bisa saja terjadi, tetapi kan kita di dalam hal ini tidak partisan. Pemerintah tidak partisan,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Djohermansyah Djohan, berharap RUU Pilkada disahkan pertengahan September.

“Setelah kemarin konsinyering di Cikopo, kami akan kembali menggelar konsinyering di Jakarta pada 10 September. Setelah itu, tanggal 11 September, sudah dapat diambil putusan tingkat pertama. Lalu sekitar tanggal 12 atau 13 September sudah putusan,” kata Djohermansyah di Jakarta, kemarin.

Dia menjelaskan, perkembangan terakhir pembahasan RUU Pilkada dengan tim perumus dan tim sinkronisasi, DPR berbelok dengan sebagian besar fraksi mengusulkan pelaksanaan pemilihan gubernur dan bupati-wali kota melalui DPRD.

“Jadi kami (Pemerintah) sudah semangat dengan mengikuti kemauan masyarakat untuk pilkada langsung, tiba-tiba sejumlah fraksi berubah yang tadinya sepakat pemilihan gubernur secara langsung kemudian berubah menjadi lewat DPRD,” kata Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu.

Menurut dia, pemerintah pun akhirnya melunak setelah melalui pembahasan RUU Pilkada selama dua tahun terakhir, dengan menyetujui sistem pilkada langsung, baik untuk pemilihan gubernur maupun bupati dan wali kota.

“Prinsipnya, kami (Pemerintah) mengikuti perkembangan suara-suara yang beredar di masyarakat, aspirasi masyarakat melalui DPR. Kalau memang masyarakat masih menghendaki secara langsung, maka Pemerintah tidak keberatan mencabut usulan kami yang lama soal Pilkada lewat DPRD,” jelas Djohermansyah.

Namun kesepakatan untuk melaksanakan pilkada langsung tersebut mendadak berubah total karena sebagian besar fraksi menginginkan mekanisme pemilihan gubernur melalui DPRD. Begitu pun dengan pilkada di tingkat kabupaten dan kota, sebagian besar fraksi di Komisi II DPR RI menginginkan pelaksanaan pilkada secara tidak langsung. 

Priyo Ngarep Anggota DPR Baru Tak Sembarangan Membatalkan

Masalah klasik DPR periode 2009-2014 di bidang legislasi bakal terulang. Di pengujung masa kerjanya, mereka memperkirakan masih akan ada puluhan rancangan undang-undang (RUU) yang tidak akan mampu diselesaikan. Imbasnya, puluhan RUU itu akan dibebankan ke DPR Periode 2014-2019 untuk diselesaikan.

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menyatakan, dengan masa kerja yang tersisa hingga akhir September, kecil kemungkinan DPR akan menyelesaikan target legislasi. Sebelum masa reses DPR menjelang gelaran pemilu presiden lalu, ada sekitar 65 RUU yang belum diselesaikan. “Sekarang ada 42 RUU yang belum selesai,” ujar politisi Golkar ini.

Priyo menyatakan, RUU tersebut tidak mungkin dibatalkan. Sebab, sebagian RUU itu sudah masuk pembahasan dengan pemerintah. Salah satu solusinya adalah menyusun rekomendasi ke DPR mendatang untuk melanjutkan pembahasan RUU itu. “Diharapkan bisa dilanjutkan proses perampingan tanpa harus memulai dari awal lagi,” ujarnya.

Priyo berharap tidak seluruhnya (42 RUU) akan diamanatkan ke DPR periode selanjutnya. Pimpinan DPR saat ini tengah berkoordinasi dengan
Badan Legislasi terkait RUU mana yang akan dibahas. Baleg nanti memilah RUU mana saja yang dilakukan “carry over” ke DPR baru.

Meski demikian, cara yang ditempuh itu hanya bersifat rekomendasi agar anggota legislatif baru nanti menghargai kerja yang telah ditempuh periode sebelumnya. Keputusan akhirnya berpulang pada DPR periode baru.

“Kami sarankan DPR baru untuk memulai dari yang sudah akhir, jangan memulai dari titik nol. Tapi, jika ternyata DPR baru dan pemerintah baru ingin memulai dan menghanguskan semua, ya apalah kami, kan hanya rekomendasi?,” tandasnya.

Penuntasan legislasi selalu menjadi problem klasik DPR. Setiap pergantian tahun, selalu saja ada Program Legislasi Nasional (prolegnas) yang tidak tuntas sehingga harus dilanjutkan ke tahun selanjutnya. Masalah koordinasi dan banyaknya tarik ulur pembahasan menjadi sumber molornya pembahasan sejumlah RUU.

RUU Pilkada Segera Diputuskan Karena  Ngendap 2 Tahun

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada Abdul Hakam Naja yakin RUU ini akan selesai pada pekan ini. Sehingga RUU tersebut dapat dibawa ke sidang paripurna periode 2009-2014 untuk disahkan.

Hakam mengaku yakin rapat paripurna akan memutuskan mensahkan RUU Pilkada ini meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah, apakah dipilih langsung atau dipilih oleh DPRD.

Menurut politisi PAN itu, perbedaan pendapat hal yang biasa. Pasalnya pada akhirnya dapat diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat. Kalaupun tidak tercapai, maka keputusan akan diambil melalui voting.

“Kita target tanggal 11 September 2014, raker di komisi. Kalau sudah putus tingkat pertama kan tinggal penjadwalan saja (paripurnanya),” kata Hakam Naja kepada Rakyat Merdeka.

Hakam mengatakan pembahasan RUU tersebut berlangsung selama dua tahun. Kini RUU itu tinggal memutuskan saja.

Dia menjelaskan RUU ini sudah dua tahun dibahas dan belum juga disahkan. Apabila keputusan tak bisa dicapai lewat mufakat, maka akan dilakukan voting. “Bahwa belum ada kesepakatan itu biasa. Undang-Undang APBN juga sering voting kan,” ujarnya.

Hakam menuturkan, tim perumus (timus) sudah menyiapkan opsi-opsi beserta turunannya yang akan diputuskan tingkat pertama pekan depan. Garis besarnya, ada opsi pilkada langsung, dan ada pula opsi pilkada lewat DPRD.

Belum ada kata sepakat soal opsi-opsi ini. Kalau dipilih langsung, sengketanya berbeda dengan dipilih DPRD. Kalau DPRD praktis nggak ada sengketa, sengketanya paling di pengadilan.

“Kami upayakan agar jangan sampai ditarik dari legislasi nasional. Sebab kalau itu dilakukan, berarti menolkan lagi. Padahal KPU, ketuanya bilang mereka membutuhkan dasar hukum, peraturan perundang-undangan karena awal 2015 akan ada pilkada dan ini sudah 2 tahun dibahas. Karena waktunya mau berakhir ya akan diputuskan,” jelas dia.

Anggota Panja RUU Pilkada, Abdul Malik Haramain mengakui adanya perubahan sikap fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Perbedaan sikap tersebut terlihat dari pandangan fraksi dalam RUU Pilkada.

“Pilkada ada perubahan dari KMP (Koalisi Merah Putih) dulu setuju pemilu walikota atau bupati langsung. Memang ada perubahan drastis terutama yang tergabung KMP dulu sebagian besar sebelum pilpres minta langsung-langsung baik gubernur, bupati atau walikota,” kata bekas Ketua Anshor ini.

Namun, menurut Malik, hasil pemilihan presiden (pilpres) membuat konstelasi politik berubah. Di mana Koalisi Merah Putih yang menginginkan pilkada langsung berubah sikap dan meminta kepala daerah dipilih DPRD. Artinya semuanya dipilih DPRD. Dia mengatakan, pekan depan Panja akan menggelar rapat kembali untuk memastikan pilihan fraksi.

“Hasil rapat kemarin perubahan satu dan dua perubahan itu terjadi. Kalau kemudian tidak selesai juga rapat panja tanggal 8 September 2014 itu akan kita bawa di forum ke lebih tinggi,” ujarnya.

Politisi PKB itu mengakui hasil pemilihan presiden mempengaruhi sikap fraksi-fraksi. Koalisi Merah Putih ingin memperkuat koalisi dari nasional hingga daerah.

“Tapi saya nggak yakin hal itu bisa dilakukan karena selama ini peta politik di atas beda dengan peta politik di bawah. politik nasional sering kali beda di bawah,” imbuhnya.

Menurut Malik, sulit menyamakan peta politik di atas dengan situasi di bawah. “Saya tidak terlalu yakin itu akan terjadi. koalisi itu tetap berlangsung dari atas ke bawah,” kata Malik.

Mengenai paket kepala daerah dan wakilnya yang tidak satu paket, Malik menjelaskan hal tersebut. Ia mengatakan wakil kepala daerah tidak dipilih berdasarkan paket melainkan diangkat dan diajukan kepala daerah terpilih. “Itu masih kebelah-belah ada yang setuju ada yang enggak. PKB nggak setuju paket,” ujarnya.

Malik mengakui pilkada tidak langsung dapat mengurangi anggaran karena lebih efisien. Namun, ia mengingatkan proses demokrasi tetap memerlukan biaya. ***

Populer

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

Stasiun Manggarai Chaos!

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 13:03

MUI Tuntut Ahmad Dhani Minta Maaf

Rabu, 02 Oktober 2024 | 04:11

UPDATE

Israel Lancarkan Serangan Darat ke Lebanon Barat Daya

Selasa, 08 Oktober 2024 | 16:05

Prabowo Disarankan Perbesar Anggaran Pertahanan

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:59

Lampaui Target, Peserta Pameran TEI ke-39 Tembus 1.460 Exhibitor

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:57

Khofifah Kuatkan Kehidupan Beragama Lewat Pesantren

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:49

Bikin Bingung Pemilih, Trump dan Istri Beda Pandangan Soal Aborsi

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:46

Tampung Keluhan Hakim, DPR Pertimbangkan Revisi UU Kehakiman

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:40

Pemberdayaan BRI Tingkatkan Skala Usaha Klaster Usaha Rumput Laut Semaya di Nusa Penida

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:34

Perdana, Wakil Myanmar Bakal Hadiri KTT ASEAN di Laos

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:26

Harga Pangan Bervariasi: Beras Turun, Minyak Goreng Naik

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:25

Bikin Ngeri, Timnas Jepang Panggil 22 Pemain di Eropa

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:24

Selengkapnya