Berita

ilustrasi

On The Spot

Pembeli Kasih Uang Robek, Marah-marah Jika Ditolak

Transaksi Uang Di Pulau Terluar
SELASA, 24 JUNI 2014 | 10:16 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Di bawah awan kelabu, Kapal Republik Indonesia (KRI) Banjarmasin (592) merapat ke dermaga.

Kami terkesima dengan pemandangan yang terhampar. Air laut yang seolah mendorong bebatuan besar di pinggir pelabuhan sangat bening dan membiru. Gerombolan ikan yang asyik berenang di antara dasar tiang-tiang pangkalan tampak tak terganggu riuhnya kapal-kapal yang berdatangan.

Dari ujung pelabuhan, terpampanglah papan nama Port of Waisai. Waisai merupakan ibu kota Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Kendati tak luas, pelabuhan tersebut menjadi infrastruktur utama kapal penumpang yang berukuran cukup besar untuk berlabuh di kota kecil yang berada di Pulau Waigeo tersebut.

Biasanya, kapal-kapal itu mengangkut masyarakat pendatang dari Sorong, Papua, maupun para pelancong yang hendak mengawali petualangan alam mereka di Raja Ampat. Selain perantau, kebanyakan warga yang bermukim di Waisai adalah suku Biak, Maya, dan Ondoloren.

Sama halnya dengan pusat kota lainnya, Waisai cukup ramai sebagai tempat perdagangan. Apalagi, Waisai akan menjadi lokasi puncak kegiatan Sail Raja Ampat Agustus mendatang. Tidak pelak, kota kecil itu mendorong pembangunannya. Khususnya fasilitas umum seperti masjid, pertokoan, termasuk Pasar Snon Bukor.

Pasar yang membelakangi hutan bakau rimbun di pinggir laut itu adalah tempat warga Waisai menjual barang dagangan. Mulai sagu, sayuran, buah-buahan, ikan, ayam, telur, hingga kebutuhan pokok lain. Di pasar itu pula, Nursiyah yang berasal dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, berjualan sayur untuk mencari nafkah.

Di depan dagangannya, dia berdiri untuk merapikan delapan lembar uang kertas senilai Rp 48 ribu. Lembaran uangnya sangat lusuh. Ada yang sobek separuh. Ada pula yang angka-angkanya susah dikenali karena sudah pudar.

Perempuan berkulit gelap dan berambut keriting itu mengaku mendapat uang lusuh dari para pembeli sayurnya. ”Bagaimana lagi, mau menolak uang seperti ini juga tak bisa. Pembeli bisa marah. Jadi, saya simpan saja,” ungkap perempuan yang berusia 36 tahun tersebut.

Bukan hanya Nursiyah. Wawan bahkan memiliki beberapa bundel rupiah kertas yang dia satukan dengan karet gelang. Penjual keperluan rumah tangga di pasar itu juga mengaku mendapat ratusan lembar uang lusuh tersebut dari para pembeli. ”Saya malah dimarahin pembeli kalau tidak terima uang (lusuh) ini,” ujarnya.

Begitulah potret sebagian kegiatan transaksi dengan menggunakan rupiah di pulau-pulau terluar di Indonesia. Akan sangat jarang ditemukan uang baru yang masih licin dan mengkilap seperti di Jawa. Kebanyakan rupiah kertas di wilayah-wilayah perbatasan cenderung kumal, sobek-sobek, bahkan rusak.

Minimnya jaringan perbankan di wilayah-wilayah tersebut membuat masyarakat kesulitan untuk menukarkan uang lusuh mereka dengan uang baru yang layak ditransaksikan.

Kalaupun ada kantor cabang maupun kantor kas bank, menyerap dan mengirimkan uang lusuh dari masyarakat ke kantor pusat membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal itu disebabkan rendahnya kualitas infrastruktur yang menghubungkan pulau-pulau terluar ke pulau utama sebagai pusat kota.

Bayangkan saja, biaya sewa speedboat yang menghubungkan Waisai ke Kepulauan Raja Ampat mencapai Rp 25 juta per hari. Biaya sebesar itu hanya untuk berlabuh ketiga atau empat pulau di Kepulauan Raja Ampat.

Mayoritas biaya untuk membayar bahan bakar. Untuk mengelilingi beberapa pulau di Kepulauan Raja Ampat dalam sehari, dibutuhkan ongkos bensin minimal 500 dolar Amerika atau sekitar Rp 5,5 juta.

Asromy, Kepala Cabang Bank Papua di Waisai, mengatakan, dalam setahun paling tidak pihaknya menerima Rp 200 juta hingga Rp 300 juta uang lusuh dari masyarakat. Uang-uang tersebut termasuk yang didapatkan dari lima kantor kas Bank Papua di Pulau Kabare, Kalobo, Samate, Dabatan, dan Waigama, Kepulauan Raja Ampat.

Menurut Asromy, yang membuat uang-uang tersebut lusuh sebetulnya tak jauh-jauh dari kebiasaan masyarakat setempat. Salah satunya cara menyimpannya. Pria berkacamata itu menerangkan, masih banyak masyarakat yang tidak memiliki dompet sehingga uang langsung ditaruh sembarangan di saku celana.

Barulah sebelum mereka membeli sesuatu, uang-uang tersebut kembali dirapikan. Padahal, kondisinya sudah kucel.

Di Waisai, Bank Indonesia berhasil menjaring uang-uang lusuh dan rusak sampai Rp 80 juta. Termasuk uang milik Nursiyah. Uang Nursiyah hanya diganti Rp 44 ribu dari awalnya Rp 48 ribu. Dua pecahan Rp 2.000 robek tidak ada pasangannya.

Bayarnya Pakai Rupiah, Dikasih Kembalian Ringgit

Prajurit Satu Sigit Wahyudi sontak kaget. Ia mesti membayar 2 ringgit Malaysia untuk semangkuk bakso yang baru saja dilahapnya.Padahal dia tengah berada di Desa Aji Kuning, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur. Beruntung, si penjual masih mau menerima Rp 10 ribu yang dia sodorkan.

“Tapi kembaliannya dikasih 1 ringgit,”kata Sigit ketika ditemui di Pos Perbatasan Indonesia-Malaysia di Desa Aji Kuning, akhir Juli lalu. Belajar dari pengalaman saat baru ditempatkan di perbatasan empat bulan lalu itu, Sigit kini selalu menyertakan ringgit dalam dompetnya.

Dompet lajang 27 tahun ini berisi dua lembar Rp 20 ribu, selembar Rp 5.000, dan beberapa lembar Rp 1.000 yang lusuh. Kalah banyak dari deretan ringgitnya yang mencapai 50 ringgit.

Menurut prajurit dari Batalion Infanteri 611 Awang Long, Samarinda, itu, warga selalu memegang ringgit untuk menghindari rugi. Walaupun pedagang menerima rupiah, harganya murah. Satu ringgit dihargai Rp 3.000, di atas harga pasaran penukaran uang Rp 2.700. Akibatnya, pembayaran dalam rupiah selalu lebih tinggi ketimbang ringgit. Semangkuk bakso dibanderol 2 ringgit atau Rp 7.000. “Harusnya kan cuma Rp 6.000,” kata Sigit seperti dikutip Tempo.

Toko-toko pun memasang dua label harga: ringgit untuk barang buatan Malaysia dan rupiah untuk produk Indonesia. Yang membuat miris, barang-barang buatan Malaysia itu jauh lebih murah dari produk Indonesia.

Muhammad Jafar, pemilik toko kelontong CV Diana di Pasar Sungai Nyamuk, Pulau Sebatik, mengatakan varian barang Malaysia yang dijual di tokonya tidak banyak, sekitar 30 persen. Tapi harganya lebih murah.

Contohnya, susu kental manis kaleng kecil F&N dari Malaysia dilego 2,3 ringgit atau Rp 6.600, lebih murah ketimbang Indomilk dengan ukuran sama yang dijual Rp 9.800. “Akibatnya, pembeli lebih senang pakai produk Malaysia,” kata pemuda 30 tahun itu.

“Kami menggunakan mata uang ringgit Malaysia sebagai alat transaksi karena semua kebutuhan pokok maupun barang yang ada di sini berasal dari Malaysia,” kata H Umar, warga Aji Kuning Pulau Sebatik.

Setiap hari, kata Umar, warga Aji Kuning membeli berbagai kebutuhan pokok di Tawau yang ditempuh dengan menggunakan perahu selama 30 menit.

“Kalau pagi, warga berangkat ke Tawau menggunakan perahu untuk menjual berbagai hasil bumi dan saat kembali mereka membawa berbagai kebutuhan pokok, baik untuk dikonsumsi maupun yang akan dijual kembali kepada warga,” kata Umar.

Di Pulau Fani, salah satu pulau terluar di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, masyarakatnya bertransaksi menggunakan mata uang Filipina. “Di pulau itu, jual beli saja pakai uang Peso,” ujar Kapten Jafar, bekas kepala operasi penjagaan pulau terluar.

Perwira yang kini menjabat Komandan Rayon Militer 752 Kota Sorong itu mengatakan, secara geografis lebih dekat dengan Filipina. Untuk sampai ke Pulau Fani dari Sorong, ibu kota Papua Barat butuh berhari-hari melaut.

Sementara dari perairan Filipina hanya butuh waktu empat jam naik kapal motor.  ***

Populer

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

Stasiun Manggarai Chaos!

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 13:03

MUI Tuntut Ahmad Dhani Minta Maaf

Rabu, 02 Oktober 2024 | 04:11

UPDATE

Israel Lancarkan Serangan Darat ke Lebanon Barat Daya

Selasa, 08 Oktober 2024 | 16:05

Prabowo Disarankan Perbesar Anggaran Pertahanan

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:59

Lampaui Target, Peserta Pameran TEI ke-39 Tembus 1.460 Exhibitor

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:57

Khofifah Kuatkan Kehidupan Beragama Lewat Pesantren

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:49

Bikin Bingung Pemilih, Trump dan Istri Beda Pandangan Soal Aborsi

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:46

Tampung Keluhan Hakim, DPR Pertimbangkan Revisi UU Kehakiman

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:40

Pemberdayaan BRI Tingkatkan Skala Usaha Klaster Usaha Rumput Laut Semaya di Nusa Penida

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:34

Perdana, Wakil Myanmar Bakal Hadiri KTT ASEAN di Laos

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:26

Harga Pangan Bervariasi: Beras Turun, Minyak Goreng Naik

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:25

Bikin Ngeri, Timnas Jepang Panggil 22 Pemain di Eropa

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:24

Selengkapnya