Berita

ilustrasi/net

Tidak Ada Jaminan Independensi Kurator di Indonesia

KAMIS, 05 JUNI 2014 | 13:55 WIB | OLEH: DR. A. MARYKE SILALAHI

BELAKANGAN ini, dunia hukum di Indonesia dikejutkan dengan maraknya pemberitaan yang beredar di media masa tentang ditangkapnya seorang kurator bernama Jandri Onasis Siadari (JOS) oleh Kepolisian Jawa Timur.

JOS ditangkap berdasarkan laporan dugaan tindak pidana yang dilaporkan oleh debitur yakni PT Surabaya Agung Industri & Pulp, Tbk. (Dalam Pailit) (PT SAIP). JOS dilaporkan dengan dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan memberikan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 263 danPasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.

Pemalsuan dokumen dan keterangan palsu yang menjadi dasar laporan PT SAIP adalah surat Tim Pengurus kepada Hakim Pengawas No. 50.01/PKPU-SAIP/JP-JOS/IV/13 tertanggal 15 April 2013 perihal Laporan Hasil Pemungutan Suara Terhadap Usulan Perpanjangan PKPU dan Usulan Rencana Perdamaian SAIP.

Selain itu, laporan dugaan tindak pidana tersebut diajukan pula dengan alasan bahwa JOS selaku kurator PT SAIP menolak menerima tagihan-tagihan yang diajukan oleh 7 kreditor yang keseluruhan tagihannya berjumlah Rp 4.200.000.000.000,- (empat triliun dua ratus miliar Rupiah).

Kedudukan kurator
Dalam suatu tahapan kepailitan, kurator merupakan satu profesi yang memiliki peranan penting. Setiap putusan pailit oleh Pengadilan Niaga akan mencantumkan pula pengangkatan kurator yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pemberesan dan pengurusan harta pailit. Segera setelah putusan pailit dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga maka debitor pailit demi hukum tidak berwenang lagi untuk melakukan pengurusan, pemberesan dan/ atau pengalihan harta kekayaannya yang sudah menjadi harta pailit.

Pihak yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) untuk melakukan pemberesan dan/atau pengurusan harta pailit adalah kurator dengan tunduk pada pengawasan dari Hakim Pengawas (pasal 69 ayat (1) junctopasal 1 angka 5 UU Kepailitan). Artinya keberadaan kurator sebagai suatu profesi khusus merupakan salah suatu faktor penentu dalam penyelesaian pemberesan harta pailit.

UU Kepailitan juga menyebutkan secara tegas bahwa kurator dibutuhkan untuk menghindari perebutan harta debitor, menghindari penjualan barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya, serta menghindari kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah satu kreditor atau debitor sendiri.

Tugas dan tanggung jawab kurator
Dalam rangka  menghindarkan terjadinya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh kreditor atau debitor sendiri maka kurator bertugas melakukan verifikasi atas klaim tagihan yang diajukan oleh para kreditor maupun catatan yang telah dibuat oleh debitor. Kurator wajib mencocokkan piutang yang diserahkan oleh kreditor dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan debitor pailit (pasal 116 ayat (1) UU Kepailitan). Kurator wajib pula memasukkan klaim piutang yang disetujuinya dalam daftar piutang yang sementara diakui, sedangkan klaim piutang yang dibantah termasuk alasannya dimasukkan dalam daftar tersendiri (pasal 117 UU Kepailitan).

PT SAIP mempersoalkan mengapa 7 kreditor tidak termasuk dalam daftar pihak yang berpiutang kepada PT SAIP. Dalam pembelaannya, kurator JOS menyatakan bahwa debitor sama sekali tidak pernah menyerahkan kepada tim pengurus PT SAIP bukti-bukti dokumen klaim piutang dari 7 kreditor tersebut. Sementara dokumen-dokumen yang diserahkan oleh 7 kreditor untuk dievaluasi dan diverifikasi oleh tim pengurus pada saat rapat verifikasi piutang dianggap tidak dapat membuktikan adanya piutang.

Menarik untuk disimak dari kasus JOS adalah fakta bahwa yang mengajukan laporan polisi atas JOS adalah debitor sendiri yaitu PT SAIP. Timbul pertanyaan mengapa debitor, yang secara logika biasanya menghendaki pengurangan hutang, malah ngotot agar 7 kreditor lagi diakui piutangnya.

Lebih menarik lagi apabila menyimak ketentuan pasal 72 UU Kepailitan yang menyatakan bahwa di dalam melaksanakan tugasnya, kurator bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.

Artinya, pertanggungjawaban kurator dapat dimintakan apabila karena kesalahan dan kelalaian kurator maka harta pailit mengalami kerugian. Secara sederhana frasa "menyebabkan  kerugian" bisa ditafsirkan berarti bahwa harta pailit sudah harus mengalami kerugian dan sejalan dengan hal ini, kesalahan dan kelalaian kurator yang menyebabkan terjadinya kerugian tersebut, harus pula telah terjadi.

Terlepas dari validitas klaim piutang 7 kreditor, adalah sulit untuk memahami jalan pikiran debitor PT SAIP yang seakan-akan menganggap bahwa tindakan kurator JOS yang tidak mengakui klaim piutang 7 kreditor dapat dianggap sebagai suatu kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan kerugian harta pailit.

Dengan tidak diakuinya klaim piutang tersebut oleh kurator JOS maka jumlah piutang yang dibebankan kepada harta pailit PT SAIP menjadi lebih sedikit. Piutang yang tidak diakui tersebut tentunya tidak dapat menjadi pengurang harta pailit.

Sebaliknya apabila debitor mendapatkan apa yang dimauinya yaitu pengakuan terhadap klaim piutang 7 kreditor tersebut, maka piutang-piutang tersebut akan menjadi pengurang harta pailit. Jika benar bahwa, sebagaimana yang diklaim oleh tim pengurus, klaim piutang 7 kreditor tersebut tidak dapat dibuktikan maka pengakuan atas piutang-piutang tersebut tidak saja dapat merugikan harta pailit akan tetapi dapat juga merugikan kreditor lainnya.

Dalam kedua skenario ini, kerugian terhadap harta pailit PT SAIP belum terjadi. Sehingga demikian, dapatlah dikatakan bahwa sebelum harta pailit PT SAIP mengalami  kerugian, kurator JOS sudah dianggap melakukan kesalahan dan kelalaian dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai kurator.

KodeEtikProfesi
Hal lain yang menarik disimak dalam kasus JOS ini adalah kurangnya perlindungan hukum bagi kurator dalam menjalankan tugasnya. Di Indonesia, yang dapat menjadi kurator adalah orang perorangan yang berdomisili di Indonesia dan terdaftar di kementerian yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Berdasarkan Pasal 2 huruf e Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01-HT.05.10.TH 2005 tentang Pendaftaran Kuratordan Pengurus, untuk dapat diangkat dan kemudian didaftarkan sebagai kurator maka calon kurator dan pengurus yang bersangkutan harus telah mengikuti pelatihan calon kurator dan pengurus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi kurator dan pengurus bekerjasama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Saat ini, di Indonesia telah terdapat3 (tiga) organisasi resmi kurator dan pengurus, yaitu Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI) dan HimpunanKurator dan Pengurus Indonesia (HKPI), yang menaungi profesi kurator dan pengurus di Indonesia. Masing-masing organisasi profesi tersebut memiliki anggota yang terdaftar di Kemenkumham dan seyogyanya masing-masing organisasi profesi itu memiliki Kode Etik yang di dalamnya mengatur aturan perilaku professional kurator. Sebagai contoh Kode Etik Profesi yang diterbitkan oleh AKPI dan disahkan pada tanggal 30 November 1999 (Kode Etik AKPI) dan Kode Etik Profesi IKAPI yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret 2002 (Kode Etik IKAPI).

Kode Etik Profesi kurator umumnya bertujuan untuk memberikan kerangka dalam memelihara integritas, moral, harkat, kewibawaan dan martabat dari para kurator dalam menjalankan profesinya dengan penuh tanggung jawab.

Kode Etik Profesi tersebut biasanya mengatur pula mengenai pembentukan Dewan Kehormatan yang berfungsi untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengaduan yang diajukan oleh kreditor, debitor, kurator lainnya atau pihak-pihak lain yang berkepentingan (Pasal 8 Kode Etik AKPI dan Pasal 7 Kode Etik IKAPI).Perbuatan atau sikap kurator yang bertentangan dengan Kode Etik Profesi dapat dikenakan sanksi berdasarkan Kode Etik Profesi kurator (Pasal 10Ayat 6 Kode Etik AKPI dan Pasal 9 Ayat 7 Kode Etik IKAPI).

Salah satu ketentuan standar dalam Kode Etik Profesi kurator adalah kewajiban kurator untuk menghargai setiap hak dari pihak-pihak yang berhubungan dalam menerapkan suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 4 Ayat 1 Kode Etik AKPI dan Pasal 4 Ayat 1 Kode Etik IKAPI). Dalam hal 7 kreditor PT SAIP merasa tidak diperhatikan hak-haknya, maka 7 kreditor tersebut bisa melaporkan kurator yang bersangkutan ke Dewan Kehormatan asosiasi dimana kurator yang bersangkutan terdaftar menjadi anggota.

Dewan Kehormatan tersebut akan memeriksa dan memberikan putusan. Dalam kasus JOS, 7 kreditor PT SAIP tidak melaporkan kurator JOS kepada polisi dan tidak pula mengajukan gugatan perdata kepada JOS. Oleh karena itu, mungkin tidak mengherankan apabila 7 kreditor itu tidak pula melakukan pengaduan kepada Dewan Kehormatan profesi kurator dimana JOS terdaftar sebagai anggota yaitu IKAHI.

Tetapi seandainya pun debitor sendiri atau PT SAIP yang akan mengajukan laporan kepada IKAHI atas tindakan atau keputusan yang diambil JOS dalam melakukan tugasnya sebagai kurator, sulit untuk menemukan hak-hak debitor yang mana yang telah dilanggar oleh JOS dengan tidak diakuinya klaim piutang 7 kreditor tersebut.

Jaminan independensi

UU Kepailitan dan Kode Etik Profesi kurator secara jelas menghendaki agar kurator menjunjung tinggi independensi, integritas dan objektifitasnya. Apabila kreditor dan debitor setiap waktu dapat saja mengadukan kurator kepada polisi atau mengajukan gugatan perdata atas tindakan atau keputusankurator dalam pelaksanaan tugas profesinya sebagai kurator maka kurator akan mudah menjadi tidak objektif.

Apabila pengadilan dan kepolisian Negara Indonesia begitu gampang untuk menerima dan mengadili setiap gugatan atau memproses laporan pengaduan atas seorang kurator sehubungan dengan pelaksanaan tugas profesi kurator maka dikhawatirkan kurator dapat menjadi tidak independen dalam melakukan tugasnya.

Bisa dibayangkan kacaunya pemberesan harta pailit, apabila proses tersebut terhambat oleh laporan dan/atau gugatan terhadap tindakan atau putusan kurator. Tidak saja kurator yang bersangkutan tidak bisa bekerja tetapi juga pemberesan harta pailit bisa berlarut-larut dan merugikan harta pailit itu sendiri dan para kreditor.

Seharusnya hukum Negara Indonesia memberikan perlindungan supaya kurator dapat melakukan tugas profesinya dengan rasa aman dan tanpa merasa waswas akan diadukan oleh kreditor atau debitornya sendiri. Sejalan dengan ini, keputusan-keputusan yang dibuat oleh kurator di dalam menjalankan tugas profesinya (termasuk keputusan tentang klaim piutang yang diakui dan tidak diakui) harus pula dihormati oleh semua pihak terkait.

Penghormatan terhadap putusan-putusan yang dibuat oleh kurator dalam melaksanakan tugasnya harus pula dilihat sebagai wujud rasa hormat terhadap lembaga yang memberikan pendidikan dan pelatihan kepada calon kurator, yang menentukan lulus tidaknya kurator dan yang mengawasi pelaksanaan tugas kurator yaitu Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan organisasi profesi kurator. Kualitas kurator ditentukan pula oleh kualitas pendidikan yang diperolehnya.

Apabila secara umum dirasakan bahwa kualitas seorang kurator tidak bagus, maka perlu dipertanyakan kredibilitas organisasi profesi dimana kurator tersebut terdaftar dan tentunya pula kredibilitas Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang merupakan penyelenggara pelatihan calon kurator.

Apa yang dialami JOS menunjukkan bahwa hukum Negara Indonesia tidak memberikan perlindungan atau jaminan atas independensi kurator dalam melaksanakan tugas profesinya. Dengan mendiamkan terjadinya kriminalisasi profesi kurator dan membiarkan adanya ancaman independensi dan objektifitas kurator maka Negara Indonesia telah melakukan pelanggaran atas tugas dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan pelaksanaan profesi di Indonesia.

Pembuat Undang-Undang dan Kemenhukham harus benar-benar menanggapi serius apa yang terjadi dalam kasus JOS dan berdasarkan kasus tersebut, mengusulkan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan perlindungan dan jaminan independensi dan objektifitas kurator dalam melakukan tugas profesinya.

Pelaporan/gugatan terhadap kurator dan diprosesnya suatu laporan/gugatan terhadap seorang kurator yang diajukan dengan tanpa didasarkan bukti yang cukup dan/atau dengan tidak memperdulikan keberadaan Dewan Kehormatan organisasi profesi kurator yang bersangkutan merupakan penghinaan terhadap profesi kurator secara umum dan penghinaan terhadap organisasi profesi dimana kurator yang bersangkutan terdaftar.

Karenanya, terlepas dari validitas klaim pelapor/penggugat atas seorang kurator maka sudah sepatutnya apabila organisasi profesi dimana kurator yang bersangkutan terdaftar mengadakan pembelaan terhadap kurator tersebut. Hal ini terutama untuk menjaga kehormatan profesi dan kepercayaan publik terhadap profesi kurator.

Secara khusus Kode Etik Profesi AKPI mengatur bahwa anggota AKPI wajib memperoleh perlindungan dalam hal terjadi ketidakadilan sehubungan dengan pelaksanaan profesinya sebagai kurator atau pengurus (Pasal 5 Ayat 2 Kode Etik AKPI).

Kode Etik IKAHI, organisasi profesikurator dimana JOS terdaftar sebagai anggota, secara tegas menyatakan bahwa dalam hal terjadi ketidakadilan terhadap anggota IKAHI sehubungan dengan pelaksanaan profesinya sebagai kurator atau pengurus maka anggota tersebut berhak untuk mendapatkan pembelaan dari IKAHI (Pasal 5 Ayat 2 Kode Etik IKAHI).

Dalam hal Negara Indonesia gagal memberikan jaminan perlindungan independensi bagi kurator seperti JOS dalam melakukan tugasnya maka diharapkan bahwa paling tidak organisasi profesi tempat JOS terdaftar sebagai kurator dapat melakukan suatu pembelaan atau pendampingan kepada JOS dalam hal terjadi ketidakadilan sehubungan dengan pelaksanaan profesinya sebagai kurator. Pembelaan tersebut akan merupakan wujud komitmen organisasi profesi tersebut atas berlaku dan mengikatnya Kode Etik Profesi organisasi itu sendiri. [***]

Penulis adalah praktisi hukum, tinggal di Jakarta.

Populer

Walikota Semarang dan 3 Lainnya Dikabarkan Berstatus Tersangka

Rabu, 17 Juli 2024 | 13:43

KPK Juga Tetapkan Suami Walikota Semarang dan Ketua Gapensi Tersangka

Rabu, 17 Juli 2024 | 16:57

Walikota Semarang dan Suami Terlibat 3 Kasus Korupsi

Rabu, 17 Juli 2024 | 17:47

Pimpinan DPRD hingga Ketua Gerindra Sampang Masuk Daftar 21 Tersangka Korupsi Dana Hibah Jatim

Selasa, 16 Juli 2024 | 19:56

Kantor Rahim di Depok Ternyata Rumah Tinggal, Begini Kondisinya

Rabu, 17 Juli 2024 | 11:05

Pengusaha Tambang Haji Romo Diancam Dijemput Paksa KPK

Minggu, 14 Juli 2024 | 17:02

Duet Airin-Rano Karno Tak Terbendung di Pilkada Banten

Rabu, 17 Juli 2024 | 13:23

UPDATE

Akhirnya, Nasdem Jagokan Anies di Pilgub Jakarta

Senin, 22 Juli 2024 | 17:53

Pimpinan MPR Minta Pemerintah Jangan Tambah Beban Rakyat

Senin, 22 Juli 2024 | 17:47

Keliling Labuan Bajo, Gisel Kenalkan Wisata Alam kepada Gempi

Senin, 22 Juli 2024 | 17:38

Jaksa Agung Ingatkan Kewaspadaan Terhadap Pelemahan Institusi

Senin, 22 Juli 2024 | 17:30

Universitas BSI Tawarkan Kuliah sambil Kerja

Senin, 22 Juli 2024 | 17:06

Partai Negoro Dorong Jaksa Agung Segera Selidiki Jokowi

Senin, 22 Juli 2024 | 16:57

Surya Paloh Siap Dukung Kaesang Maju Pilgub Jateng

Senin, 22 Juli 2024 | 16:42

Luhut: OTT KPK Kampungan!

Senin, 22 Juli 2024 | 16:38

Fraksi PKS Sambut Baik Putusan ICJ Usir Israel dari Palestina

Senin, 22 Juli 2024 | 16:36

BI: Uang Beredar Naik Jadi Rp9.026 Triliun pada Juni 2024

Senin, 22 Juli 2024 | 16:33

Selengkapnya