Berita

ilustrasi, Pedagang berjualan di dekat Tugu Monas.

On The Spot

PKL Asyik Jualan Di Monas Petugas Cuma Menonton

Ancaman Denda Rp 20 Juta Tidak Digubris
RABU, 23 APRIL 2014 | 09:58 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Larangan mengerikan itu dipasang di spanduk di pintu masuk Monas dekat Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. “Setiap orang dilarang membeli barang dagangan pedagang kaki lima (PKL). Pelanggaran terhadap ketentuan di atas dikenakan ancaman pidana kurungan paling lama 60 (enam puluh hari) atau denda paling banyak Rp 20 juta,” demikian tulisan di spanduk yang dibuat dengan huruf besar.

Sanksi ini mengacu kepada Pasal 25 ayat 3 dan Pasal 61 Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Aturan ini kembali didengungkan untuk mensterilkan pedagang kaki lima (PKL) dari Monas.

Kini sasaran sosialisasi adalah pengunjung kawasan jantung dan landmark kota Jakarta ini. Apakah sosialisasi ini efektif? Yuk kita lihat.

Hari menjelang sore. Lapangan parkir IRTI menghadap Jalan Medan Merdeka Selatan dan berseberangan dengan Balaikota itu tampak ramai. Puluhan PKL menjajakan dagangan. Ada yang menggunakan tenda. Pedegang lainnya hanya menggelar dagang dinaungi payung besar.

Mereka menjajakan berbagai barang. Mulai dari souvenir seperti kaos dan gantungan kunci dengan gambar Monas hingga pakaian wanita. Para pedagang menghampiri pengunjung yang baru tiba, baik yang naik sepeda motor hingga mereka yang datang secara berombongan naik bus pariwisata.

“Ayo yang mau makan dan minum beli dari sini, di dalam nggak boleh. Bisa kena denda Rp 20 juta,” ujar Ahmad, penjaja makanan dan minuman ringan.

Ahmad tak bermaksud menakuti-takuti pengunjung agar membeli dagangannya. Sejak dua pekan lalu, terutama di akhir pekan, UPT Monas gencar mensosialisasikan regulasi ancaman pidana itu kepada pengunjung.

Menurut Ahmad, setiap pengunjung diberi secarik kertas fotokopi yang berisi kutipan sanksi Perda 8/2007. Namun, kata dia, sosialisasi aturan itu tak berlangsung terus menerus. “Sekarang nggak ada mas. Banyak yang jualan di dalam,” katanya geleng-geleng kepala.

Senin sore (21/4) Rakyat Merdeka mencoba masuk ke kawasan Monas dari lapangan IRTI. Tak terlihat ada spanduk sosialisasi maupun selebaran yang dibagi-bagikan kepada pengunjung.

Barisan pedagang terputus di sebuah gerbang besi selebar satu setengah meter. Di sana berdiri tiga petugas keamanan internal Monas berseragam biru gelap. Mereka akan menghalau setiap pedagang yang hendak masuk ke dalam kawasan Monas.

Ferdy, salah petugas keamanan itu mengatakan, banyak pedagang yang mencoba menyusup masuk ke dalam. Meski sudah dijaga, banyak yang berhasil lolos. “Susah juga larang PKL masuk. Itu di taman banyak buka lapak,” tunjuknya.

Benar saja, begitu melangkah 10 meter dari pintu masuk, tepatnya di area taman Monas, tampak puluhan PKL yang membuat dua baris lapak di sisi kanan dan kiri trotoar. Barang yang dijajakan beragam.

Beberapa petugas keamanan yang berkeliling tak mengambil tindakan apa-apa terhadap PKL yang menggelar dagangan di kawasan terlarang ini. Taman itu adalah tempat parkir bagi kereta wisata yang akan mengantarkan para pengunjung mendekati Monas.

“Tempat pemberangkatan kereta wisata” begitu tertulis pada sebuah plang berwarna kuning. Para pengunjung tidak dikenakan biaya menaiki kereta wisata dengan warna cat persis bus TransJakarta.

Menaiki kereta wisata itu, tidak sampai lima menit pengunjung sudah tiba di sudut utara Monas. Di sini PKL lebih ramai. Mereka menjajakan souvenir, makanan dan minuman. Pintu masuk untuk naik ke Monas telah ditutup. Sejumlah pengunjung kecewa tak bisa melihat Jakarta dari atas tugu yang dibangun di era Soekarno itu.

Pintu masuk hanya dibuka dari pukul 8 pagi sampai 3 sore. Beberapa pengunjung akhirnya hanya puas mengambil gambar dan berpose dengan latar monumen yang bagian atasnya dilapisi emas itu.

Satu per satu pengunjung yang puas memasuki area utama (dalam) pelataran Monas keluar dari lorong yang berada di pintu utara monas. Di area ini pedagang menjamur.

Nasrullah, petugas penjaga pintu akses menuju dalam Monas, tak dapat berbuat banyak. “Nggak hanya di sini, di atas (area inti Monas) juga ada yang jualan.

Mereka masuknya manjat pagar,” ujar Nasrullah sembari menunjuk ke arah Monas yang dikelilingi pagar besi setinggi satu meter.

Menurut dia, di area naik dan turunnya kereta wisata merupakan area terlarang bagi PKL. Namun, para pedagang seperti acuh terhadap aturan itu. Para pengunjung pun tak sungkan berbelanja.

Joni, pedagang tahu gejrot mangkal di dekat pemberhentian kereta wisata. Ia berdagang dengan gerobak. Dagangannya laris manis. Pengunjung ramai. Padahal, bukan hari libur.

“Larangan dagang nggak ngaruh, apalagi denda buat pembeli 20 juta. Ngawur itu,” celetuk Joni yang sudah setahun berjualan di area Monas.

Bagaimana Joni bisa masuk? Ia mengaku masuk dari pintu dekat Stasiun Gambir. Meski ada penjagaan, dia leluasa masuk dan berjualan. Tanpa dilarang maupun membayar petugas. Menurutnya, baik petugas maupun pedagang sama-sama tahu. “Masuk ya masuk aja,” jawabnya, enteng.

Tepat pukul empat sore, dagangan Joni habis. Tidak banyak saingan, makanan dagangannya jadi incaran pengunjung yang mengganjal perut.

Ia mengungkapkan, di akhir pekan pedagang yang berjualan bisa mencapai ratusan. Apakah ada larangan? Lagi-lagi dia tidak gentar karena dia sudah tahu kapan ada razia.

Tak jauh dari situ, Asep, warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat, membeli teh manis dalam kemasan gelap plastik. Ia tak tahu bahwa pengunjung dilarang membeli dari PKL. Pengunjung yang melanggar bisa dipidana maupun didenda.

“Masak Rp 20 juta. Nggak tahu saya. Ya keberatan, masak dibebankan ke pengunjung. Harusnya pedagang yang dilarang masuk,” ujar Asep sembari memperhatikan anaknya yang berlari-lari di area Monas.

Menurut dia, pengelola tak mensosialisasikan itu ke pengunjung. Asep yang masuk dari gerbang di lapangan parkir IRTI itu tak melihat ada spanduk pemberitahuan mengenai larangan ini. “Nggak ada sosialisasi. Buktinya banyak yang dagang,” katanya.

Kepala Unit Pengelola Taman Monas Firdaus Rasyid mengatakan akan menindak tegas bagi orang yang membeli barang dagangan dari PKL. “Upaya ini juga sebagai penindakan penertiban bagi PKL sehingga tidak ada lagi yang berjualan di kawasan Monas.” kata Firdaus.

Firdaus mengatakan, pemberian denda ini mengacu pada Pasal 25 Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Pada pasal itu disebutkan apabila seseorang membeli barang di PKL dikenakan denda Rp 20 juta.

“Namun pemberlakuan itu masih dalam tahap sosialisasi. Kami akan terus menyebarkan sosialisasi dengan menggunakan spanduk dan memberikan selebaran pamflet kepada para pengunjung nantinya,” terangnya.

Selain itu, Firdaus juga mengatakan upaya ini sebagai alternatif dari penertiban PKL. “Karena susah sekali ditertibkan. Belum lama ini ditertibkan, tapi mereka malah berani melawan,” ujarnya.

Padahal, Firdaus melanjutkan, pemerintah DKI Jakarta sudah menyediakan kawasan IRTI untuk para pedagang. Namun, kata Firdaus, para pedagang ini nekat masuk ke dalam kawasan Monas agar laris. 

Puluhan Kali Kena Garuk, Tak Kapok

Diki, terlihat bersantai di trotoar area dalam Monumen Nasional (Monas). Pedagang teh manis itu melepas lelah setelah menjajakan dagangannya sejak pagi. Di nampan kayu tinggal tersisa tiga gelas. Satu nampan bisa memuat 12 gelas.

Ia mengungkapkan, dari pagi sudah berhasil menjual lima nampan minuman. Keuntungan bersih Rp 50 ribu sudah di tangan. Di akhir pekan, keuntungannya bisa berkali-kali lipat berjualan di dalam kawasan Monas. Sepuluh nampan minuman habis dalam waktu tak lama.

“Kalau masih dingin, es belum mencair harganya 5.000. Kalau sudah cair gini saya jual 3.000. Kalau ngga laku juga, ya dibuang,” ujar Diki sembari menjajakan sisa dagangan kepada pengunjung yang lewat.

Lebih dari tiga tahun berjualan di dalam Monas, Diki tahu kawasan ini area terlarang untuk PKL. Namun, dia tidak gentar berdagang. Ia menyebutkan kerap kena garuk Satpol PP. Namun tak kapok.

“Ada 30 kali lebih saya ketangkep. Dagangan diambil, ya ambil aja. Susahnya, saya buat nampan lagi. Perlu modal lagi,” katanya.

Menurutnya, PKL yang berjualan di dalam Monas harus siap menghadapi risiko digaruk. Namun sebelum razia digelar, pedagang kerap mendapat bocoran informasi. Alhasil, banyak yang lolos. Biasanya, kata dia, hanya pedagang nekat dan apes yang terjaring.

Metode pemberitahuan pun terbilang canggih. Menggunakan Short Message Service (SMS) berantai, atau telepon, untuk memperingati akan adanya razia.

“Seringnya, dari mulut ke mulut aja. Begitu tahu mau ada razia ya buru-buru cabut (pergi),” tuturnya.

Diki mengaku kerap nekat karena untuk memenuhi kebutuhan hidup di ibukota. Setiap bulan dia harus membayar kontrakan Rp 350 ribu di Tanah Abang. Jika tak berjualan, dia tak punya penghasilan.

Meski sudah diberitahu bakal ada razia, dia tetap berjualan. Tentu dengan cara kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP.

Ia membisikkan, para pedagang memiliki jalur pelarian jika ada razia. Yakni, ke arah Stasiun Gambir. Biasanya, disana para pedagang dapat leluasa keluar-masuk dari situ.

Namun, tidak sedikit terjadi perlawanan dari pedagang yang tak rela barang dagangannya diambil. “Cari makan yang halal aja, kita diuber-uber kayak maling. Ini kan kerja halal, maunya saya pedangang boleh jualan di dalam Monas,” harapnya.

Dia mengatakan, sering ada penyuluhan yang dilakukan pengelola Monas kepada pedagang. Saat penyuluhan disampaikan, nanti akan ada jalur bawah tanah untuk ke Monas. Di jalur ini PKL boleh berjualan. Namun sampai sekarang jalur itu belum dibangun.

Mengenai ancaman denda Rp 20 juta terhadap pengunjung Monas yang membeli dagangan di dalam area Monas, menurut Diki, tidak rasional.

“Nggak bener itu, mana ada orang ngantongin Rp 20 juta. Saya aja dapat duit 100 ribu dari dagang udah Alhamdulillah,” katanya terkekeh.

Kini, Diki tetap waspada. Sebab, razia makin sering digelar. Namun untuk urusan perut, dia bisa mengambil risiko berdagang di kawasan terlarang berhadapan dengan petugas. ***

Populer

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

Selebgram Korban Penganiayaan Ketum Parpol Ternyata Mantan Kekasih Atta Halilintar

Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01

Stasiun Manggarai Chaos!

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 13:03

MUI Tuntut Ahmad Dhani Minta Maaf

Rabu, 02 Oktober 2024 | 04:11

UPDATE

Israel Lancarkan Serangan Darat ke Lebanon Barat Daya

Selasa, 08 Oktober 2024 | 16:05

Prabowo Disarankan Perbesar Anggaran Pertahanan

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:59

Lampaui Target, Peserta Pameran TEI ke-39 Tembus 1.460 Exhibitor

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:57

Khofifah Kuatkan Kehidupan Beragama Lewat Pesantren

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:49

Bikin Bingung Pemilih, Trump dan Istri Beda Pandangan Soal Aborsi

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:46

Tampung Keluhan Hakim, DPR Pertimbangkan Revisi UU Kehakiman

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:40

Pemberdayaan BRI Tingkatkan Skala Usaha Klaster Usaha Rumput Laut Semaya di Nusa Penida

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:34

Perdana, Wakil Myanmar Bakal Hadiri KTT ASEAN di Laos

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:26

Harga Pangan Bervariasi: Beras Turun, Minyak Goreng Naik

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:25

Bikin Ngeri, Timnas Jepang Panggil 22 Pemain di Eropa

Selasa, 08 Oktober 2024 | 15:24

Selengkapnya