Berita

foto:net

Bisnis

Pungutan Cukai Sudah Terjadi Sejak Era Rara Mendut Sampai Kini

SELASA, 18 MARET 2014 | 12:25 WIB | LAPORAN:

Ketika Tumenggung Wiraguna menarik cukai atas rokok yang diproduksi Rara Mendut, itulah pertama kali konsumen dikenai beban pajak dalam sejarah rokok di Indonesia.

Alegori dalam kisah Rara Mendut menggambarkan begitu tepat betapa setiap hisapan rokok konsumen harus membayar cukai. Semakin dekat dengan pangkal batang rokok, cukai yang mesti dibayarkan semakin mahal. Oleh sebab itu, dalam kisah tersebut harga puntung lebih mahal dibandingkan sebatang rokok itu sendiri karena perokok mesti menanggung akumulasi cukai.

Kisah tersebut merupakan sarkasme betapa kekuasaan begitu 'rajin' menarik pajak guna menumpuk pundi-pundi kekayaan dari cukai, dan itu sudah terjadi sejak era Mataram yang berlanjut pada era kolonial hingga sekarang.
Pandangan ini dikemukakan budayawan, Mohammad Sobary saat dihubungi di Jakarta, Selasa (18/3).

Pandangan ini dikemukakan budayawan, Mohammad Sobary saat dihubungi di Jakarta, Selasa (18/3).

Kang Sobary, begitu sapaan akrabnya, mengemukakan, sebagaimana tercatat dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, pajak (cukai termasuk di dalamnya), selalu dianggap beban oleh rakyat. Dikisahkan bahwa pada era Romawi, orang-orang Yahudi melakukan protes atas cukai yang dikenakan kepada mereka. Alasannya tentu saja, sejumlah cukai yang mereka bayarkan hanya untuk memperkaya pejabat Rowani, tidak pernah kembali kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas seperti jalan yang bagus, pasar yang bersih, lembaga pendidikan yang semakin berkualitas, dan lain sebagainya.

Menurutnya, warisan era Rowani, Rara Mendut dan kolonial masih menjadi problem sampai saat ini. Negara menarik cukai terhadap produk rokok yang tentu saja dibebankan kepada konsumen, tetapi tak pernah memberikan dampat bagi kesejahteraan rakyat sebagai pembayarnya.

"Dengan begitu bisa dikatakan, berhubungan dengan cukai rokok, sikap pemerintah masih seperti pada era Tumenggung Wiraguna. Uang dari hasil memungut cukai tak pernah jelas penggunaannya. Pemerintah begitu girang karena pendapatan cukai rokok sangat besar, namun untuk apa uang tersebut tidak pernah dipertangungjawabkan kepada publik," tegasnya.

Alih-alih melakukan transparasi, pemerintah justru banyak sekali mengeluarkan Undang-Undang yang membatasi peredaran rokok. Tentu sikap pemerintah tersebut ambigu: mau menerima uang cukai, di sisi lain “mencegah” penjualan rokok. Salah satunya adalah rencana pemerintah untuk ikut menandatangani Framework Convention Tobacco Control (FCTC), sebuah ratifikasi guna membatasi peredaran rokok. Tentu dampaknya tidak hanya berimbas pada industri rokok, tapi yang lebih parah akan berdampak pada petani tembakau.

"Bagi petani tembakau, FCTC seperti malaikat maut yang akan mencabut basis ekonomi mereka yang telah beratus tahun bergantung pada tembakau," tegas mantan direktur utama LKBN Antara ini.

Problem tersebut tentu perlu dicarikan jalan keluar. Persoalannya bukan sebatas orang tidak boleh merokok di gerbong kereta, misalnya, tapi lebih pada penghancuran pada kehidupan para petani yang menggantungkan hidupnya pada tembakau. Ada puluhan juta petani yang telah turun temurun menjadikan tembakau sebagai tumpangan untuk menyambung nafasnya.

"Kalau begitu saja penghidupan mereka dicabut, tentu akan berdampak yang luas secara politik, ekonomi dan sosial budaya. Padahal faktanya, seperti yang sudah disinggung di atas, pendapatan dari cukai rokok sangat besar," ujarnya.

Karena itu, sudah seharusnya negara berperan dalam pemenuhan kewajibannya membangun relasi dengan konsumen rokok dan pemanfaatan serta pengelolaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau. Rakyat sebagai pembayar cukai mempunyai hak menikmati atas pajak yang telah mereka bayarkan.

"Fungsi negara adalah sebagai pelayan, bukan menumpuk hasil pembayaran cukai untuk kepentingan segelintir elit kekuasaan," tukasnya.[wid]

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

UPDATE

KPK Siap Telusuri Dugaan Aliran Dana Rp400 Juta ke Kajari Kabupaten Bekasi

Rabu, 24 Desember 2025 | 00:10

150 Ojol dan Keluarga Bisa Kuliah Berkat Tambahan Beasiswa GoTo

Rabu, 24 Desember 2025 | 00:01

Tim Medis Unhas Tembus Daerah Terisolir Aceh Bantu Kesehatan Warga

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:51

Polri Tidak Beri Izin Pesta Kembang Api Malam Tahun Baru

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:40

Penyaluran BBM ke Aceh Tidak Boleh Terhenti

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:26

PAN Ajak Semua Pihak Bantu Pemulihan Pascabencana Sumatera

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:07

Refleksi Program MBG: UPF Makanan yang Telah Berizin BPOM

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:01

Lima Tuntutan Masyumi Luruskan Kiblat Ekonomi Bangsa

Selasa, 23 Desember 2025 | 22:54

Bawaslu Diminta Awasi Pilkades

Selasa, 23 Desember 2025 | 22:31

Ini yang Diamankan KPK saat Geledah Rumah Bupati Bekasi dan Perusahaan Haji Kunang

Selasa, 23 Desember 2025 | 22:10

Selengkapnya