NAMA Multatuli sampai hari ini masih selalu diperdebatkan jatidiri sejatinya. Apakah itu memang benar nama samaran dari Edward Douwes Dekker yang adalah kakek dari Ernest Douwes Dekker--yang lebih dikenal kemudian sebagai Dr. Rajiman Setiabudi --atau bukan.
Terlepas dari kontroversi perdebatan nama samaran itu, buku yang terbit dengan judul "Max Havelaar" bergenre novel sejarah yang ditulis Multatuli telah memberikan cakrawala baru perjuangan mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia dan mampu menginspirasi banyak tokoh pergerakan nasional pra kemerdekaan untuk membangun gagasan mulia di kemudian.
Ada satu hal yang menarik dari kisah si Max Havelaar dalam novel tersebut. Pengangkatan tokoh utama yang tak lain adalah Max Havelaar sebagai Assisten-Resident Lebak, berada dalam situasi dimana korupsi dan eksploitasi terhadap rakyat yang menggila di pemerintahan kolonial maupun pamongpraja (baca: bupati/adipati/raja lokal). Ekspektasi dari Max Havelaar untuk menegakkan idealismenya tentang humanisme Eropa dengan jabatan barunya harus kandas ketika berhadapan dengan situasi yang ada. Bahkan dia harus rela kehilangan jabatannya untuk berusaha membuat perubahan yang sifatnya absurd.
Korupsi di Lebak memang bukan hal yang sifatnya khusus, karena praktek serupa hampir terjadi di setiap daerah Hindia-Belanda waktu itu (bahkan mengakar hingga kini). Bersatunya elit lokal dan kaum imperialis asing dalam kesepahaman untuk saling menguntungkan isi perutnya masing-masing membawa penderitaan yang absolut pada rakyat/petani waktu itu. Imperialis asing yang mengagungkan humanisme Eropanya seakan berlagak
pilon ketika melihat secara langsung elit lokal mengeksploitasi rakyatnya sendiri untuk kepentingan mereka bersama.
Beberapa hari terakhir ini tampaknya cita-cita Max Havelaar hampir-hampir terwujud ketika elit-elit lokal Banten, dari gubernurnya sampai para bupati dan walikotanya diseret KPK ke dalam tahanan. Namun akankah KPK bisa mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dari gagasan kemerdekaan bangsa Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945?
Lepas dari penindasan bangsa atas bangsa, penindasan manusia atas manusia. Berdaulat atas tanah airnya sendiri. Bukan seperti hari ini, yang masih menjadi perhambaan modal asing. Wilmar Group yang jelas-jelas mengkorup pajak dan menindas Suku Anak Dalam masih saja asyik bercumbu mesra dengan elit lokal sampai hari ini. Tak ubahnya pejabat kolonial waktu itu yang sedang berpestapora dengan elit lokal dan para pemodal asing dalam kisah "Max Havelaar". Semua saling menunggangi demi keuntungan masing-masing.
Max Havelaar mungkin tidak bernasib sebaik KPK. Tapi gagasan untuk membebaskan manusia dari eksploitasi oleh manusia yang lain karena relasi kuasa yang timpang adalah api yang tak akan pernah padam.
Selamat Natal.*
Penulis merupakan ketua umum Serikat Tani Nasional (STN)