Yang dimaksud rantai pasokan global adalah industri suatu barang tidak lagi dikelola oleh satu pihak, melainkan oleh gabungan banyak pelaku yang masing-masing memiliki peran di dalamnya.
Contohnya, barang yang berlabel 'made in China' belum tentu semua komponennya dibuat atau berasal dari China. Bisa saja dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan di negara lain yang kemudian memasoknya ke China untuk penyelesaian akhir.
"Rantai pasokan tersebut mengubah bagaimana ekonomi global dikelola," jelas Direktur Eksekutif Resistance and Alternatives to Globalization (RAG), Bonnie Setiawan, saat berkunjung ke redaksi Rakyat Merdeka Online dan diterima oleh Wakil Pemimpin Redaksi, Aldi Gultom, serta koordinator liputan, Yayan Sopyani, Kamis (24/10).
Dalam rantai pasokan tersebut, terang Bonnie, yang mengambil peran adalah negara-negara yang basis perindustriannya kuat sehingga bisa memasok berbagai komponen barang. Menurut dia, Indonesia sebenarnya tidak memiliki peran dalam rantai pasokan tersebut karena syarat perindutrian dalam negeri Indonesia tidak terpenuhi.
Lantas siapa pihak di dalam negeri yang diuntungkan penyelenggaraan konferensi WTO di Bali pada Desember mendatang? Bonnie menjelaskan bahwa justru kelompok besar dan para pemburu rente atau pihak yang mencari keuntungan besar dengan tidak meningkatkan produktivitas ekonomi masyarakat-lah yang mendapatkan untung. Mereka memanfaatkan konferensi WTO untuk membidik berbagai proyek industri.
"Kelompok pemburu rente ada di dalam pemerintahan dan juga luar pemerintahan," tegasnya.
Dengan demikian, kata Bonnie, konferensi WTO justru sebenarnya tidak memberikan dampak positif apapun pada masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia tidak mendapat apa-apa, karena pembahasan konferensi WTO tidak berkaitan dengan program industri nasional ataupun program kesejahteraan nasional.
[ald]