Berita

Publika

China, Mengapa Tionghoa?

JUMAT, 03 MEI 2013 | 21:37 WIB

BILA Anda bertanya: kuping dan telinga samakah nilai pengertiannya? Hampir dipastikan semuanya akan menjawab: sama! Tetapi bila Anda menanyakan samakah nilai sega (bahasa Jawa, yang bahasa Indonesianya adalah nasi) dengan sekul, maka orang Jawa akan mengatakan kedua hal itu berbeda. Bedanya dimana?

Bedanya adalah, kepada siapa kita menyebutkan kata 'sega' itu (karena penduduk Jawa mempunyai kasta bahasa). Kata sega ditujukan kepada orang yang dianggap sederajat harkat manusiawinya dengan yang berbicara. Tetapi bila menyebut sekul, kata ini diperuntukkan bagi orang yang dianggap lebih tinggi harkat manusiawinya ataupun yang kita hormati.

Di dunia ini bangsa yang paling besar jumlahnya ada di China. Dan negara pemula yang menghasilkan kain sutra pun dari China. Oleh karena itulah Nabi Muhammad tidak segan- segan untuk mengatakan, tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China atau Utlubuli’lmawalau bi shin.


Di Amerika, orang kulit putih menyebut mereka dengan sebutan Chinese, lokasi tempat tinggal mereka disebut China Town, di sudut-sudut negara manapun di dunia in imereka disebutnya juga sama, China. Lalu mengapa di Indonesia orang China harus ada sebutan lain?

Tionghoa itu bila diartikan dalam bahasa Indonesia pengertiannya adalah “bangsa yang di tengah” (tiong = tengah/atas/luhur/jaya, sedangkan hoa = bangsa).

Mengapa ada sebutan ini?

Karena waktu orang-orang Hoakiao (= bangsa perantau; padahal mereka meninggalkan tanah airnya untuk menyingkir dari kemelut dalam negerinya sendiri, bukan sengaja merantau) migran ke Pulau Jawa (waktu itu belum ada sebutan Indonesia).

Di Pulau Jawa sudah ada terlebih dulu orang-orang Belanda dari VOC ( Kamar Dagangnya Belanda untuk Timur Jauh), dan karena mereka adalah bangsa "yang mencari aman" maka mereka menempatkan posisinya "di tengah"  antara si penjajah dengan yang dijajah.

Bangsa yang "di tengah" ini, bagi bangsa penjajah (Belanda) nilai manusiawinya tentu saja di bawah mereka.Tetapi bagi bangsa yang "di tengah" , bangsa yang dijajah tentulah bangsa yang jadi alas kaki (siapanya?).

Jadi bila di era Reformasi ini ada yang menghidupkan lagi istilah Tionghoa, maka orang ini jelas keblinger, karena menghidupkan lagi "kasta" bangsa yang tidak dikenal oleh bangsa manapun di dunia, dan lagi kita sudah menjadi bangsa yang merdeka.

Anda tahu nama tanaman petai cina? Pernah dengar Pecinan atau Bubur Pacar Cina atau Dodol Cina atau Bong (kuburan) atau Rambut Kuncir Cina? Dari dulu sampai sekarang sebutannya tetap, enggak ada kata Tionghoanya kan? (mana ada petai tionghoa?).
Jelas kata Tionghoa ini sama halnya dengan kata sekul yaitu sebutan nasi untuk orang yang lebih dihormati.

Apa namanya enggak keblinger di masa Reformasi ini, dan dalam ajaran agama pun tidak ada bangsa manusia yang lebih tinggi derajatnya, kecuali perbuatannya, kita malah menghidupkan lagi kasta bangsa?

Hanya orang yang tidak paham makna kata Tionghoa (tapi punya 'nama' atau jabatan dan diberikan kesempatan berbicara) yang mau menghidupkan lagi istilah kata ini.

Seorang nabi pun menyebutnya dengan kata China. Jadi mengapa bangsa Indonesia yang konon umat Islamnya terbesar di dunia mempunyai istilah lain untuk menyebut China?

Jadi Anda termasuk yang paham makna kata atau cuma ikutan tapi keblinger? Untuk itulah kami kenalkan istilah netral tapi mengena, yaitu “Hoa In” atau Bangsa Indonesia.
 
HDA. Karim Bakrie
Ketua Forum Komunikasi Sumpah Bangsa Indonesia  

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Pidato Prabowo buat Roy Suryo: Jangan Lihat ke Belakang

Senin, 08 Desember 2025 | 12:15

UPDATE

Dituding Biang Kerok Banjir Sumatera, Saham Toba Pulp Digembok BEI

Kamis, 18 Desember 2025 | 14:13

Kapolda Metro Jaya Kukuhkan 1.000 Nelayan Jadi Mitra Keamanan Laut Kepulauan Seribu

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:56

OTT Jaksa di Banten: KPK Pastikan Sudah Berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:49

Momen Ibu-Ibu Pengungsi Agam Nyanyikan Indonesia Raya Saat Ditengok Prabowo

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:41

Pasar Kripto Bergolak: Investor Mulai Selektif dan Waspada

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:31

Pimpinan KPK Benarkan Tangkap Oknum Jaksa dalam OTT di Banten

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:21

Waspada Angin Kencang Berpotensi Terjang Perairan Jakarta

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:02

DPR: Pembelian Kampung Haji harus Akuntabel

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:01

Target Ekonomi 8 Persen Membutuhkan Kolaborasi

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:58

Film TIMUR Sajikan Ketegangan Operasi Militer Prabowo Subianto di Papua

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:48

Selengkapnya