Berita

Panggilan Politik Bukan "Politisi Panggilan"

MINGGU, 21 APRIL 2013 | 22:49 WIB | OLEH: ANAS URBANINGRUM

APA sejatinya kerja politisi? Yang utama adalah menjalankan keyakinan, cita-cita dan ideologi politik. Kemudian, memperjuangkan keutamaan publik dan kebaikan bersama. Karena itu, kerja politik sesungguhnya memanggul kemuliaan dan kehormatan.

Politisi yang sejati bekerja atas dasar panggilan hidup, sehingga basisnya adalah keyakinan terhadap nilai-nilai ideologi yang dianutnya. Ketika politik tidak menjadi panggilan hidup, politisi bekerja tidak lebih dari sekadar profesi.

Jika politik dianggap sekadar profesi, maka logika pasar yang akan berbicara, bahwa kerja politik hanya dipertukarkan dengan nilai-nilai materi. Begitu juga dengan jabatan politik, hanya sekadar jembatan untuk memburu materi. Popularitas juga hanya dimaknai sebagai sarana untuk menghimpun materi.


Sebaliknya, ketika politisi bekerja sebagai panggilan hidup, apa yang dilakukan adalah perjuangan untuk membumikan keyakinan politik. Politisi tidak dimaknai sebagai sekadar profesi, melainkan aktivis dan pejuang yang benar-benar menghayati pekerjaan tersebut.

Jika kemudian kerja politiknya menghasilkan jabatan, kekuasaan dan materi, maka hal tersebut tidak didewakan sebagai tujuan. Justru jabatan, kekuasaan, popularitas dan materi didayagunakan untuk melanjutkan kekuatan politiknya menjadi lebih bertenaga dan efektif.

Maknanya, politisi bekerja untuk memenuhi komitmen etisnya sebagai khalifah yang mesti mendatangkan faedah sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang lain. Politisi akan selalu memandu kerjanya dengan komitmen pada keutamaan publik, kebaikan bersama dan kemaslahatan umum. Politisi sejati memang harus bersedia dan rela mengambil peran seperti itu.

Jika tidak, maka politisi tak lebih dari kerja tukang yang pencapaian kerja politiknya akan dipertukarkan dengan jabatan, popularitas dan materi saja. Politisi model ini hidup sebagai "tukang politik." Siapa dan apa saja yang mendatangkan kursi, popularitas dan materi akan dikejar, dan karena itu apa yang dilakukan seperti memenuhi "panggilan kerja." Inilah politisi panggilan yang bekerja tidak berdasarkan keyakinan politik dan ideologinya.

Pada diri seorang politisi, konsistensi mempunyai nilai tinggi. Sikap adalah pengejawantahan dari perjuangan terhadap nilai-nilai yang diyakini dan produk dari kajian serta pemikiran yang matang. Oleh karenanya, mempertahankan sikap menjadi bagian dari kehormatan. Sekali sikap diketuk, sampai akhir sikap itu dipertahankan dan dibela habis-habisan.

Bagaimana kalau gampang berubah sikap?

Itu namanya politisi yang mempraktikkan gaya isuk dele, sore tempe (pagi kedelai, sore tempe). Hanya karena ingin populer atau yang lain, sikap politik mudah digeser ke tempat lain. Pagi mengusulkan tahu, sore memilih sabu-sabu hanya karena sabu-sabu lebih kondang.
Inkonsistensi adalah tanda ketidak-matangan ketika mengambil sikap. Ini mungkin karena kerja politik bukan dipahami sebagai keterpanggilan pada nilai yang diyakini dan posisi etis-politiknya, melainkan karena alasan lain yang gampang dikuantifikasi dan jangka pendek saja. Mempertahankan kekuasaan dan takut kehilangan materi, misalnya.

Namun demikian, satu hal yang sangat jelas. Bahwa, pemilik demokrasi adalah rakyat. Dalam proses politik melalui Pemilu, posisi pemilih adalah sentral. Pemilih adalah pihak yang yang berhak untuk menentukan keputusan politik pada kontestasi politisi.

Pemilih memegang kuasa penuh untuk memilih calon mana yang layak dipilih menjadi politisi mewakili suara mereka. Selain itu, pemilih juga dibekali oleh hak dasar untuk tidak memilih alias golput.

Dalam dunia pemasaran, pemilih ibarat pembeli. Dan kita paham sepenuhnya bahwa pembeli adalah raja. Dalam pengertian pemasaran politik, pemilih adalah konsumen yang berhak untuk menentukan produk politik apa yang akan dibelinya, termasuk untuk tidak membeli produk sama sekali.

Itulah hebatnya posisi dasar pemilih. Karenanya, terhadap produk-produk politik yang akan dipasarkan, diperlukan hati, pikiran dan informasi yang jernih untuk mengambil pilihan politik yang bisa memberikan manfaat dan faedah sebesar-besarnya untuk orang lain. Tidak saja untuk tujuan yang pendek, tetapi juga jangka yang panjang. Wallahu a'lam. [***]

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

UPDATE

PIP Berubah Jadi Kartu Undangan Kampanye Anggota DPR

Senin, 15 Desember 2025 | 06:01

Perpol versus Putusan MK Ibarat Cicak versus Buaya

Senin, 15 Desember 2025 | 05:35

Awas Revisi UU Migas Disusupi Pasal Titipan

Senin, 15 Desember 2025 | 05:25

Nelangsa Dipangku Negara

Senin, 15 Desember 2025 | 05:06

Karnaval Sarendo-Rendo Jadi Ajang Pelestarian Budaya Betawi

Senin, 15 Desember 2025 | 04:31

Dusun Bambu Jual Jati Diri Sunda

Senin, 15 Desember 2025 | 04:28

Korupsi di Bandung Bukan Insiden Tapi Tradisi yang Dirawat

Senin, 15 Desember 2025 | 04:10

Rektor UI Dorong Kampus Ambil Peran Strategis Menuju Indonesia Kuat

Senin, 15 Desember 2025 | 04:06

Hutan Baru Dianggap Penting setelah Korban Tembus 1.003 Jiwa

Senin, 15 Desember 2025 | 03:31

Jangan Keliru Tafsirkan Perpol 10/2025

Senin, 15 Desember 2025 | 03:15

Selengkapnya