PT Chevron Pasific IndoÂnesia
PT Chevron Pasific IndoÂnesia
Dua tersangka yang belum bisa diÂsidang itu adalah General MaÂnaÂger Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pasific IndoÂnesia (CPI) Bachtiar Abdul Fatah dan General Manajer Sumatera Light North (SLN) Operation PT CPI Alexiat Tirtawidjaja.
Berkas Bachtiar belum lengÂkap, karena hakim Pengadilan NeÂgeri Jakarta Selatan memutus peÂnetapan tersangkanya tidak sah. Putusan itu adalah buah dari gugatan praperadilan yang diÂajuÂkan Bachtiar. Kejaksaan Agung kini menempuh upaya hukum, yakÂni mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Sedangkan Alexiat belum bisa diajukan ke persidangan dengan alasan masih menemani suamiÂnya yang sakit di Amerika SeÂriÂkat. Bahkan, Alexiat sama sekali belum pernah diperiksa sebagai tersangka.
Saat dihubungi, kemarin, KeÂpaÂla Pusat Penerangan Hukum KeÂjaksaan Agung Setia Untung Ari Muladi menyatakan, belum ada perkembangan signifikan unÂtuk memeriksa Alexiat.
“Belum ada kehadirannya, tapi masih kami upayakan. Saat ini, kami maÂsih konsentrasi untuk meÂngurus terdakwa yang disiÂdangÂkan terlebih dahulu, karena cukup berat,†alasannya.
Sedangkan untuk tersangka BachÂtiar, lanjut bekas Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta SeÂlatan ini, masih dalam proses pemberkasan.
Direktur Penyidikan KejakÂsaan Agung Adi Toegarisman meÂÂngaÂku berkomitmen memÂbawa seÂmua tersangka perkara Chevron ke Pengadilan Tindak PiÂdana KoÂrupsi. Lima dari tujuh tersangka kaÂsus ini sudah dilimÂpahkan kejakÂsaan ke Pengadilan Tipikor Jakarta.
Lima tersangka yang telah diÂlimpahkan ke Pengadilan Tipikor itu adalah Manajer SLN dan SLS PT CPI Endah Rubiyanti, Team Leader SLN Kabupaten Duri ProÂvinsi Riau PT CPI Widodo, Team Leader SLS Migas PT CPI KuÂkuh Kertasafari, Direktur Utama PT Sumigita Jaya Herland dan DiÂrektur PT Green Planet InÂdoÂnesia Ricksy Prematuri. PeÂlimÂpahan lima tersangka itu berÂdaÂsarÂkan surat pelimpahan tanggal 11 Desember 2012.
Sebelumnya, para tersangka dari Chevron itu telah meÂngaÂjuÂkan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi, para hakim itu hanya memutus peÂnaÂhanan mereka yang tidak sah, buÂkan penetapan tersangkanya. SeÂhingga, kasus mereka tetap beÂrÂguÂlir ke Pengadilan Tipikor, kenÂdati para tersangka itu diÂkeÂluarÂkan Kejagung dari rumah tahanan.
Sedangkan hakim yang meÂnangani praperadilan Bachtiar, meÂmutus bahwa penetapan terÂsangka terhadap Bachtiar tidak sah. Sehingga, Kejagung belum bisa membawa Bachtiar ke PeÂngadilan Tipikor.
Kasus Chevron bermula ketika PT CPI yang bergerak di sektor miÂnyak dan gas, menganggarkan biaya proyek lingkungan di seluÂruh Indonesia sebesar 270 juta dolar AS (sekitar Rp 2,43 triliun) unÂtuk kurun waktu 2003-2011. SaÂlah satunya adalah proyek bioÂremediasi atau pemulihan kondisi tanah yang terkena limbah akibat eksplorasi minyak.
Salah satu proyek bioremediasi itu dilakukan di Duri, Riau. ProÂyek di Riau itu dikerjakan PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ). Namun, saat diselidiki Kejagung, dua peÂruÂsahaan itu tidak memenuhi klasifikasi teknis dan sertifikasi sebagai perusahaan yang bergeÂrak di bidang pengolahan limbah.
Kedua perusahaan itu hanya perusahaan kontraktor umum, seÂhingga tidak layak melaksanakan proyek bioremediasi. Proyeknya juga tidak dikerjakan alias fiktif. Padahal, dana bioremediasi itu teÂlah dicairkan BP Migas. SeÂhingÂga, menurut Kejagung, beÂrÂdaÂsarÂÂkan hasil audit BPK, keruÂgian neÂgara dalam kasus ini seÂkitar Rp 100 miliar.
REKA ULANG
Tersangka Minta Kasus Chevron Dihentikan
Kuasa hukum tersangka dari PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) MaÂqdir Ismail meminta KeÂjakÂsaan Agung menghentikan kasus dugaan bioremediasi fiktif ini.
Permintaan itu dilontarkan MaqÂdir setelah empat hakim tungÂÂgal Pengadilan Negeri JaÂkarta Selatan mengabulkan sebaÂgian gugatan praperadilan yang diÂajukan empat tersangka dari piÂhak Chevron.
“KaÂsus ini harus diÂhentikan, karena alasan peÂneÂtaÂpan tersangka itu tidak ada,†kaÂtaÂnya seusai siÂdang putusan haÂkim praperadilan pada Selasa, 27 November lalu.
Maqdir mengakui, hakim tidak menerima permohonan empat karÂyawan Chevron agar KeÂjaÂgung menghentikan penyidikan kasus ini. Namun, katanya, hakim meÂnyaÂtakan penetapan tersangka dan penahanan tersangka itu tidak sah, seÂhingga penyidikan harus digugurkan.
“Kalau tidak sah jadi tersangÂka, penyidikannya juga tidak sah. Hemat saya, kasus ini harus dituÂtup, kecuali kejaksaan punya terÂsangka baru. Menurut hakim, peÂnetapan tersangka pada empat orang ini tidak sah. Karena tidak ada tersangka, tidak ada perkara pidana,†tandasnya.
Sedangkan menurut Jaksa Agung Basrief Arief, ketetapan haÂkim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan yang diÂaÂjukan empat tersangka dari PT CPI itu, bermasalah.
Hakim menetapkan, salah seorang tersangka, penetapan status tersangkanya tidak sah. Dan, empat tersangka dari ChevÂron itu ditetapkan agar segera diÂlepaskan dari rumah tahanan.
“Ada satu tersangka, diantara empat tersangka itu, yang putuÂsan hakimnya mengenai peÂneÂtaÂpan tersangka yang tidak sah,†kata Basrief di Gedung KejakÂsaan Agung, Jakarta, Jumat, 30 November lalu.
Lantaran itu, Basrief memeÂrinÂtahkan anak buahnya untuk meÂmeriksa semua proses praÂperÂaÂdilan tersebut. Soalnya, peÂneÂtaÂpan status tersangka, bukan ranah praperaÂdilan. “Yang punya keÂweÂnangan daÂlam menetapkan terÂsangka itu adalah penyidik,†tanÂdas bekas JakÂsa Agung Muda Intelijen ini.
Kejaksaan Agung menilai, yang bermasalah itu adalah putuÂsan hakim Sukoharsono atas praÂperadilan yang diajukan terÂsangÂka Bachtiar Abdul Fatah, General Manager Sumatera Light South (SLS) PT CPI.
Begini ceritanya, dalam putuÂsan yang dibacakan serentak di empat ruang sidang PN Jaksel pada Selasa, 27 November lalu, empat hakim tunggal meÂnyaÂtaÂkan penahanan terhadap empat tersangka oleh penyidik KeÂjaÂgung tidak sah, karena tidak diÂdaÂsÂari bukti yang cukup sebaÂgaiÂmana diatur Pasal 183 KUHAP.
Yang menimbulkan keberatan Kejagung, salah satu dari empat haÂkim tunggal, yakni SukoÂharÂsono juga mengabulkan perÂmoÂhonan Bachtiar agar penetapan tersangkanya dinyatakan tidak sah. Bukan sekadar penaÂhaÂnanÂnya yang tidak sah.
Sedangkan menurut Kejagung, sah atau tidaknya penetapan terÂsangka, bukan ranah prapeÂraÂdiÂlan. Soalnya, penetapan terÂsangÂka itu menyangkut materi perkara yang harus dibuktikan di pengaÂdiÂlan, bukan praperadilan.
Sedangkan tiga hakim yang meÂnangani permohonan tiga terÂsangka lain, hanya menyatakan bahwa penahanan oleh penyidik yang tidak sah. Bukan penetapan tersangkanya.
Empat hakim tunggal yang menangani praperadilan ini, yakÂni M Samiadji menangani permoÂhonan tersangka Widodo, Suko Harsono menangani permohonan tersangka Bachtiar Abdul Fatah, Haryono menangani permohonan tersangka Kukuh Restafari, dan Ari Jiwantara menangani perÂmoÂhonan tersangka Endah RuÂmÂbiÂyanÂti. Empat hakim itu memuÂtusÂkan menerima sebagian dari perÂmohonan praperadilan yang diÂajukan keempat pemohon itu.
Menurut Basrief Arief, KejaÂgung tidak berhenti menangani kaÂsus yang diduga merugikan negara hampir Rp 100 miliar ini. Dia meÂnyatakan, Kejagung tetap berupaÂya membawa para terÂsangÂka kasus ini ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. “Kalau sudah seÂlesai seÂmua pemÂberkasan, tentu akan kami limÂpahkan. Sekarang maÂsih tahap pemberkasan,†ujarÂnya saat itu.
Mestinya Sigap Dan Gerak Cepat
Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi meÂngingatkan kejaksaan agar tidak setengah hati menangani kasus Chevron. Soalnya, kejaksaan baru melimpahkan lima terÂsangÂka ke Pengadilan Tipikor JaÂkarta. Padahal, tersangka kaÂsus ini tujuh orang.
Salah seorang tersangka, yakni Alexiat Tirtawidjaja hingÂga kini masih berada di AmeÂrika Serikat. Dia tak kunjung haÂdir ke Indonesia untuk menÂjalani pemeriksaan dan pemÂberÂkasan. “Dia kan sudah janji akan datang setelah enam buÂlan. Jika sampai kini tak datang, maka harus dilakukan upaya serius, seperti pemanggilan pakÂsa,†tandas Andi.
Menurutnya, tersangka seÂperti Alexiat tidak begitu saja akan datang hanya karena telah berjanji. Karena itu, lanjut dia, seharusnya Kejaksaan Agung sigap dan bertindak cepat. “JaÂngan sampai masyarakat meÂliÂhat ada yang tidak beres. Yang lain mulai disidangkan, tapi ada yang dibiarkan begitu saja. Ini akan menimbulkan kecurigaan masyarakat,†katanya.
Bagi Andi, semua tersangka semestinya diperlakukan sama. Yakni, diperiksa, diberkas dan diadili. “Juga perlu dilakukan upaya penahanan seperti terÂsangka lain yang sudah ditaÂhan,†ujarnya.
Sejauh ini, Andi menilai, keÂjakÂsaan seperti berpuas diri bisa membawa beberapa tersangka ke persidangan. Tentu saja hal itu bisa menimbulkan kecuÂriÂgaÂan publik, kenapa ada tersangka yang tak kunjung dibawa ke pengadilan, bahkan belum perÂnah diperiksa.
“Harusnya kejaksaan melaÂkuÂkan upaya apapun untuk meÂnangkap tersangka dan memÂbukÂtikannya di pengadilan. SeÂhingga, masyarakat tidak curiga bahwa kejaksaan tidak meÂmiÂliÂki itikad baik menuntaskan seÂmua kasus ini,†ujarnya.
Lantaran itu, Andi berharap Kejaksaan Agung mengusut seÂmua yang terlibat dalam kasus ini. “Segera tangkap tersangka yang masih berkeliaran,†tanÂdasnya.
Semua Tersangka Mesti Diperiksa
Alex Sato Bya, Bekas Jaksa Agung Muda
Bekas Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Alex Sato Bya yakin, setiap orang yang telah ditetapkan seÂbaÂgai tersangka, bisa dipanggil untuk diperiksa. Termasuk terÂsangka Alexiat Tirtawidjaja, GeÂneral Manajer Sumatera Light North (SLN) Operation PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) yang kini berada di AmeÂrika Serikat.
Prosedur resminya, lanjut Alex, yakni membuat surat peÂmanggilan terhadap tersangka terlebih dahulu, kemudian meÂmoÂhon Kementerian Luar NeÂgeri untuk berkoordinasi deÂngan Kedutaan Besar Indonesia di Amerika Serikat. “Asal jelas di mana alamatnya, di mana keÂberadaannya, statusnya seperti apa, dia pasti bisa dipanggil seÂcara resmi,†ujar pria yang 40 taÂhun bekerja sebagai jaksa ini.
Setelah dilakukan pemangÂgiÂlan secara resmi, tapi yang bersangkutan tak kunjung hadir, tentu akan dilakukan upaya pakÂsa. “Perlu diingat, bila seteÂlah dua kali pemanggilan diÂlaÂkuÂkan secara patut namun tak datang, tentu ada upaya penÂjemÂputan atau pemanggilan pakÂsa oleh kejaksaan,†tandasnya.
Menurutnya, pemanggilan paksa itu dilakukan jika tak ada itikad baik dan tak ada kemauan tersangka untuk memenuhi pangÂgilan. “Tersangka seperti itu, mesti diberlakukan sebagai buronan dengan memasukkan namanya ke daftar pencarian orang. Untuk urusan ini, kerjaÂsaÂmanya dengan Interpol,†kata pria asal Gorontalo ini.
Dia menambahkan, kehaÂdiÂran Alexiat sebagai tersangka diÂperlukan untuk pemeriksaan dan pemberkasan. Sehingga, kasus ini bisa ditangani sampai tuntas. Apalagi, katanya, AleÂxiat pernah berjanji akan hadir ke Indonesia setelah enam buÂlan penetapannya sebagai terÂsangka. “Jika semua prosedur sudah dilaksanakan, tapi yang bersangkutan tak juga datang, maka harus ada tindakan tegas,†tandasnya.
Mengingat lima tersangka kaÂsus ini sudah memasuki proÂses persidangan di PengaÂdilan TiÂpikor Jakarta, lanjutnya, maka sangat mencurigakan bila seorang tersangka dibiarkan tiÂdak menjalani pemeriksaan dan pemberkasan.
“Segeralah ambil tindakan,†ujar Ketua Umum KeÂsatuan Aksi Pemuda Pelajar IndoneÂsia Sumatera Selatan Angkatan 66 ini. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30