Penundaan kembali pembacaan putusan hakim atas gugatan Kontrak Karya Freeport patut disayangkan. Sedianya agenda pembacaan putusan digelar pukul 10.30 tadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi majelis hakim yang diketuai Suko Harsono memutuskan menundanya sampai Kamis (13/9) pekan depan.
Gugatan Kontrak Karya Freeport pertama kali disidang tanggal 14 Juni 2011. Dalam gugatannya Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menilai, tarif royalti yang dibayarkan Freeport bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45/2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di Kementrian ESDM.
Menurut IHCS, pemberlakuan kontrak secara terus menerus tanpa adanya penyesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan secara ekonomi merugikan Indonesia sebagai negara berdaulat.
Menurut hitungan IHCS, total kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum ini, yakni pembayaran royalti dari Freeport yang lebih rendah dari ketentuan beleid PNBP, mencapai 256,2 juta dolar AS. Dalam gugatannya, IHCS menuntut biaya ganti rugi sebanyak Rp 70 triliun. IHCS juga menuntut penghentian kegiatan pertambangan Freeport.
Wakil Ketua Bidang Politik dan Jaringan IHCS, Ridwan Darmawan berharap hakim tak main-main dengan kasus ini. Namun dia tak mau berprasangka buruk atas alasan hakim bahwa penundaan dilakukan karena belum menyelesaikan materi putusan. Hakim ketua Suko Harsono mengaku baru menjalani operasi mata sehingga belum fokus mengerjakan putusan.
"Dulu waktu pertengahan puasa, untuk menjadwalkan putusan, dia yang ngotot agar putusan dijadwalkan tanggal 16 Agustus. Tapi itu juga tidak jadi karena para pihak tidak hadir," kata Ridwan sesaat tadi.
Ridwan yang hadir dalam persidangan tak tahu pasti apakah hakim Suko benar-benar telah menjalani operasi mata meski dalam tadi terlihat tidak ada bekasnya.
Namun ditegaskan dia, putusan gugatan atas Kontrak Karya Freeport sangatlah penting karena berkaitan sekaligus mempertaruhkan kedaulatan hukum dan kedaulatan bangsa. Putusan atas gugatan Freeport harus bisa menegaskan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat. Berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.
Ditegaskan dia lagi, gugatan atas Kontrak Karya Freeport yang IHCS ajukan bukan hanya untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Akan tetapi agar para pihak tergugat dan umumnya kita semua dapat menghargai dan menjalankan secara konsekuen apa-apa yang telah termaktub dalam UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[dem]