Syarifuddin Umar
Syarifuddin Umar
RMOL. KPK nggak ngeper menghadapi gugatan perdata Rp 5 miliar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diajukan tersangka kasus suap Rp 250 juta, hakim Syarifuddin Umar. Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo malah menyatakan, berkas perkara Syarifuddin sudah lengkap alias P21.
Menurut Johan, gugatan perÂdata yang dilakukan Syarifuddin tidak akan berpengaruh terhadap proses hukum yang sedang melilit hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu. Johan malah meminta pihak Syarifuddin untuk membuktikan semua tuduhan yang dilemparkan kepada KPK.
“Sudah lengkap berkasnya. SiÂlakan saja, kami nggak takut. KaÂlau menurut dia ada yang tak beÂres dengan penyidikan KPK, bukÂtikan di hadapan hakim,†katanya kepada Rakyat Merdeka.
Salah satu poin yang diklaim SyaÂrifuddin janggal ialah soal peÂnyitaan sejumlah uang pribadinya dalam bentuk mata uang asing dan rupiah, serta barang-barang priÂbadi yang tidak ada kaitannya deÂngan tindak pidana yang diÂsangkakan KPK.
Namun, Johan membantah jika pihaknya telah melakukan peÂnyiÂtaan barang dengan cara melawan hukum. “Itu kan versi dia. Jangan dulu percaya, sebaiknya majelis hakim yang menilai apakah ini benar atau tidak,†tandasnya.
Bagitu pula ketika ditanya peÂrihal tudingan perbuatan tak seÂnonoh penyidik KPK terhadap istri Syarifuddin, Johan meminta kepada masyarakat jangan mudah percaya terhadap tuduhan seperti itu. Menurutnya, penyidik KPK seÂlalu melaksanakan tugasnya deÂngan profesional. “Perbuatan tak senonoh bagaimana. SudahÂlah buktikan saja di hadapan majelis hakim,†ujarnya.
Namun, ketika ditanya soal apa yang sedang dilakukan pihaknya guna membantah tuduhan SyaÂriÂfudÂdin, Johan enggan memÂbeÂberÂkannya secara pasti. Dia hanya menyatakan bahwa Biro Hukum meÂlakukan koordinasi dengan para pimpinan KPK untuk mengÂhadapi gugatan ini. “Pokoknya siÂlakan saja mereka lakukan guÂgatan itu,†tandasnya.
Johan juga belum mengetahui kapan berkas perkara Syarifuddin akan diserahkan ke Pengadilan Tipikor untuk disidangkan. Dia haÂnya mengatakan bahwa pada Rabu (28/9), Syarifuddin telah daÂtang ke KPK untuk menanÂdaÂtaÂngani berkas acara pemeriksaan yang akan dilimpahkan ke peÂnuntutan. “Segera dijadwalkan unÂtuk sidang,†ucapnya.
Seperti diketahui, pada Selasa (27/9), Syarifuddin mengajukan gugatan perdata terhadap KPK terkait tindakan melawan hukum dalam proses penyidikan. SyaÂriÂfuddin yang menjadi tersangka daÂlam kasus dugaan suap ini, menggugat KPK untuk memÂbayar ganti rugi materiil sebesar Rp 60 juta dan immateriil sebesar Rp 5 miliar. Sidang perdana gugatan ini digelar di PN Jaksel. Syarifuddin diwakili oleh kuasa hukumnya, Irwan Muin.
Ada empat hal yang menjadi fokus gugatan. Pertama, soal peÂnyitaan yang dinilai melawan huÂkum. Di mana KPK dinilai telah menyita sejumlah uang pribadi Syarifuddin dalam bentuk mata uang asing dan rupiah, serta baÂrang-barang pribadi yang tidak ada kaitannya dengan tindak pidana yang disangkakan KPK.
“Ada laptop, handphone mauÂpun uang pribadi, dalam bentuk mata uang asing dan rupiah yang jumlahnya mencapai miliaran ruÂpiah, ada juga milik SyaÂriÂfuddin yang disimpan dalam leÂmari, domÂpet, kantong celana, laci lemari di rumah SyarifudÂdin,†katanya.
Kedua, lanjut dia, terkait peÂneÂrapan azas pembuktian terbalik yang dilakukan KPK dalam proÂses penyidikan perkara ini. MeÂnurut Irwan, sesuai Pasal 37 ayat 3 Undang-Undang Tipikor, peneÂrapan pembuktian terbalik hanya bisa dilakukan dalam persiÂdaÂngan dengan kedudukan SyaÂriÂfuddin sebagai terdakwa.
Ketiga, terkait tindakan pengÂgeÂledahan yang dilakukan KPK tidak didasari adanya surat peÂrintah. Padahal, kata dia, Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang KPK meÂngatur bahwa penggeledahan dan penyitaan harus dilakukan atas surat perintah, sehingga penyiÂdiÂkan KPK atas perkara suap yang menyeret Syarifuddin dinilai tiÂdak sah dan batal demi hukum. “Di sinilah letak paling fatal keÂkeÂliruan, kesalahan sekaligus perÂbuatan sewenang-wenang KPK terhadap klien kami,†ujarnya.
Selanjutnya, tuduhan perilaku tiÂdak senonoh penyidik KPK terÂhadap istri Syarifuddin saat meÂlakukan penggeledahan di rumah Syarifuddin. “Penyidik KPK tiÂdak menghargai privacy keÂwaÂniÂtaÂan istri Syarifuddin, di mana saat itu penyidik KPK bertindak maÂsuk kamar pribadi istri SyaÂrifuddin dengan cara tidak etis dan melanggar batas kesusilaan,†tandasnya.
Alhasil, pihak Syarifuddin seÂbaÂgai penggugat menuntut KPK untuk mengembalikan harta benÂda yang telah disita dan dinilai tiÂdak terkait tindak pidana tersebut. Dia juga menuntut KPK untuk membayar ganti rugi kepada SyaÂrifuddin.
“Meminta KPK untuk memÂbaÂyar ganti rugi kepada penggugat, Syarifuddin, berupa ganti rugi materiil sebesar Rp 60 juta dan immateriil sebesar Rp 5 miliar,†katanya.
Dorong KY Pantau Hakim yang Adili Hakim
Nasir Jamil, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Nasir Jamil meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) suÂpaya tidak takut dengan guÂgatan perdata lima miliar rupiah yang diajukan hakim SyariÂfudÂdin Umar.
Pasalnya, langkah yang diÂlakukan lembaga suÂperbodi itu sudah sesuai dengan standar opeÂrasional penyidikan.
“Tapi, jika Syarifuddin tetap keberatan, sebaiknya buktikan saja semua perkataannya itu di pengadilan. Supaya semua maÂsalah ini menjadi fair dan transÂparan,†katanya.
Nasir tidak mau ambil pusing dengan gugatan perdata yang diÂlayangkan Syarifuddin. Dia hanya tak habis pikir, mengapa akhir-akhir ini marak terjadi penyuapan terhadap hakim. Menurutnya, kedudukan hakim di lembaga peradilan sangat penÂting. Sebab, segala kepuÂtuÂsan hakim yang telah diberikan itu tidak bisa diganggu gugat.
“Meskipun seorang hakim itu memvonis bebas maling, kita tiÂdak bisa gugat isi putusan. Yang bisa kita gugat ialah peÂlanÂgÂgaran kode etiknya,†ucapnya.
Karena itu, demi kelancaran persidangan hakim Syarifuddin di Pengadilan Tipikor, Nasir meminta Komisi Yudisial (KY) ikut memantau jalannya persiÂdaÂngan. Sebab, rasa sungkan anÂtar lembaga peradilan sangatÂlah tinggi. Politisi PKS ini khaÂwaÂtir majelis hakim Tipikor meÂlanggar kode etik hakim. “Kami dorong KY untuk pantau perÂsiÂdangan itu,†tandasnya.
Nasir mengakui, memang tiÂdak mudah bagi hakim untuk menghindar dari suap. Sebab, kata dia, praktik suap sudah berÂurat berakar di tengah maÂsyaÂraÂkat. Menurutnya, hanya para hakim bermental baja dan siap hidup sederhanalah yang bisa tetap melaksanakan karir tanpa suap. “Sangat sulit mencari figur hakim yang seperti itu saat ini,†tandasnya.
Perlu Efek Jera Bagi Hakim Lain
Asep Iwan Iriawan, Pengamat Hukum
Bekas hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Asep Iwan Iriawan menilai, saat ini marak terjadi kasus penyuapan yang melibatkan hakim.
Menurutnya, hal itu bisa terÂjadi karena gaji hakim yang tiÂdak tergolong besar, malah cenÂderung kecil. Hasilnya, kata dia, para hakim mencari jalur alterÂnatif untuk menambah pundit-pundi hartanya.
“Serba salah ya. Hakim itu sering disebut waÂkil Tuhan di duÂnia. Tapi, tiÂdak disertai deÂngan tunjangan kesejahteraan yang memadai. Ingat, hakim juga manusia,†katanya.
Menurutnya, jika hakim diÂberikan gaji yang besar disertai tunjangan yang memadai, maka kemungkinan terjadinya praktik suap akan kecil. Namun, jika sudah diberikan gaji besar tetap saja menerima suap, maka Asep menyarankan hakim seperti itu diberi hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati. “Harus ada konsekuensinya. JaÂngan gaji besar tapi masih teriÂma suap,†tandasnya.
Asep menambahkan, tindaÂkan yang dilakukan Syarifuddin Umar merupakan perbuatan yang mencoreng lembaga peraÂdilan. Asep menyarankan maÂjelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis yang berat untuk hakim Syarifuddin. “Agar memberikan pelajaran dan efek jera kepada para haÂkim,†tandasnya.
Dia tidak memperÂmaÂsaÂlahÂkan gugatan perdata Rp 5 miliar yang diajukan SyarifudÂdin kepada Komisi PemÂbeÂranÂtaÂsan Korupsi. Namun, Asep mengiÂngatÂkan, perbuatan seÂperÂti itu justru akan mempersulit terÂsangka.
“Justru masalah ini akan semakin runyam ke depannya. Yang digugat ini masalahnya lembaga penegak hukum, haraÂpannya sangat tipis,†ucapnya.
Dosen Fakultas Hukum ini meÂÂnilai, kasus suap tak hanya terjadi dalam sektor peradilan. MeÂÂnurutnya, semua lini lemÂbaga pemerintahan saat ini keÂrap membudidayakan praktik suap sebagai senjata ampuh unÂÂtuk menyelesaikan suatu maÂsaÂlah. “Baik jajaran leÂgisÂlatif, ekÂsekutif dan yudikatif saat ini teÂlah familiar dengan virus yang namanya suap,†tanÂdasnya.
rekan-rekannya masih terjalin pada 1998. Sejak itu kebeÂraÂdaÂanÂnya tidak diketahui, dan ThuÂkul dikategorikan sebagai “orang hilangâ€. [rm]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
UPDATE
Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06
Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47