Rosalina Manullang
Rosalina Manullang
RMOL. Dua terdakwa kasus suap pembanguan Wisma Atlet, Mindo Rosalina Manullang dan Muhammad El Idris resmi menjadi terpidana. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 2 tahun 6 bulan penjara untuk Rosa dan 2 tahun penjara untuk El Idris. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Alhasil, JPU mempertimbangkan untuk mengajukan banding.
Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) JoÂhan Budi Sapto Prabowo meÂnegaskan, jaksa pada KPK tengah mendalami putusan hakim PeÂngadilan Tipikor Jakarta yang meÂmvonis Rosa dua tahun enam bulan penjara serta El Idris deÂngan dua tahun penjara.
“Pastinya akan diperÂtimÂbangkan itu. Kita tunggu saja apaÂkah akan banding atau menerima putusan hakim Tipikor,†katanya di Gedung KPK.
Johan mengatakan, tim JPU diÂberi waktu majelis hakim PeÂngaÂdilan Tindak Pidana Korupsi (TiÂpikor) untuk mempelajari putusan itu selama satu minggu dari puÂtusan yang dibacakan pada Rabu (21/9). Namun, Johan mengaku tak mengetahui secara pasti apa yang tengah dipelajari JPU saat ini. “Semua kami serahkan keÂpada pihak jaksa. Biar mereka yang menentukan apakah meÂneÂrima atau tidak,†ujarnya.
Saat pembacaan tuntutan terhadap Rosa di Pengadilan TipiÂkor (8/9), JPU yang terdiri dari Agus Salim, Hendarbeni Sayekti, dan Rachmat Supriady menganÂcam Rosa dengan penjara selama empat tahun.
Sementara El Idris dituntut tiga tahun enam bulan penjara. Tetapi, saat pembacaan vonis kedua terÂdakwa itu di PeÂngaÂdilan TiÂpikor (21/9), majelis hakim memÂberiÂkan hukuman lebih ringan dari tuntutan jaksa. Rosa divonis dua tahun enam bulan, sementara El Idris divonis dua tahun penjara.
Hal itulah yang memicu pihak Indonesian Corruption Watch (ICW) tak habis pikir. ICW berÂpenÂdapat, vonis bagi pelaku kejaÂhaÂtan korupsi harus diberikan seÂberat-beratnya.
Pasalnya, korupsi adalah kejaÂhatan luar biasa di mana vonis yang diberikan harus memÂberiÂkan efek jera. “Bahkan koruptor itu seharusnya dimiskinkan,†kata Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Pengadilan ICW, Febridiansyah.
Menurut Febri, vonis maksimal sebenarnya layak diberikan keÂpada Rosa dan El Idris. Soalnya, kata dia, peran Rosa dan El Idris dalam kasus suap ini cukup besar. Apalagi, lanjut dia, terungkap di persidangan bahwa pemberian fee oleh mereka kepada anggota DPR menimbulkan efek domino berupa suburnya mafia anggaran.
“Vonis rendah untuk Rosa dan El Idris mengecewakan. Para haÂkim di Pengadilan Tipikor diÂharapkan lebih memahami arti korupsi sebagai extraordinary crime,†katanya.
ICW menyayangkan jaksa juga tak membuat tuntutan maksimal untuk keduanya. Padahal, meÂnuÂrut Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, jaksa bisa menuntut maksimal lima tahun penjara. “Artinya, baik jaksa maupun hakim harus memberikan hukuman yang maksimal,†tandasnya.
Ketua KPK Busyro Muqoddas mengungkapkan adanya tren penurunan kualitas putusan haÂkim dalam persidangan kasus koÂrupsi. Busyro menyatakan keÂputusan hakim belakangan ini tak berpihak pada kepentingan rakÂyat. Hal tersebut dikatakan BusyÂro menyikapi putusan terhadap dua terdakwa perkara korupsi WisÂma Atlet, Mindo Rosalima MaÂnulang dan Muhammad El Idris.
“Putusan hakim seperti kehilaÂngan roh saat ini. Seakan-akan puÂtusan hakim itu tidak menÂcerÂminÂkan ideologi hukum,†ujarnya.
Meski begitu, lembaganya mengÂÂhormati majelis hakim PeÂngadilan Tipikor yang menvonis Mindo Rosalina Manulang deÂngan hukuman penjara dua tahun enam bulan dan El Idris selama dua tahun penjara.
“Putusan haÂkim itu, apa pun juga harus diÂhorÂmati. Tentu haÂkim mempunyai paradigma, peÂmahaman, dan penyikapan terÂhaÂdap bukti-bukti,†tandasnya.
Kendati demikian, Busyro kembali mengatakan, idealnya vonis hakim terhadap para pelaku korupsi mencerminkan spirit proÂgresif. Idealnya pula, lanjut dia, putusan hakim tak meÂrontokkan wibawa dan integritas bangsa secara keseluruhan.
Ketika ditanya apakah putusan majelis hakim yang diketuai SuÂwidya itu telah mencerminkan spiÂrit progresif, Busyro enggan menjawabnya secara gamblang. “Saya belum bisa komentar. Saya belum membaca konsiderannya secara keseluruhan,†ucapnya.
Kuasa hukum Rosa, Djufri TauÂfik ketika dijumpai Rakyat MerÂdeka seusai pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor (21/9) belum memutuskan, apakah akan mengajukan banding atas vonis tersebut atau tidak. Dia menamÂbahkan pihaknya akan memÂpeÂlaÂjari terlebih dahulu vonis yang telah diucapkan majelis hakim.
“Kami diberikan waktu untuk mempertimbangkan secara cermat apa yang diputuskan majelis,†katanya.
Tidak Berikan Efek Jera
Marthin Hutabarat, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Marthin Hutabarat menilai, jakÂsa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu segera meÂngaÂjuÂkan banding untuk memberikan hukuman yang lebih berat keÂpada terpidana kasus suap pemÂbangunan Wisma Atlet. SoalÂnya, hukuman dua tahun penÂjara cenderung tidak akan memÂberikan efek jera bagi para peÂlaku korupsi lainnya.
“Saya minta kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi yang lainÂnya. Sehingga, orang yang meÂlakukan praktik korupsi akan berpikir seribu kali. Tentu kita tidak ingin para pelaku koÂrupsi terus merajalela,†katanya.
Menurutnya, hukuman dua tahun penjara terhadap seorang pelaku korupsi tidak bisa ditoÂlelir. Sebab, katanya, ketika menÂjalani masa hukuman, yang bersangkutan tidak akan penuh menjalani masa hukuman selaÂma dua tahun. “Pasti nanti diÂkasih remisi. Nah, kalau begitu sih enteng banget. Karena itu saya dukung apabila jaksa mau banding,†tuturnya.
Marthin menambahkan, perÂkara suap pembangunan Wisma Atlet merupakan salah satu perkara yang tidak bisa diÂpanÂdang sebelah mata. Soalnya, kata dia, perkara tersebut masih menyisakan tanda tanya besar seputar pejabat tinggi yang terlibat dalam kasus tersebut.
“Saya raa nggak mungkin kalau hanya sebatas NazarudÂdin, Rosa kemudian Wafid dan El Idris. Mereka itu siapa? jaÂbatannya apa? Kok petingginya nggak ketangkep,†ujarnya.
Menurutnya, penuntasan kasus ini merupakan pertaruhan citra bagi KPK. Sebab, lanjut dia, kasus ini akan menyeret pejabat tinggi di Kementerian Pemuda dan Olahraga apabila penyidik KPK berani. “Di mata hukum itu kedudukan semua orang sama. Apapun jabatanÂnya, kalau sudah tersangkut huÂkum harus ditindak,†ucapnya.
Politisi Gerindra ini merasa heran dengan sikap KPK yang tak kunjung menemukan pejaÂbat tinggi yang terlibat kasus tersebut. Menurutnya, tindakan yang dilakukan KPK saat ini hanyalah sebatas pencitraan. Sebab, katanya, lembaga superÂbodi itu hanya menjerat goÂloÂngan kelas teri tanpa menyentuh golongan kelas kakap.
“Saya ingatkan, jangan samÂpai hal itu terjadi di KPK. SeÂbab, satu-satunya lembaga peÂnegak hukum yang terpercaya saat ini hanya KPK,†ujarnya.
Maling Ayam Saja Dihukum Maksimal
Marwan Batubara, Direktur Eksekutif LSM IRES
Direktur Eksekutif LSM Indonesian Resources Studies (IRES) Marwan Batubara meÂnilai, rendahnya vonis yang diÂberikan majelis hakim PeÂngaÂdiÂlan Tipikor terhadap dua terÂdakwa kasus suap pemÂbaÂnguÂnan Wisma Atlet, merupakan tindakan yang menciderai rasa keadilan masyarakat. Soalnya, seorang maling ayam saja sering diberikan hukuman yang maksimal.
“Ini jelas perbuatan yang tiÂdak adil. Kalau menyentuh orang kecil maka hukuman yang diberikan menjadi berat. SeÂdangkan, penjahat kelas kaÂkap hanya diberikan hukuman di bawah lima tahun,†katanya.
Menurutnya, putusan ini menÂjadi bukti bahwa lembaga peradilan di Tanah Air memang tidak ada yang beres. Karena itu, Marwan sudah menduga sejak awal bahwa para tokoh yang terlibat dalam kasus ini tidak akan ada yang mendÂapatÂkan hukuman di atas 10 tahun. “Bagaimana mau menjerat pejabat tingginya, kalau ngasih hukuman saja masih setengah hati seperti ini,†ucapnya.
Marwan menambahkan, kaÂsus ini bisa menyeret pejabat tinggi Kementerian Pemuda dan Olahraga. Soalnya, kata dia, segala macam yang dilakukan anak buah dalam konteks kerja, seharusnya diketahui atasannya. “Tapi itu semua tergantung jakÂsanya. Kalau jaksanya tajam dan berani, maka sangat mungÂkin,†tandasnya.
Marwan melanjutkan, bukan hanya JPU yang harus berani dan bersikap tajam terhadap suatu perkara. Menurutnya, peÂnyidik juga mesti bersikap taÂjam. “Kalau sudah menyangkut masalah penguasa, sepertinya menjadi tidak tajam,†ujarnya.
Selain itu, Marwan juga meÂnyoÂroti sikap hakim pada siÂdang vonis Rosa dan El Idris. MeÂnurutnya, kalau jaksanya itu tidak aktif, maka paling tidak hakimnya yang harus aktif. “Kalau keduanya pasif, maka tidak akan terjadi yang namaÂnya pendalaman terhadap suatu kasus. Alhasil, kasus itu hanya akan terhenti sampai kelas teri saja,†tandasnya. [rm]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
UPDATE
Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06
Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47