ilustrasi, Pesawat Boeing 737 Merpati
ilustrasi, Pesawat Boeing 737 Merpati
RMOL. Hari ini Kejaksaan Agung (Kejagung) akan memeriksa bekas Direktur Utama PT Merpati Airlines, Hotasi Nababan, sebagai tersangka kasus korupsi penyewaan pesawat Boeing 737 seri 400 dan 500. Hotasi sudah menyiapkan delapan saksi ahli yang meringankan. Bagaimana sikap Kejagung?
Kejagung, menurut Kepala PuÂsat Penerangan Hukum (KaÂpusÂpenkum) Kejagung Noor Rochmad, sama sekali tidak ciut atas langkah yang dilakukan HoÂtasi. Menurut dia, tersangka kasus apa pun mempunyai hak meÂnyamÂpaikan keberatan.
“Silakan saja, kami tidak kebeÂratan sama sekali,†katanya keÂpada Rakyat Merdeka, kemarin.
Noor menghargai pernyataan terÂsangka, bahwa kasus yang memÂbelit dirinya tidak masuk ranah pidana, melainkan perdata. Tapi, kata dia, Kejagung tetap berÂpendirian, kasus itu terÂmaÂsuk ranah pidana khusus alias korupsi.
“Penyidik tentunya sudah memÂpunyai fakta hukum hasil peÂnyidikan yang mengarah adanya praktik korupsi.â€
Lantas, apa yang sudah disiapÂkan Kejagung menghadapi delapan saksi ahli itu? Noor yang pernah menjadi Kepala KeÂjakÂsaan Tinggi Gorontalo itu meÂngaÂku tidak menyiapkan jurus apa pun. “Ya silakan saja, itu kan upaÂya mereka untuk mewujudkan kebenaran materiil. Kami nggak ada masalah dengan hal itu.â€
Sekalipun tersangka mengaÂjuÂkan delapan saksi ahli yang meÂringankan, Kapuspenkum tetap yaÂkin hal itu takkan mengubah posisi kasusnya.
Menurutnya, pemeriksaan ini bukanlah akhir dari pengusutan kasus. “Toh, pada saatnya nanti hal itu akan diuji pada forum persidangan di pengadilan,â€
Lawrence Siburian, pengacara Hotasi berjanji memenuhi pangÂgiÂlan Kejagung berkaitan dengan pemeriksaan kliennya. Menurut dia, Hotasi takkan datang seorang diri tapi bersama delapan saksi ahli. Pengajuan saksi ahli meÂriÂnganÂkan tersebut untuk mengÂklaÂrifikasi perihal kasus tersebut.
“Kami berpendapat bahwa sewa menyewa tersebut adalah transaksi perdata, tapi dibilang Kejagung murni piÂdana. Sebaiknya unsur-unsur tersebut harus terlebih dahulu diuraikan,†kata Lawrence.
Dalam kaitan itu, dia berharap Jaksa Agung Muda Pidana KhuÂsus (Jampidsus) mendengarkan penÂdapat para saksi ahli untuk memperjelas posisi kasus itu. Dia tetap menilai, kliennya tidak meÂlakukan korupsi dalam peÂnyeÂwaÂan pesawat Boeing 737 dari PT Thirdstone Aircaft Leassing Group (TALG) AS.
“Jadi, kami ingin supaya seÂmuaÂÂnya lancar. Supaya semuaÂnya didengar keterangannya. SeÂmua bukti sudah kita serahkan. SupaÂya semuanya itu bisa cepat selesai seÂhingga tim pemeriksa bisa meÂnyimÂpulkan perkara ini,†tambahnya.
Ketika dikonfirmasi siapa saja nama-nama saksi ahli yang akan diajukan, Lawrence tak bersedia meÂnyebut nama. Yang jelas, meÂreka terdiri atas pakar hukum perÂdata, pakar hukum pidana, dan paÂkar hukum internasional.
“Semua itu dihadirkan agar pihak kejaksaan mendengarkan arti putusan pengadilan di Washington DC, Amerika. Juga arti sebenarnya dari putusan pengadilan kepailitan di Chicago. Jadi, biarlah ahli yang ngomong.â€
Sekadar mengigatkan, dalam kasus ini ada dua tersangka, yakni bekas Dirut PT Merpati Hotasi NaÂbaban dan bekas Direktur KeÂuangan Merpati Guntur Aradea. Korps Adhyaksa belum meneÂtapÂkan tersangka baru.
Hotasi sudah dicekal ke luar neÂgeri oleh Ditjen Imigrasi selaÂmÂa enam bulan ke deÂpan. PenÂceÂkaÂlan dilakukan berÂdasarkan surat perintah nomor reÂgister 233/D/DSP.3/09/2011 tangÂgal 12 September 2011.
Kejagung Jangan Terjebak Euforia
Herman Herry, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR HerÂman Herry meminta KejakÂsaan Agung bisa menunjukkan proÂfesionalisme dan objektiÂviÂtas dalam penyidikan suatu perÂkara. Kejagung jangan sampai terjebak dalam euforia yang menÂdengungkan “pemÂbeÂranÂtasan korupsi dijadikan penÂcitraan semata’’.
“Kejagung harus berani memÂbÂÂuka secara fair apakah kaÂsus tersebut betul-betul meÂmiliki fakta hukum untuk diÂbawa ke dalam perkara koÂrupsi,†katanya.
Herman menambahkan, jika kasus ini tergolong perkara koÂrupsi, maka sebaiknya KejaÂgung berani menyebutkan seÂcaÂra rinci kerugian negara yang timÂbul akibat perkara ini. PerÂkara ini bukanlah perkara korupsi, tapi hanya kesalahan dalam berbisnis.
“Dalam operasional perÂuÂsaÂhaan telah terjadi risiko bisnis yang timbul akibat kebijakan menyewa pesawat dengan memÂbayar uang muka yang diÂperÂmaÂsaÂlahkan itu. Alhasil, ini buÂkanÂlah perkara korupsi,†tandasnya.
Jika memang benar yang diÂlaÂkukan Hotasi tidak tergolong korupsi, sebaiknya Jaksa Agung Basrief Arief segera mengÂhenÂtikan kasus tersebut, sebagai bukÂti Korps Adhyaksa telah membangkitkan reformasi di internal kejaksaan.
“Penghentian perkara karena tidak cukup bukÂti adalah suatu prestasi juga,†tambahnya.
Politisi PDI Perjuangan ini meminta Kejagung menangani kasus ini tanpa tekanan dari pihak manapun. Di samping itu, dia juga berÂharap Kejagung tak memakÂsakan perkara itu masuk perkara korupsi.
“Sekali lagi, Kejagung harus pintar dalam memilah kasus. Kalau salah katakan salah, kalau benar harus bilang benar.â€
Mengenai upaya peÂmangÂgilan saksi ahli oleh tersangka, Herman menilai langkah yang dilakukan Hotasi tepat. SeÂbeÂnarnya, justru kejaksaanlah yang mempunyai kewajiban meminta pendapat saksi ahli dalam penanganan penyidikan kasus tersebut.
“Itu sah-sah saja. Kejagung harus mengaÂkoÂmoÂdasi perminÂtaan si tersangka, apalagi tuduÂhan yang dilanÂcarÂkan ialah perÂkara korupsi.â€
Banyak Direksi BUMN Tak Tahu Aturan Main
Johnson Panjaitan, Direktur Adkum AAI
DIREKTUR Advokasi dan Bantuan Hukum Asosiasi AdÂvokat Indonesia (Adkum AAI), Johnson Panjaitan, meÂnilai pengusutan kasus PT MerÂpati memakan waktu sangat lama. Seharusnya, Kejaksaan Agung sudah dari dulu menaÂngani perkara korupsi tersebut.
“Ini bukti bahwa Kejagung masih lelet menangani suatu perkara. Perkara itu seÂbeÂnarnya sudah lama, sejak tahun 2006. Kenapa baru sekarang diÂlakukan penyidikan,†katanya.
Menurut dia, lambannya KeÂjagung mengusut tuntas perkara itu disebabkan tidak adanya figur pemimpin yang tegas di Kejagung. Lembaga penegak hukum ini juga tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai.
“Kalau tak ada pembenahan, maka Kejagung bisa menjadi sarang mafia huÂkum. Karena itu, masyarakat kita saat ini lebih percaya KPK keÂtimbang Kejagung,†ucapnya.
Johnson berpendapat, praktik korupsi di tubuh badan usaha miÂlik negara (BUMN) saat ini banyak terjadi karena jajaran direksi yang kurang mengerti rule of the game alias aturan main menjalankan perusahaan. HasilÂnya, BUMN dijadikan ATM serta sapi perah para elite politik.
“Kalau sudah nggak mengÂhaÂsilkan lagi, maka BUMN itu diÂjual kepada pengusaha. Hasil jualÂnya bukan untuk rakyat tapi masuk kantong pribadi,†ujarnya.
Dia mengingatkan, untuk memÂberantas korupsi di ruang lingkup BUMN tak hanya seÂkaÂdar penegakan hukum terhadap para tersangka korupsinya saja. Akan tetapi, katanya, dibuÂtuhÂkan juga dengan reformasi peÂngelolaÂan BUMN yang komÂprehensif.
Misalnya, lanjut dia, deÂngan bekerja sama dengan KPK. “Dan ingat ya, harus diÂmaÂsukÂkan pula prinsip-prinsip dan etiÂka anti korupsi dalam berÂbisnis. Jangan hanya menÂjadikan BUMN sebagai sapi perah.â€
Pemerintah, menurut dia, harus mengambil sikap tegas deÂngan cara membersihkan lingÂkungan bisnis yang menyuÂburkan praktik KKN. Sebab, saat ini praktik KKN meruÂpaÂkan cara berbisnis yang sudah lumrah dan harus dilakukan kareÂna para kompetitornya juga melakukan hal yang sama.
“Kalau bukan pemerintah yang mendesak, maka siapa lagi yang harus menyerukan perang terhadap korupsi.†[rm]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
UPDATE
Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06
Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47