Berita

X-Files

Bekas Dua Bos Merpati Belum Ditahan Kejagung

Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Sewa Pesawat
JUMAT, 19 AGUSTUS 2011 | 09:15 WIB

RMOL. Kejaksaan Agung hingga kemarin belum menahan dua tersangka kasus dugaan korupsi sewa pesawat oleh PT Merpati Airlines.
 
Kepala Pusat Pe­ne­rangan Hu­kum (Kapus­pen­kum) Kejaksaan Agung (Keja­gung) Noor Rach­mad beralasan, ditahan atau tidak ditahannya dua tersangka kasus ini, yakni bekas Direktur Utama Merpati Hotasi Na­baban dan be­kas Direktur Ke­uangan Merpati Guntur Aradea, sepenuhnya me­rupakan ke­we­nangan penyidik perkara tersebut.

“Independensi penyidik untuk menetapkan penahanan atau tidak, tak bisa dipengaruhi pihak lain,” katanya, kemarin.


Menurut Noor Rachmad, per­tim­bangan mendasar penyidik tidak langsung melakukan pena­hanan adalah niat baik dan ko­mit­men para tersangka untuk mem­bantu menuntaskan perkara ter­sebut. Selain itu, lanjutnya, pe­nyi­dik juga yakin kedua tersangka tidak akan menghilangkan barang bukti atau kabur ke luar negeri selama pengusutan kasus tersebut berjalan.

Seorang jaksa di lingkungan Jaksa Agung Muda Pidana Khu­sus (Jampidsus) me­ng­in­for­ma­si­kan, pasca penetapan status ter­sangka kasus penyewaan pesawat ini, jajaran Jampidsus berkoor­dinasi dengan jajaran Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) untuk memantau kebe­radaan Hotasi Nababan dan Guntur Aradea. Pemantauan itu, lanjut sumber ini, dilakukan intel-intel kejaksaan.

Namun, Hotasi Nababan hing­ga kemarin masih enggan bicara mengenai kasus dugaan korupsi yang menjeratnya. Dikonfirmasi wartawan melalui telepon selu­lernya, Hotasi mengatakan, saat ini dia hanya berusaha menjalani dan mematuhi prosedur hukum yang berlaku.

Yang pasti, menurut K­a­pus­pen­kum Kejaksaan Agung Noor Rachmad, bekas Direktur Utama Merpati Hotasi Nababan dan be­kas Direktur Keuangan Merpati Guntur Aradea sudah resmi men­jadi tersangka kasus sewa pe­sawat tersebut sejak hari Selasa lalu, (16/8).

Penetapan status tersangka dilaksanakan pasca Jaksa Agung Muda Pidana Khusus me­ner­bit­kan Surat Perintah Penyidikan (sprint DIK) bernomor 95/F.2/fd.1/07/2011 tertanggal 7 Juli 2011. “Sebelum ditetapkan seba­gai tersangka, keduanya sudah pernah dipanggil dan dimintai keterangan sebagai saksi oleh penyidik Jampidsus,” ujar Noor.

Menurut Noor, berdasarkan keterangan Hotasi Nababan dan Guntur Aradea, keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti surat, pe­nyidik menyimpulkan bahwa dua bekas pejabat pada perusa­haan maskapai penerbangan ne­gara itu, layak ditetapkan sebagai ter­sangka. “Ada bukti-bukti yang me­nunjukkan dugaan keterli­ba­tan keduanya,” tandas dia.

Noor menambahkan, sampai kemarin proses penyidikan kasus tersebut masih berjalan. “Kami masih mengembangkan penyi­di­kan kasus tersebut. Tidak tertutup kemungkinan, tersangka perkara tersebut akan bertambah jum­lah­nya,” ujar dia.

Sementara itu, menurut Di­rektur Utama PT Merpati Sar­djo­no Djoni, keputusan menyewa pesawat itu adalah kebijakan korporasi atau perusahaan, bukan pribadi. Menurutnya, yang patut dipahami dalam kasus ini adalah, proses pengajuan penyewaan pe­sawat didasari kebutuhan Merpati yang saat itu tidak punya uang.

“Kami butuh pesawat, tapi ti­dak punya uang, makanya di­pu­tuskan untuk menyewa. Merpati selalu merujuk pada kebijakan korporasi, bukan kebijakan per­orangan. Karena itu, kami me­ngikuti saja proses hukum yang berjalan,” ucapnya.

Lantaran itu, Sardjono menga­ta­kan, Direksi Merpati memu­tus­kan untuk menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirdstone Air­caft Leassing Group Inc (TALG) Amerika Serikat pada 2006 se­harga 500 ribu Dolar Amerika Se­rikat per pesawat. Namun, se­telah pembayaran dilakukan, pesawat yang disewa tidak kunjung di­terima Merpati. Mestinya lanjut dia, Merpati menerima dua pe­sawat pada Januari 2007. “Ini sudah disampaikan kepada pihak Kejaksaan Agung,” katanya.

Menurut Direktur Penyidikan pada Jampidsus Jasman Pand­jai­tan, ada indikasi kerugian negara sebesar 1 juta Dolar Amerika Seri­kat atau sekitar Rp 9 Miliar karena Merpati menyewa sejum­lah pesawat, tapi pesawat-pesa­wat itu tidak datang. Dia me­nambahkan, jaksa berupaya agar uang 1 juta Dolar AS itu bisa kem­bali ke kas negara.

Kejaksaan Agung Sering Ragu-ragu Tetapkan Tersangka
Ruhut Sitompul, Anggota Komisi III DPR

Kebijakan soal penahanan tersangka menjadi hal paling mem­bedakan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) de­ngan lembaga penegak hu­kum lain seperti Kejaksaan Agung.

“Itulah bedanya KPK dengan kejaksaan atau kepolisian. Pe­ne­tapan status tersangka oleh KPK diambil secara sangat hati-hati. Begitu jadi tersangka, seseorang langsung ditahan KPK,” ujar anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul.

Menurut Ruhut, penetapan status tersangka oleh kejaksaan dan kepolisian yang sering tidak diikuti proses penahanan, justru memberi kesan bahwa ke­jaksaan dan kepolisian ragu-ragu menjadikan seseorang se­bagai tersangka suatu perkara.

Banyaknya tersangka yang masih bebas berkeliaran, lanjut Ruhut, bisa menjadi celah bagi oknum kejaksaan atau oknum kepolisian untuk memetik ke­untungan pribadi. “Saya pernah menerima laporan dari kepala daerah dan kota yang dijadikan tersangka. Mereka mengeluh, aki­bat status tersangka yang di­sandangnya, mereka jadi seperti ATM berjalan bagi oknum pe­negak hukum nakal,” katanya.

Ruhut pun sangat menya­yang­kan hal tersebut. Untuk itu, politisi Partai Demokrat ini mengingatkan, prosedur dan mekanisme penetapan tersang­ka dan penahanan tersangka mesti diperjelas.

“Dalam kasus Merpati ini con­tohnya, kalau telah ada  ter­sangka, ya sebaik­nya ditahan saja. Tapi kalau jaksa tidak be­rani menahan tersangka, maka jangan sekali-kali menjadikan seseorang sebagai tersangka. Kasihan kan, nasib orang jadi permainan,” tegasnya.

Tetapi, Kepala Pusat Pene­ra­ngan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rachmad beralasan, per­timbangan mendasar penyidik tidak langsung melakukan pe­na­hanan adalah niat baik dan komitmen para tersangka untuk membantu menuntaskan per­kara tersebut. Selain itu, lan­jut­nya, penyidik juga yakin kedua tersangka tidak akan meng­hi­langkan barang bukti atau kabur ke luar negeri selama pengu­su­tan kasus tersebut berjalan.

Mesti Logis Supaya Rakyat Bisa Percaya
Patra M Zein, Bekas Ketua YLBHI

Menurut bekas Ketua Yaya­san Lembaga Bantuan Hukum In­donesia (YLBHI) Patra M Zein, ada kriteria khu­sus dalam mem­­per­tim­bangkan apakah ter­sangka perlu ditahan atau tidak.

Otoritas dalam mem­per­tim­bangkan kriteria khusus terse­but, sehingga ada keputusan untuk menahan atau tidak me­na­han tersangka, lanjut Patra, memang berada di tangan pe­nyidik. “Dengan segala konse­kuensinya, penyidik mem­pu­nyai hak menentukan jalannya pengusutan perkara,” ujar Patra, kemarin.

Praktisi hukum ini menga­ta­kan, keputusan para penyidik untuk tidak menahan tersangka, sesungguhnya bisa dipahami. Sepanjang didasari pertimba­ngan hukum yang logis, ke­pu­tusan tidak menahan tersangka bisa diterima.

“Biasanya pertimbangannya meliputi, tersangka sakit dan perlu pengobatan intensif. Ter­sangka bisa juga dinilai koo­pe­ratif, tidak akan melarikan diri dan tidak akan menghilangkan barang bukti. Atau untuk kasus-kasus tertentu, ada juga yang ti­dak ditahan karena belum ada­nya izin pemeriksaan dari pre­siden,” urainya.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut, menurutnya, dapat digunakan penyidik untuk tidak menahan tersangka. “Saya pikir hanya itu yang menjadi patokan penyidik. Pertimbangan di luar itu, tentu harus dipikirkan dan diputuskan secara cermat. Ini tentu agar tidak timbul pena­f­siran negatif atas keputusan ti­dak menahan seorang ter­sang­ka,” katanya.

Untuk itu, sarannya, setiap ke­putusan penyidik tidak me­nahan tersangka, hendaknya se­lalu disertai alasan yang konkret dan jelas. “Supaya tidak mem­buat masyarakat bertanya-ta­nya, kok tersangka yang ini di­tahan, tapi tersangka yang lain bisa bebas,” tandasnya.

Menurut Kepala Pusat Pe­ne­rangan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rachmad, ditahan atau tidak ditahannya dua ter­sangka kasus ini, yakni bekas Direktur Utama Merpati Hotasi Nababan dan bekas Direktur Keuangan Merpati Guntur Ara­dea, sepenuhnya merupakan kewenangan penyidik perkara tersebut.  “Independensi pe­nyi­dik untuk menetapkan pena­hanan atau tidak, tak bisa di­pengaruhi pihak lain,” katanya, kemarin.   [rm]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Program Belanja Dikebut, Pemerintah Kejar Transaksi Rp110 Triliun

Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07

OJK Ingatkan Risiko Tinggi di Asuransi Kredit

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48

Australia Dukung Serangan Udara AS terhadap ISIS di Nigeria

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32

Libur Natal Pangkas Hari Perdagangan, Nilai Transaksi BEI Turun Tajam

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17

Israel Pecat Tentara Cadangan yang Tabrak Warga Palestina saat Shalat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03

Barzakh itu Indah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38

Wagub Babel Hellyana seperti Sendirian

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21

Banjir Cirebon Cermin Politik Infrastruktur Nasional Rapuh

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13

Jokowi sedang Balas Dendam terhadap Roy Suryo Cs

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06

Komdigi Ajak Warga Perkuat Literasi Data Pribadi

Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47

Selengkapnya