RMOL. KPK mulai mengkaji dugaan penggelembungan harga pesawat MA 60 yang dibeli PT Merpati Nusantara Airlines. Sebelumnya, Merpati dilaporkan membeli 15 pesawat buatan Cina itu dengan dugaan mark up 46 juta dolar AS.
Menurut Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo, KPK sedang mengkaji laporan FeÂderasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara Bersatu (FSPBUMNB) mengenai dugaan mark up pembelian pesawat bikinan Xian Aircraft itu.
Apabila ditemukan mark up, lanjutnya, tanpa segan KPK akan memÂproÂsesnya secara hukum. “Sedang kami telaah untuk meÂngetahui benar tidaknya duÂgaan mark up tersebut,†katanya, di JaÂkarta, kemarin.
Meski begitu, Johan belum bisa memastikan berapa lama wakÂtu yang dibutuhkan untuk menelaah laporan Federasi SeriÂkat Pekerja Badan Usaha Milik NeÂgara BerÂsatu yang diterima KPK pada KaÂmis (12/5) lalu. “Pastinya memaÂkan waktu. Tidak ada yang cepat dalam proses huÂkum,†ucapnya.
Masalah jatuhnya pesawat MA 60 milik maskapai penerbangan MerÂpati Nusantara Airlines (MNA) di Kaimana, Papua Barat beberapa hari lalu bertambah peÂlik. Berbagai kalangan menilai, keÂputusan pembelian pesawat buatan Cina itu tidak tepat dan terÂjadi penggelembungan harga.
Alhasil, FSPBUMNB menÂdaÂtaÂngi Gedung KPK untuk meÂminÂta lembaga superbodi itu meÂnguÂsut dugaan mark up tersebut. “Kami melaporkan dugaan
mark up ini,†kata Ketua Koordinator FSPBUMNB FX Arief Puyuono saat melapor ke KPK.
Mereka mensinyalir terjadi kerugian negara sebesar 2,6 juta dolar AS untuk pembelian setiap unit pesawat MA 60 itu. BerÂdaÂsarÂkan perencanaan pada 2005, Merpati membeli 15 unit MA 60 seÂharga 11,6 juta dolar AS per peÂsawat. Pada 2009 kembali diÂajukan proposal yang menaikkan harga pesawat menjadi 14,6 juta dolar AS per unit. “Padahal, peÂsawat ini dikenal yang termurah di kelasnya,†ujar dia.
Menurut Arief, pesawat MA 60 dibandrol dengan harga 11 juta dolar AS per unit. Tetapi, diÂgeÂlemÂbungkan menjadi 14,6 juta dolar AS. Untuk itu, FSPBUMNB akan menyampaikan data tambahan kepada KPK. “Zimbabwe dan NeÂpal saja, hanya membeli seÂharÂga 10,5 juta dolar AS, itu sudah lengkap maintenance dan spaÂrepartnya serta training krunya. Sedangkan Indonesia membeli MA 60 seharga 14,6 juta dolar AS yang tadinya hanya 11 juta dolar AS,†tandasnya.
Menurut Arief, pengadaan pÂeÂsaÂwat ini awalnya untuk mengÂganÂtikan armada Merpati Airlines yang sudah tua. Pembelian peÂsaÂwat ini menggunakan pinjaman dari Bank Exim Cina dengan pola pembayaran selama lima tahun oleh jaminan Pemerintah InÂdoÂneÂsia. Namun, Merpati tidak memÂbaÂyar angsuran sehingga dilakÂuÂkan skema penerusan pinjaman atau
Subsidiary Loan Agreement (SLA).
Sampai 2008, Merpati baru mendapat dua pesawat dengan cara disewa. Namun, kedua pesaÂwat ini tetap dikategorikan seÂbaÂgai pengaÂdaan pesawat baru yang dibeli. Dari mekanisme ini, FeÂdeÂrasi Pekerja meÂnemukan duÂgaÂan penyimÂpaÂngan karena peÂsawat yang sudah disewa tetap dibeli seÂharga 11,6 juta dolar AS per unit, selain duÂgaan
penggelembungan harga.
Selain itu, Arief menyebut pesawat MA 60 tidak mempunyai sertifikat dari Federal Aviation Administration (FAA) sebagai tanda kelayakan terbang.
Menanggapi laporan tersebut, Direktur Utama Merpati NuÂsaÂnÂtara Airlines, Sardjono Jhony Tjitrokusumo mengatakan, pemÂbelian 15 pesawat MA 60 meruÂpaÂkan program yang dibiayai Kementerian Keuangan. PemÂbiaÂyaan melalui sistem SLA ini menÂcapai Rp 2,17 triliun.
SLA adalah perjanjian peneÂruÂsan pinjaman antara Pemerintah Indonesia, dalam hal ini KeÂmenÂterian Keuangan dengan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah atau PemeÂrinÂtah Daerah sehubungan deÂngan proyek yang dilaksanakan BUMN/BUMD/PEMDA, dan dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri yang diteÂruspinjamkan (
two step loan). “Dana ini bukan cash, melainkan berupa 15 pesawat,†katanya.
Menurut dia, jika diperkirakan, harÂga pesawat itu sekitar 11 juta dolar AS per unit. Saat itu, Jhony meÂnambahkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih sekitar Rp 10.000, seÂhingga nilai pesawat itu sekitar Rp 110 miliar.
Keputusan pembelian MA 60, lanjut Sardjono, sudah keluar sÂejak 2006. Saat itu, Merpati meÂnandatangani kontrak dengan Xi’an Aircraft melalui pemÂbiaÂyaan Bank of China. Namun, pemÂbelian dua pesawat ini baru dikemas dalam daftar proyek 2007. Karena saat itu pemÂbiaÂyaÂanÂnya belum ada, Merpati meÂngajukan pembiayaan kepada peÂmerintah melalui SLA.
Setelah SLA ini disetujui, peÂngaÂdaan MA 60 dimulai pada Desember 2010 dengan nilai konÂtrak sebanyak 15 pesawat. Saat ini, pesawat baru dikirim 13 unit. “Sisa dua pesawat akan dikirim pada 19 dan 20 Mei ini,†katanya.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas proyek ini? Jhony meÂngatakan, pengambilan kepuÂtuÂsan pembelian ini dilakukan berÂjenjang dari direksi, kemudian diÂajukan ke dewan komisaris MerÂpati. Lalu, berlanjut ke KeÂmenÂteÂrian BUMN, Kementerian KeÂuangan, dan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan NaÂsional (Bappenas).
Diteken Sebelum DPR SetujuHarry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI DPRPengadaan pesawat MA 60 oleh PT Merpati Nusantara AirÂlines, dinilai Wakil Ketua KoÂmisi XI DPR Harry Azhar Azis tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan.
Pasalnya, pembiayaan untuk peÂngadaan pesawat tersebut yang disepakati melalui mekaÂnisÂme perjanjian penerusan pinÂjaman (
Subsidiary Loan AgreeÂment/SLA), tidak pernah dibaÂhas bersama Komisi XI.
â€Kalau mau ada pemberian SLA, mestinya ada persetujuan dari komisi terkait. Seingat saya, tidak pernah ada perÂsetuÂjuan tÂentang itu di Komisi XI yang menangani anggaran,†katanya.
Harry juga mempertanyakan kesepakatan pengadaan pesaÂwat tersebut, antara Pemerintah dan Merpati pada tahun 2005. Soalnya, kata dia, pengadaan itu belum pernah dibahas dan diseÂtujui DPR.
“Kami akan memÂperÂtaÂnyakan kembali, mengapa konÂtrak sudah lebih dulu dari perÂsetujuan DPR. Juga akan kami bahas sisi bisnis dari peÂngaÂdaanÂnya, apakah ada keÂmungÂkinan rekayasa keuangan,†ujarnya.
Harry menambahkan, dalam alur proses pembelian Merpati disebutkan, pemerintah telah menandatangani naskah pemÂbeÂlian Merpati pada 11 Juni 2010. Sementara persetujuan DPR melalui Badan Anggaran baru pada 30 Agustus 2010. “TerÂkesan kami terpaksa meÂnyeÂtujui, meskipun ada ketiÂdakÂsinkronan di sini,†ujarnya.
Saking tak percayanya terhaÂdap pembelian pesawat MA 60, dia akan meminta Badan PeÂmeÂriksa Keuangan (BPK) meÂlakuÂkan audit investigasi. Soalnya, keterangan yang diberikan piÂhak Merpati dalam rapat dengar pendapat (RDP) belum meÂmuasÂkan.
“Ada indikasi meÂlanggar Undang-Undang, kaÂrena MerÂpati dan pemerintah lebih daÂhulu bertindak sebelum diÂseÂtujui,†ujarnya.
Harry menambahkan, KoÂmiÂsi XI akan menghimpun tujuh poin kesimpulan, yang akan ditanggapi Merpati Nusantara Airlines. Selain itu, lanjut dia, piÂhaknya akan bertanya kepada Kementerian Keuangan tentang SLA yang tidak dibahas, bahÂkan belum mendapat perÂsetuÂjuan Komisi XI.
“Mengacu pada undang-unÂdang, seharusnya ada konsultasi dan persetujuan DPR terkait penggunaan uang negara yang bersumber dari APBN,†teÂgasnya.
Cari Duit Atau Layani Daerah Terpencil? Boyamin Saiman, Koordinator LSM MAKIKoordinator LSM MaÂsyaÂrakat Anti Korupsi IndoÂnesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, kecelakaan pesawat MA 60 adalah buntut dari krisis finansial yang dialami PT MerÂpati Nusantara. Merpati yang miskin subsidi, menjadi repot memastikan perawatan pesawat MA 60 yang juga pesawat tipe ekonomis ini.
“Masalah utamanya adalah Merpati punya masalah keÂuangan. Pesawat Merpati sudah tua-tua lalu mempersiapkan peÂngadaan pesawat baru. AkhirÂnya, Merpati jalan-jalan menÂcari pesawat, tapi mampunya itu,†ujarnya.
Selain itu, krisis ekonomi berimplikasi panjang. TermaÂsuk perhatian terhadap karyaÂwan yang kurang memadai, diÂseÂbut-sebut memebuat kinerja mereka dalam perawatan pesaÂwat tidak serius. “Misalnya gaji karyawan tak lancar, itu berÂpengaruh pada kondisi. PilotÂnya capek tidak? Dicek tidak sudah bekerja berapa jam? ApaÂkah perawatan betul-betul suÂdah dijalankan sesuai list yang ditetapkan,†katanya.
Untuk memastikan penerÂbangan yang aman, menurut dia, harus ada kepastian meÂnyangkut kondisi finansial MerÂpati. “Kita harus kembali berÂtanya kepada pemilik Merpati, tujuannya untuk cari duit atau meÂlayani daerah terpencil. KaÂlau Merpati disuruh melayani daerah, pemerintah harus konÂsekuen,†tandasnya.
Boyamin menduga, pesawat MA 60 yang jatuh pada Sabtu (7/5) lalu di Perairan Kaimana, PaÂpua Barat, merupakan pesaÂwat uji coba Cina. “Spesifikasi dan performa pesawat harus teruji di lapangan. MA 60 ini seperti uji coba karena di Cina hanya sedikit, dan digunakan di negara-negara berkembang,†katanya.
[RM]