RMOL. Menteri Agama Suryadharma Ali dinilai tidak bisa menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. Sebab, tidak bersikap netral dan objektif dalam mencari solusi dari pemecahan masalah tersebut.
“Menurut pengamatan saya, Menteri Agama telah melakukan pemÂbiaran dan pembenaran terÂhaÂdap aksi-aksi massa yang berÂsifat anarkis. Bahkan, menÂduÂkung berbagai surat keputusan daeÂrah terkait pembubaran AhÂmaÂdiyah. Dua poin tersebut meÂnunÂjukkan Menteri AgaÂma tidak objektif,†ujar bekas AngÂgota Dewan Pertimbangan PreÂsiden (Wantimpres), Adnan BuÂyung Nasution, kepada Rakyat MerÂdeka di Jakarta, Selasa (22/3).
Seperti diketahui, Selasa (22/3) pagi, Kementerian Agama mengundang Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan sejumlah piÂhak terkait lainnya untuk mencari jalan keluar konflik Ahmadiyah di sejumlah daerah. Namun, piÂhak JAI mengaku tak bisa meÂmeÂnuhi undangan tersebut, karena meÂnilai Suryadharma Ali tidak objektif.
“Tentu kami sangat meÂnyeÂsalÂkan kalau JAI memutuskan tidak hadir dalam forum dialog ini,†ujar Suryadharma Ali saat jumpa pers sebelum dialog dimulai di Kantor Kementerian Agama, JaÂkarta Pusat.
Menurut Ketua Umum PPP yang akrab disapa SDA itu, haÂrusÂnya forum ini dimanfaatkan dengan baik oleh JAI. KetiÂdakÂhadiran JAI ditakutkan meÂnimÂbulkan spekulasi yang tidak baik untuk penyelesaian masalah JAI.
“Kalau mereka tidak hadir bisa saja, dipahami (masyarakat) meÂmiliki itikad kurang baik dalam rangka menyelesaikan secara berÂsama masalah JAI yang berÂkemÂbang di Tanah Air,†tegasnya.
Adnan Buyung selanjutnya meÂngatakan, pernyataan SDA itu saÂngat disesalkan. Seharusnya tidak perlu ngomong seperti itu. Ini menunjukkan tidak serius menÂcari solusi menghadapi perÂsoalan Ahmadiyah.
“Pada saat kampanye, dia perÂnah menyatakan akan memÂbuÂÂbarkan Ahmadiyah. Jadi, waÂjar saat terpilih menjadi peÂjabat, lalu melakukan politik pembiaran terÂhadap AhmaÂdiyah,†papar peÂngacara senior ini.
Berikut kutipan selengkapnya:Menurut Anda solusi apa yang paling tepat untuk menyelesaikan persoalan ini?Pertama, negara harus seÂmiÂnimal mungkin dalam menÂcamÂpuri persolan agama. Jika terjadi maÂsalah terkait agama, sebaiknya perÂsoalan itu diselesaikan peÂngadilan.
Kedua, negara hanya diperÂkeÂnankan membuat undang-undang yang melindungi kepentingan umum dan hak asasi manusia dalam menjalankan agama.
Bagaimana dengan Undang-undang tentang PNPS?Undang-undang nomor 1 TaÂhun 1965 tentang Program NaÂsional Pengembangan Standar (PNPS) merupakan bentukan laÂma. Undang-undang itu tidak bisa digunakan lagi di zaman seÂkaÂrang, karena undang-undang terÂsebut dibuat untuk memiÂniÂmaÂlisasi peran PKI.
Kalau Surat Keputusan BerÂsaÂma Tiga Menteri ?SKB juga tidak dapat dijadikan legitimasi. Terlebih, SKB terÂsebut telah disalahgunakan dan suÂdah diputarbalikkan.
Memang bagaimana penafÂsiran SKB yang Anda pahami?Sebagai saksi sejarah, saya saÂngat memahami jiwa dan seÂmaÂngat pembentukan SKB. SeÂbeÂnarÂnya, SKB dibuat untuk melinÂdungi umat Ahmadiyah. Mereka daÂpat menjalankan ibadah dan berÂbagai kegiatan keagamaan, naÂmun tidak boleh mensiarkan agaÂma tersebut di luar lingkungan mereka.
Jadi, kesalahan penafsiran ini sudah tidak dapat dibiarkan?Betul. Kalau hal ini dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi kaum mayoritas. Kaum maÂyoÂritas nantinya bisa semÂbaÂrangÂan menyerang pihak minoritas lainÂnya. Tinggal tunggu giliranÂnya saja.
Tapi Menteri Agama kan sudah membuka pintu dialog?Kalau betul-betul ingin melaÂkuÂkan dialog, maka Menteri AgaÂma harus melakukan dialog yang komÂprehensif dari berbagai eleÂmen masyarakat. Jadi, jangan keÂmenterian itu yang menyeÂlengÂgaÂraÂkan. Sebab akan menjadi bias.
Maksudnya menggunakan mediator ?Betul. Misalnya, Menteri AgaÂma meminta bantuan Ilmu PeÂngeÂtahuan Indonesia (LIPI) sebagai institusi yang objektif dan netral. Kemudian, LIPI mengundang sejumlah pihak seperti Kemenag, Kementerian Dalam Negeri (KeÂmendagri), Kementerian KoorÂdiÂnator Politik, Hukum dan KeaÂmanan (Kemenko Polhukam), dan berbagai lembaga swadaya maÂsyarakat. Bukan sebatas meÂngunÂdang pihak Ahmadiyah saja.
Tahun ini, DPR berencana memÂbuat Undang-undang tenÂtang Kerukunan Antar Umat BeÂragama, apakah hal itu dapat menjadi solusi?Menurut saya bisa. Namun, Pemerintah dan DPR harus terÂlebih dahulu mencabut Undang-unÂdang Nomor 1 Tahun 1965 dan SKB.
Jadi, berbagai persoalan masaÂlah keagamaan diselesaikan meÂlalui pengadilan, tidak lagi diÂpolitisasi.
Dalam persoalan agama tugas neÂgara hanya sebatas menjaga keÂamanan dan ketertiban dalam maÂsyarakat, biarkan tiap agama menÂjaga kerukunan dan integÂritasÂnya masing-masing. Negara tiÂdak boleh membiarkan pihak maÂÂyoritas dan minoritas saling meÂÂnyerang.
Menurut Anda, poin apa yang tidak boleh dilanggar dalam undang-undang itu?Hak asasi untuk kenyakinan dan beragama, merupakan hak yang tidak bisa dicabut. Jadi, kaÂlaupun ada undang-undang yang dibuat untuk membatasi hal itu, unÂdang-undang tersebut harus berÂtujuan untuk melindungi orang lain.
[RM]