ilustrasi, Pembangunan Gedung DPR
ilustrasi, Pembangunan Gedung DPR
RMOL.KPK masih enggan memantau pembangunan gedung baru DPR, kendati kalangan LSM mencurigai biaya konsultasi pembangunan itu mencapai Rp 14,5 miliar. KPK baru akan bergerak setelah ada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menurut Wakil Ketua KPK BiÂÂdang Pencegahan MochamÂmad Jasin, pihaknya tak mau terburu-buru memantau langsung pembangunan gedung bermodal Rp 1,138 triliun itu.
“Idealnya, ada audit BPK terÂlebih daÂhuÂlu terhadap pelakÂsaÂnaÂan pengadaan jasa desain geÂdung tersebut. Dari hasil audit BPK ini, apakah ada indikasi peÂlanggaran atau tidak, baru peÂnegak hukum meÂninÂdakÂlanÂjutiÂnya,†kata dia lewat SMS, kemarin.
Pihak BPK juga belum bisa meÂngambil sikap saat ditanya audit pembangunan geÂdung tersebut. “Pembangunan geÂdung masih dalam tahap tenÂder atau belum melakukan pemÂbangunan fisik, sehingga kami beÂlum bisa mengambil sikap,†kata Kepala Humas dan Luar Negeri BPK, Bahtiar Arif kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Meski begitu, Bahtiar berjanji akan memberikan informasi apaÂbila BPK melakukan audit pemÂbangunan gedung baru DPR. “Kami harus koordinasi dulu deÂngan pimpinan, apakah patut untuk diaudit. Secepatnya akan saya kabari,†ucapnya.
Meski KPK dan BPK belum meÂngendus aroma korupsi, tujuh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada Rabu (16/3) mendaÂtaÂngi Gedung KPK, meminÂta lembaga superbodi itu segera mengawasi pembagunan mega proyek tersebut. Ketujuh LSM itu ialah Indonesia Corruption Watch (ICW), Lingkar Madani Untuk InÂdonesia (LIMA), Forum MaÂsyaÂrakat Peduli Parlemen InÂdonesia (FORMAPPI), Komite PeÂmilih Indonesia (TePI), IndoÂnesia Budget Center (IBC), TransÂparency InterÂnational Indonesia (TII) dan SuÂgeng Sarjadi SynÂdicate (SSS).
Peneliti Indonesia Budget CenÂter, Roy Salam berharap, perÂnyaÂtaÂan Jasin itu hanya ucapan norÂmaÂtif. Soalnya, Komisi yang diÂpimpin Busyro Muqoddas itu seÂharusnya bisa melakukan peÂngaÂwaÂsan tanpa harus menunggu audit BPK terlebih dahulu. “MaÂsak lembaga superbodi harus meÂnunggu laporan audit BPK dulu,†sindirnya.
Apalagi, tandas Roy, peÂngaÂdaÂan jasa konsultasi pembangunan geÂdung yang menghabiskan angÂgaran hingga Rp 14,5 miliar saja, sudah mengundang kecurigaan. Apalagi pembangunan gedungÂnya yang mencapai biaya Rp 1,138 triliun. “Apakah jasa konsultasi itu didaÂpatkan melalui tender secara terbuka atau tidak,†kata dia, kemarin.
Proses rencana pembangunan geÂdung itu, lanjut Roy, dilakukan seÂÂcara tertutup sehingga KPK paÂtut curiga. Proses tersebut, meÂnuÂrutÂnya, mengundang kecurigaan adaÂnya upaya mengelabui maÂsyaÂrakat luas.
Soalnya, DPR hanya menyebut jumlah nominal untuk pemÂbaÂnguÂnan fisik sebesar Rp 1,138 triÂliun, tanpa ada rincianÂnya. “NoÂminal biaya yang dijeÂlaskan haÂnya untuk bangunan fisik, yakni Rp 1,138 triliun. Sedangkan biaya furnitur, IT, dan sistem keÂamanan tidak dijelaskan,†katanya.
Menurut Roy, permintaan proses transparansi itu sebagai bentuk upaya pencegahan koÂrupÂsi yang sering terkait pengadaan barang dan jasa. “Kami hanya ingin mencegah agar tidak ada korupsi dalam pengunaan dana tersebut,†katanya.
Dia mengingatkan, dari segi regulasi pengadaan barang dan jasa pemerintah, proyek bernilai di atas Rp 50 juta harus dilakukan melalui tender terbuka, seperti terdapat dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003. “Ketika DPR biÂlang ada Rp 14,5 miliar untuk konÂsultasi, kok tidak ada perinÂcianÂnya. Kalau dana itu digunaÂkan melalui proses penunjukan langsung, jelas menyalahi KepÂpres Nomor 80 Tahun 2003 tenÂtang Pengadaan Barang dan Jasa,†tandasnya.
Roy juga membeberkan empat kebohongan DPR dalam rencana pembangunan tersebut. Yakni, keÂbohongan mengenai kondisi geÂdung lama yang miring. KeÂbohongan mengenai persetujuan seluruh fraksi atas pembangunan gedung baru, padahal Fraksi GeÂrindra menolak usulan tersebut.
Kebohongan tujuan pembaÂnguÂÂnan untuk peningkatan kiÂnerja. Serta kebohongan penÂyÂeÂdiaÂan fasilitas kolam renang unÂtuk karÂyawan DPR, padahal tidak perÂnah sekalipun ada keinginan dari karyawan DPR untuk peÂnyeÂdiaan fasilitas tersebut.
Menurutnya, pembangunan geÂdung baru itu menunjukkan angÂgota DPR tidak meÂmerÂhatikan aspirasi masyarakat. “Ini langkah kami kaÂrena DPR tak mau deÂngarkan beban rakyat. Mereka maÂsih ngotot mÂeÂneÂruskan pemÂbaÂngunan gedung yang memakan biaya Rp 1,13 triliun dan jasa konÂsultasi yang tidak transÂparan dan tidak akuntabel sebesar Rp 14,5 miliar,†tandasnya.
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengaku merespon poÂsitif laporan tujuh LSM terÂseÂbut ke KPK, karena sejalan deÂngan keinginan Dewan sejak awal. “Dari awal, kami yang meÂngajak KPK agar mengawasi pemÂbaÂnguÂnan gedung ini,†kataÂnya di GeÂdung DPR, kemarin.
Salah seorang anggota Badan UruÂsan Rumah Tangga (BURT) DPR M Ichlas El Qudsi pun berÂhaÂrap publik ikut mengawasi tenÂder pembangunan tersebut. “HaÂrus bersih atau tidak ada duÂgaan KKN. Nah, mumpung baru dimuÂlai tendernya, gedung DPR yang baÂru ini harus berkah, bersih dari KKN,†ujarnya pada Selasa (15/3).
Wakil Ketua KPK MocÂhamÂmad Jasin menyarankan, untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya korupsi dalam proyek ini, sebaiknya seluruh proses peÂngadaan dilakukan secara elekÂtronik. Dengan begitu, maÂsyaÂraÂkat bisa mengawasi pelaksanaan pembangunan gedung berlantai 36 itu. “Supaya transparan dan akunÂtabel,†ujarnya.
Tender Itu Telah Dibuka
DPR pada Senin lalu (14/3) seÂcara resmi membuka tender unÂtuk pembangunan gedung baÂruÂnya. Sekjen DPR Nining Indra SaÂleh mengatakan, rencana pemÂbaÂnguÂnan gedung Dewan PerÂwakilan Rakyat yang baru sudah final.
“Keputusan Rapat Pleno BaÂdan Urusan Rumah Tangga (BURT) pada Kamis (10/3) memutuskan, kebijakan pembangunan gedung ini sudah final,†katanya dalam jumpa pers di Gedung DPR pada Jumat lalu (11/3).
Menurut Nining, dalam kepuÂtusan nomor 106/BURT/R.Pleno/MS III/03/2011 itu, BURT meÂmuÂÂtuskan bahwa pembangunan geÂdung baru ini akan dilakukan pada awal tahun ini. Selain itu, Setjen DPR sudah meminta keÂpaÂda Kementerian Pekerjaan Umum untuk menganalisa besaÂran biaya pembangunan gedung baru DPR yang sesuai dengan Peraturan MenÂteri PU Nomor 45/prt/m/2007 tentang Pedoman Teknis PemÂbaÂnguÂnan Bangunan Gedung Negara.
Atas dasar tersebut, lanjut NiÂning, Direktur Penataan LingÂkuÂngan dan Bangunan Kementerian PU menentukan bahwa pemÂbaÂnguÂnan fisik gedung baru itu biaÂyaÂnya adalah Rp 1,138 triliun.
“Biaya pembangunan fisik Rp 1,138 triliun ini terdiri dari peÂkeÂrjaan standar dan non stanÂdar. Lalu, ditambah biaya konÂsulÂtan, sehingga total biaya pemÂbaÂnguÂÂnan gedung ini adalah Rp 1,164 trilun. Semua ini yang meÂneÂtapÂkan adalah KemenÂterian PekerÂjaÂan Umum, karena kami bukan ahÂlinya untuk mengÂkaji harga-harga saÂtuan pemÂbaÂngunan gedung, maÂkanya kami serahÂkan,†katanya.
Pembangunan gedung ini meÂmang mengundang polemik. SuaÂra penentang pembangunan geÂdung ini juga muncul dari dalam DPR. Yang menolak ialah Fraksi GeÂrindra. Fraksi PDIP yang seÂbelumnya menolak, sudah meÂlunak. Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo mengatakan, fraksinya telah mendapatkan instruksi dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk mendorong penundaan pembangunan gedung baru itu.
Minta Diawasi KPK Polri Dan Kejaksaan
Nasir Jamil, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR NaÂsir Jamil menegaskan, pemÂbangunan gedung baru DPR di kawasan Senayan, Jakarta, tiÂdak akan dihentikan karena suÂdah mendapat persetujuan dari sebagian besar fraksi.
“Hampir semuanya setuju dibangun gedung baru. Tidak ada yang kami tutup-tutupi. Jika khawatir ada penyimpangan, silakan saja lapor kepada peÂneÂgak hukum atau KPK,†kata anggota Fraksi PKS ini.
Menurut Nasir, proses pemÂbaÂngunan gedung baru DPR akan berlangsung secara transÂparan dan akuntabel. Ujian terÂsebut akan terlihat pada proses tender yang sudah dimulai sejak Senin lalu. “Masyarakat tidak perÂlu khawatir, tidak ada yang akan kami tutup-tutupi, semuaÂnya terbuka dan informasinya bisa didapat dari media massa,†ujarnya.
Ditanya untuk apa pemÂbaÂnguÂnan itu, dia menjawab, geÂdung baru itu juga diperlukan unÂtuk ruang kerja staf ahli DPR yang terus bertambah. “Ini seÂbagai upaya memperbaiki kiÂnerja anggota Dewan, selain maÂkin banyaknya staf ahli para anggota DPR yang tidak memÂpunyai ruangan,†ucapnya.
Nasir menilai, tujuh LSM yang mencurigai pembangunan gedung DPR itu, terlalu dini mengutarakan opini. “BaÂgaiÂmana mau korupsi, gedungnya saja belum jadi. Tendernya pun seÂdang berjalan. Kalau mau berÂopini, sebaiknya jangan terÂlalu dini dan berpikiran jauh, sebab itu namanya prasangka buruk,†imbuhnya.
Guna meminimalisir terjadi praktik KKN, Nasir menguÂsulÂkan supaya pimpinan DPR beÂkerÂjasama dengan Polri, KejakÂsaan Agung dan KPK untuk meÂÂngawasi pembangunan geÂdung itu sejak tender dimulai.
“Pertanyaannya, berani tidak pimpinan melakukan itu. Kalau saya mengusulkan demikian. Saya minta proses pemÂbaÂnguÂnan gedung dipantau dari awal supaya tidak ada rasa curiga,†katanya.
Meski begitu, Nasir tidak memÂpermasalahkan sikap tujuh LSM yang khawatir pembanÂguÂnan ini dinodai praktik korupsi. “Silakan saja, itu hak mereka. MeÂreka punya hak untuk meÂngatakan demikian. Hanya saja, saya berpendapat, terlalu dini untuk mengatakan ada korupsi pada pembangunan Gedung DPR,†katanya.
LSM Mesti Sabar DPR Perlu Ngaca
Soekotjo Soeparto, Pengamat Hukum
Pengamat hukum Soekotjo SoeÂparto tidak memperÂmaÂsaÂlahÂkan kecurigaan kalangan LSM terhadap pembangunan gedung baru DPR. Soalnya, daÂlam negara demokrasi, menÂgÂuÂtaÂrakan suatu pendapat meruÂpaÂkan suatu hal yang lumrah.
Kendati begitu, Soekotjo meÂngingatkan tujuh LSM itu agar tidak terburu-buru menyimÂpulÂkan ada KKN dalam pemÂbaÂnguÂnan gedung tersebut. Sebab, proses pembangunannya belum berjalan. “Sebaiknya sabar dulu. Tapi, bukan berarti lepas pengaÂwasan. Pembangunan itu harus tetap diawasi,†kata bekas koÂmiÂsioner Komisi Yudisial (KY) ini.
Sebaliknya, menurut SoeÂkotÂjo, pimpinan dan seluruh angÂgoÂta DPR perlu megambil hikÂmah dari peristiwa ini. Sebab, saat kondisi politik yang panas seperti ini, harus hati-hati meÂngambil langkah. “Secara umum, pembangunan gedung baru itu hak mereka. Tapi lihat situasi juga, saat ini situasi politik maÂsih panas dan masyarakat kritis pemikirannya,†ujar dia.
Ketika ditanya, apakah pemÂbangunan gedung baru DPR itu pantas dilakukan saat ini, SoeÂkotjo merasa tidak pas untuk menÂjawabnya. “Yang tahu panÂtas atau tidaknya itu, mereka senÂdiri. Kalau kita yang komenÂtar, tidak objektif. Sebaiknya anggota Dewan berkaca diri lagi, pantas tidak gedung baru itu dibangun,†sarannya.
Soekotjo menambahkan, jika meÂmang pembangunan geÂdung DPR itu benar-benar diÂbutuhÂkan dan akan memaÂjukan kiÂnerÂja parÂlemen, maka hal itu boleh saja. “DeÂngan caÂÂtaÂtan, segala bentukÂnya haÂrus transparan dan tidak diÂtutup-tutupi. Saya harap jika meÂmang jadi, gedung baru itu diÂguÂnakan sebagai salah satu faktor peÂnunÂjang memajukan kinerja angÂgota DPR,†ujarnya. [RM]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
UPDATE
Minggu, 28 Desember 2025 | 13:46
Minggu, 28 Desember 2025 | 13:17
Minggu, 28 Desember 2025 | 13:13
Minggu, 28 Desember 2025 | 12:45
Minggu, 28 Desember 2025 | 12:27
Minggu, 28 Desember 2025 | 12:02
Minggu, 28 Desember 2025 | 11:45
Minggu, 28 Desember 2025 | 11:39
Minggu, 28 Desember 2025 | 11:33
Minggu, 28 Desember 2025 | 11:05