RMOL. Marwan Effendy, Jaksa Agung Muda (JAM) Pengawasan Kejaksaan Agung, menilai 70 persen kasus yang menimpa jaksa disebabkan ulah masyarakat, 30 persen sisanya disebabkan faktor jaksa sendiri.
“Saya mengimbau agar masyaÂrakat juga jangan berkonspirasi dalam kasus persidangan dengan jaksa. Permasalahan penyuapan jaksa kebanyakan diawali oleh masyarakat dulu, bukan jaksa. Sebagian besar, hampir 70 persen diawali masyarakat dan sisanya 30 persen oleh jaksa,†ungkap Marwan.
Untuk itu. dia menekankan perlunya peran masyarakat dalam upaya membantu melakukan perbaikan terhadap institusi kejaksaan yang selama ini disorot oleh kalangan media massa. MaÂsyarakat, lanjut Marwan, harus melaporkan jaksa yang bermasaÂlah kepada kejaksaan di daerahÂnya maupun langsung kepada dirinya.
Berikut petikan wawancara.Dari laporan yang dilansir, ada peningkatan jaksa yang dikenaÂkan sanksi pada kurun waktu 2009 sampai 2010. Penjelasan Anda?Dulu di bidang pengawasan bila ada laporan pengaduan diÂpeÂriksa oleh pemeriksa dan pemeÂrikÂsa itu sangat terbatas. Di Kejagung ada sekitar lima insÂpektur dan 20 inspektur pemÂbantu, proses pengawasan ini tidak akan berjalan bila hanya mengandalkan 20 inspektur pembantu. Apalagi pengaduan dari daerah-daerah semuanya dikirim kesini. Maka kemarin kita merekrut 40 orang, itu berarti 10 unit tambahan. Idealnya, kejaksaan memiliki 50 unit, berÂarti 200 orang penyidik, karena laporan yang masuk ada ribuan belum laporan tunggakan tahun kemarin.
Apakah hanya dari lapoÂran saja, tidak melakuÂkan investiÂgasi?Saat ini melaÂlui laporan saja, karena ada lapoÂran dari InsÂpekÂtoÂrat Umum, Inspeksi Khusus, di samping laporan dari luar. LapoÂran dari pihak luar ada sekitar 700 lebih, sehingga total laporan yang masuk ada 927 laporan peÂngaÂduan.
Bila jaksa terÂbukti melakuÂkan peÂlangÂgaran, sankÂsi apa saja yang diÂberiÂkan KeÂÂjakÂÂsaan Agung?
Tindakannya, kalau dia tidak menerima uang pasti dicopot jakÂsanya atau strukturalnya, seÂhingga jaksa tersebut tidak punya jabatan struktural. Tapi, kalau pelanggarannya agak ringan paÂling dia ditunda kenaikan pangkat atau penurunan pangkat tiga tingkat selama 2-3 tahun.
Paling banyak, sanksi yang diÂÂberikan?Paling banyak sanksi berat ada 132. Sanksi itu artinya diberhenÂtikan secara tidak hormat sebagai jaksa. Selama ini yang kena ada jaksa dan ada penuntut umum.
Bagaimana pendapat Anda soal pembentukan Komisi KeÂjaksaan?Komisi Kejaksaan itu sebenarÂnya hak deskresi yang diberikan undang-undang kepada presiden. Jadi, kalau presiden melihat kinerja kejaksaan kurang bagus, maka presiden dapat membentuk Komisi Kejaksaan. Mungkin karena presiden melihat kinerja kejaksaan kurang bagus, maka Presiden membentuk Komisi Kejaksaan.
Bagaimana dengan tugasÂnya, apakah akan tumpang tinÂdih deÂngan tugas pengawsan inÂterÂÂnal yang dimiliki kejakÂsaan?Tidak akan tumpang tindih. Kalau Komisi Kejaksaan punya laporan nanti mereka lanjutkan ke Kejaksaan Agung. Kalau KejaÂgung tidak menindaklanjuti, maka mereka bisa mengambil alih. Dan apabila ditindaklanjuti tapi penuh dengan rekayasa untuk melinÂdungi, mereka bisa ambil alih.
Apakah kinerja pengawasan Kejagung akan terbantu deÂngan kehadiran Komjak?Jadi dengan adanya Komjak ini, kami terbantu karena pengaÂwasan bisa maksimal. Tapi, kalau kita liat peraturan presidennya, di situ tidak akan terjadi duplikasi penyelenggaraaan pengawasan, karena walaupun komjak diberiÂkan kewenangan langsung meÂmeÂriksa tapi pengalaman selama ini, kewenangan itu diberikan dulu kepada Kejagung.
Apakah tidak masalah kalau Komjak sampai melakukan peÂmeriksaan?Tidak masalah, oleh karena itu dalam Komjak ada orang kejakÂsaan di pengawasan untuk meÂnemukan bentuk perilaku yang menyimpang di kejaksaan.
Ada pendapat, Komisi KeÂjakÂsaan dibentuk karena peÂngawasan di internal Kejagung pengawasan kurang efektif. Pandangan Anda?Tidak juga, jadi begini, komjak hakikatnya dibentuk untuk meÂningkatkan kinerja kejaksaan. Mungkin selama ini kasus yang menimpa Kejagung, seperti kasus-kasus yg mencoreng dan mnurunkan citra kejaksaan. Maka dibentuklah Komjak untuk memperbaiki citra kejaksaan dan juga agar masyarakat ikut berÂperan dalam pengawasan kejakÂsaan. Keberadaan Komjak adalah kehendak rakyat yang diatur dalam konstitusi. Itu ‘kan komitÂmen bersama, memang baiknya masyarakat ikut mengawasi, karena selama ini masyarakat mengawasi tidak ada wadahnya.
Apakah banyaknya jaksa yang bermasalah karena kesaÂlahan proses rekrutmen?Tidak ada kaitan dengan proses rekrutmen. Proses rekruitmen sudah dilakukan oleh pihak independen, sama dengan tes di instansi yang lain. Di Kejagung juga melakukan itu tapi ketika wawancara dilihat integritasnya dan kemampuan intlektualnya.
Lalu, apa yang salah di keÂjakÂÂsaan?
Jadi, ada sistem di luar rekrutÂmen ini, sistem yang belum berÂjalan dengan baik. Sistem itu salah satunya adalah pengawaÂsan. Lebih tepatnya pengawasan melekat.
Pengawasan melekat?Pengawasan yang dilakukan oleh atasannya langsung. Selama ini bukan tidak berjalan tapi mereka tidak paham atasan maÂsing-masing jaksa itu. PengawaÂsan melekat itu untuk mencegah tapi tidak berjalan. Tugasnya meÂlakukan pencegahan dan peninÂdakan agar sikap dan perilaku jaksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ini garda terdepan dengan pengawasan dari atasan kepada dua tingkat ke bawah.
Bagaimana mengoptimalkan pengawasan melekat itu?Saya ke daerah-daerah untuk memacu itu dengan sosialisasi agar mereka paham. Karena seÂlama ini mereka menganggap ada pengawasan internal. Ini salah satu sistem manajemen, ada peÂrenÂcanaan, pelaksanaan dan kontrol. Jadi, dalam hal ini, peÂrenÂcanaan dan pelaksanaan diawasi oleh pengawasan meleÂkat. Intinya, atasan mengawasi bawahan.
Apakah bisa bersinergi juga dengan Komjak dan pengaÂwaÂsan internal?Kinerja Komjak dan pengaÂwasan internal tidak berjalan maksimal kalau peran waskat ini tidak optimal.
[RM]