Berita

ilustrasi

Pantaskah Soeharto Menjadi Pahlawan Nasional?

SENIN, 18 OKTOBER 2010 | 17:59 WIB | LAPORAN: TEGUH SANTOSA

RMOL. Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan di Kementerian Sosial telah menetapkan sepuluh calon penerima gelar Pahlawan Nasional. Kesepuluh nama itu akan diserahkan ke Dewan Gelar, Tanda Kehormatan dan Tanda Jasa sebelum akhirnya diserahkan ke Presiden.

Menurut Sekretaris Kabinet Dipo Alam, belum tentu Dewan Gelar, Tanda Kehormatan dan Tanda Jasa yang dipimpin Menko Polkam akan meloloskan kesepuluh nama itu, dan memberikannya kepada Presiden SBY. Serta, belum tentu juga Presiden SBY akan menyetujui semua nama yang diserahkan Dewan.

Dus artinya, kata akhir siapa yang pantas mendapat gelar Pahlawan Nasional ada di tangan Presiden.

Kesepuluh calon penerima gelar Pahlawan Nasional tersebut adalah:

1. Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dari Jawa Barat.
2. Habib Sayid Al Jufrie dari Sulawesi Tengah
3. Mantan Presiden Soeharto dari Jawa Tengah
4. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur
5. Hj Andi Depu Maraddia Balanipa dari Sulawesi Barat
6. Mantan Waperdam II Johanes Leimena dari Maluku

6. Mantan Waperdam II Johanes Leimena dari Maluku
7. Yohannes Abraham Dimara dari Papua
8. Andi Makassau dari Sulawesi Selatan
9. Pakubuwono X dari Jawa Tengah
10. KH Ahmad Sanusi dari Jawa Barat.

Dari kesepuluh calon penerima gelar Pahlawan Nasional tersebut rasa-rasanya hanya mantan Presiden Soeharto yang ditentang banyak orang. Pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto menjadi kontroversial karena ia dinilai bertanggung jawab pada sejumlah kejahatan HAM dan kejahatan ekonomi selama berkuasa. Kalau tidak, mana mungkin ia diterjang gelombang demonstrasi dan akhirnya harus mengundurkan diri.

Soeharto dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab di balik peristiwa pembantaian massal yang terjadi terhadap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orang-orang yang dituduh memiliki hubungan dengan partai itu antara 1965 hingga 1966. Tidak ada angka resmi mengenai berapa jumlah korban tewas dalam pembantaian massal tersebut. Angka yang biasa disebutkan ada di kisaran 500 ribu sampai 1,5 juta jiwa.

Tetapi, dalam artikel yang ditulis Ben Anderson sebulan setelah Soeharto meninggal dunia, Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant (2008), disebutkan bahwa mantan komandan RPKAD Sarwo Edhie sebelum meninggal dunia mengatakan bahwa yang tewas adalah tiga juta orang. RPKAD adalah sayap militer yang digunakan Soeharto untuk menggulung PKI dan orang-orang yang dituduh memiliki hubungan dengan partai itu.

Sementara di bidang ekonomi, Soeharto dipersalahkan karena menggadaikan sumber daya alam Indonesia kepada perusahaan-perusahaan multinasional. Freeport di Papua adalah contoh paling klasik. Perusahaan ini menjadi perusahaan multinasional pertama yang beroperasi di Indonesia setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan dari tangan Bung Karno. Hak yang diberikan kepada perusahaan ini sedemikian besar, sehingga ia dapat mengubah bukit menjadi danau, menciptakan kerusakan lingkungan, dan di saat bersamaan meninggalkan jejak kemiskinan yang merata di Papua.

Ketergantungan ekonomi Soeharto pada dunia luar tidak hanya terbatas pada pemberian konsesi pertambangan kepada MNCs saja. Soeharto juga gemar menangguk utang luar negeri. Hebatnya lagi, selama masa Orde Baru, utang luar negeri dimasukkan ke dalam kolom penerimaan APBN; utang luar negeri diperlakukan sebagai pendapatan negara. Soeharto memang pantas disebut sebagai Bapak Pembangunan. Tetapi harus diingat, pembangunan a la Soeharto adalah pembangunan yang dibiayai utang luar negeri. Itu sebabnya di saat bersamaan juga terjadi ketimpangan yang ironisnya, setelah Soeharto tidak berkuasa, malah semakin besar.

Soeharto juga dianggap bermasalah di bidang politik. Stabilitas politik adalah unsur pertama dalam trilogi pembangunan a la Soeharto. Stabilitas mensyaratkan ketiadaan kelompok oposisi dan kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan pandangan dengan Soeharto dan kroninya. Jumlah partai politik dipangkas paksa; pemilihan umum digelar secara berkala lima tahun sekali di bawah tekanan militer; Pancasila dan UUD 1945 dijadikan alat tekan politik sehingga sampai kini dianggap identik dengan gagasan otoriter yang usang; Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi badan-badan perkoncoan yang tugasnya hanya menyetempel dan menyetujui apapun yang diinginkan Cendana.

Ada juga yang mengingatkan, bahwa Soeharto merupakan objek koreksi reformasi. Bukankah TAP MPR XI/1998 mengamanatkan agar kasus KKN yang melibatkan Soeharto dan kroninya diusut tuntas? Sampai kini upaya itu tidak pernah terealisasi. Soeharto tidak pernah didudukkan di kursi terdakwa. Ia menghembuskan nafas terakhir, akhir Januari 2008 tanpa sedikitpun tersentuh tangan hukum.

Ben Anderson menyebut Soeharto sebagai “mediocre tyrant” atau tiran yang biasa-biasa saja. Kemunculannya diawali krisis politik dalam negeri. Baik dirinya maupun krisis politik dalam negeri itu dimanfaatkan pihak asing, dalam hal ini Amerika Serikat. Karier kekuasannya pun ditutup oleh babak turbulensi politik.

Tetapi ada satu hal yang sepertinya Ben Anderson lupa. Dalam sejarah kontemporer, Soeharto adalah satu-satunya tirani yang survive setelah kekuasaannya digusur gelombang kemarahan rakyat dan kelompok elit yang memanfaatkan kemarahan rakyat itu. Hanya Soeharto yang setelah dilengserkan tidak harus melarikan diri dan meminta perlindungan dari pemerintahan negara manapun, dan tidak disentuh hukum sama sekali. Pengalaman di banyak negara memperlihatkan sebaliknya, tiran yang jatuh harus mengalami salah satu dari kedua hal itu, lari atau dihakimi.

Sebegitu keras kontroversi yang mengiringi pencalonan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Menurut pihak Istana, kontroversi itu adalah hal yang wajar. Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang dihubungi kemarin mengatakan, sebagai manusia biasa tentulah Soeharto memiliki kelemahan dan kelebihan. Dia membandingkan Soeharto dengan Bung Karno dan Abdurrahman Wahid yang juga jatuh dihumbalang protes rakyat.

Rachmawati Soekarnoputri, putri Bung Karno, berpendapat, agar tidak terbebani oleh sejarah, status hukum Soeharto harus diperjelas terlebih dahulu.

“Jangan diulang yang terjadi pada Bung Karno. Kita harus meng-clear-kan dulu status Pak Harto. Intinya direhabilitasi atau bagaimana,” ujar mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini saat dihubungi Rakyat Merdeka Online, kemarin (Minggu, 17/10).

Dia curiga rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional terhadap Soeharto hanya sekadar bagi-bagi status semata.

Sejarawan Asvi Marwan Adam menawarkan jalan keluar yang elegan. Masyarakat, menurutnya, juga harus dilibatkan dalam pemberian gelar Pahlawan Nasional, terlebih untuk tokoh kontroversial yang kerap dikaitkan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Untuk Soeharto, sebutnya pekan lalu, bila masyarakat tidak memberikan penolakan, maka Presiden SBY akan menyematkan gelar itu kepada Soeharto. Dan kalau sudah disematkan, tidak bisa lagi ditolak

“Akan sangat tragis bila di antara para pahlawan kita nantinya terdapat pelaku pelanggaran HAM,” kata Asvi.

Demikianlah sidang pembaca. Mengikuti saran Asvi Marwan Adam, Rakyat Merdeka Online membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pembaca untuk memberikan pendapat, apakah setuju atau tidak setuju dengan gelar Pahlawan Nasional untuk mantan Presiden RI Soeharto.

Klik pilihan Anda sekarang juga. Lebih cepat, lebih baik. [guh]


Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

Makin Botak, Pertanda Hidup Jokowi Tidak Tenang

Selasa, 16 Desember 2025 | 03:15

UPDATE

Bawaslu Usul Hapus Kampanye di Media Elektronik

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:26

Huntap Warga Korban Bencana Sumatera Mulai Dibangun Hari Ini

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:25

OTT Jaksa Jadi Prestasi Sekaligus Ujian bagi KPK

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:11

Trauma Healing Kunci Pemulihan Mental Korban Bencana di Sumatera

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:42

Lula dan Milei Saling Serang soal Venezuela di KTT Mercosur

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:35

Langkah Muhammadiyah Salurkan Bantuan Kemanusiaan Luar Negeri Layak Ditiru

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:24

Jadi Tersangka KPK, Harta Bupati Bekasi Naik Rp68 Miliar selama 6 Tahun

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:56

Netanyahu-Trump Diisukan Bahas Rencana Serangan Baru ke Fasilitas Rudal Balistik Iran

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:32

Status Bencana dan Kritik yang Kehilangan Arah

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:55

Cak Imin Serukan Istiqomah Ala Mbah Bisri di Tengah Kisruh PBNU

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:28

Selengkapnya