Berita

Ilustrasi hukum Indonesia. (Foto: Artificial Intelligence)

Publika

Dialektika Efisiensi dan Jebakan Keadilan Transaksional

RABU, 31 DESEMBER 2025 | 17:43 WIB | OLEH: YUDHI HERTANTO

BERBEDA! Wajah dunia hukum akan berubah di tahun mendatang. Ketuk palu di Senayan (17/12) menandai pergeseran hukum pidana Indonesia. Pengesahan UU No 20/ 2025 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menandai berakhirnya rezim KUHAP 1981 yang selama lebih dari empat dekade menjadi sumber utama prosedur pidana.

Dalam perspektif teoritis, perubahan ini merefleksikan pertarungan klasik dari dua model proses pidana yang digagas Herbert L. Packer (1968), yakni Crime Control Model yang mengutamakan efisiensi penumpasan kejahatan, dan Due Process Model yang menekankan perlindungan hak asasi individu.

Keberadaan KUHAP Baru mengklaim mengawinkan keduanya melalui hibridisasi sistem yang lebih modern. Dibalik janji manis efisiensi prosedural, tersimpan residu masalah yang perlu dikelola dengan hati-hati. Tersebab masih adanya ruang yang berpotensi mencederai rasa keadilan substantif masyarakat (Satjipto Rahardjo, 2009).
 

 
Pedang Bermata Dua: Pragmatisme vs Keadilan Substantif

Perihal yang paling krusial serta perlu dilakukan pembedahan mendalam mengenai pelembagaan Restorative Justice (keadilan restoratif) dan Plea Bargaining (pengakuan bersalah). Secara sosiologis, kedua hal tersebut adalah respons terhadap kegagalan sistem pemidanaan penjara (overcrowding) dan lambatnya proses peradilan.

Sementara itu, penerapan Keadilan Restoratif (Pasal 79-88) membawa potensi risiko "komodifikasi hukum". Sebagaimana dianalisis Septa Chandra (2023), bila politik hukum restorative justice seharusnya bertujuan memulihkan keseimbangan sosial, bukan sekadar mekanisme penghentian perkara.

Dengan demikian, syarat "pemulihan keadaan semula" yang termuat dalam Pasal 79 KUHAP Baru, dan sering diterjemahkan sebagai ganti rugi materiil, berpotensi menciptakan bias kelas. Pelaku yang memiliki kekuatan ekonomi dapat "membeli" impunitas, sementara pelaku miskin meskipun korban boleh jadi telah memaafkan, berpotensi tetap akan diproses karena ketidakmampuan membayar restitusi.

Situasi seperti ini mengonfirmasi simpulan Nabila Ihza (2025) bila tanpa integrasi yang berhati-hati, RJ dapat menjadi alat transaksional yang melegalkan ketimpangan.
 
Kondisi yang sama bukan tidak mungkin terjadi pada adopsi Plea Bargaining (Pasal 78). Dimana, mekanisme ini berakar pada teori Utilitarianisme Jeremy Bentham, yang mengejar kemanfaatan dan efisiensi biaya.

Berdasarkan temuan, Arky et al. (2024) tercatat bahwa politik hukum plea bargaining memang ditujukan untuk mengatasi penumpukan perkara. Proses adopsi dan transplantasi konsep Common Law tersebut ke Indonesia dapat berpotensi menyisakan bahaya innocent defendant's dilemma.
 
Di mana dalam struktur bantuan hukum yang belum merata, tersangka dari kalangan marginal rentan ditekan untuk mengaku bersalah, demi menghindari proses hukum yang berbelit dan ancaman pidana maksimal.

Sehingga, jika fenomena tersebut terjadi, seolah kita tengah menukar kebenaran materiil yang menjadi jiwa sistem Civil Law, dengan efisiensi administratif semata (Lukman Hakim, 2023).
 
Celah Intrusi Privasi dan Kontrol Yudisial

Perlu pencermatan yang mendalam pada aspek lain yang mengkhawatirkan, terkait kewenangan upaya paksa, seperti penyadapan dan pemblokiran aset dalam "keadaan mendesak" tanpa izin hakim terlebih dahulu. Pada teori hukum acara pidana, setiap upaya paksa (coercive force) harus tunduk pada judicial scrutiny atau kontrol hakim untuk mencegah kesewenang-wenangan (Fachrizal Afandi, 2016).
 
Sehingga bila diberikan diskresi terlalu luas kepada penyidik tanpa pengawasan ketat, terdapat celah potensi pelanggaran prinsip due process of law. Selaras dengan sejarah yang mengajarkan bahwa dalam relasi kuasa timpang antara negara dan warga negara, diskresi sering menjadi pintu masuk abuse of power. Diperlukan pengawasan horizontal antar-lembaga penegak hukum secara mutlak, bukan sekadar formalitas administrasi.

Kultur Budaya Hukum Baru

Pada akhirnya, keberhasilan implementasi dan eksistensi regulasi UU No. 20/ 2025 tidak hanya bergantung pada teks undang-undang (law in books), tetapi juga pada ranah budaya hukum (legal culture) dari aparat penegak hukumnya.

Sebagaimana meminjam teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, substansi hukum yang baik tanpa didukung struktur dan budaya hukum yang profesional hanya akan menjadi macan kertas.
 
Sehingga, masa transisi menuju 2026 adalah periode kritis. Tantangan terbesarnya adalah memastikan bahwa jalan efisiensi melalui restorative justice dan plea bargaining tidak menjadi hak eksklusif dari gerbang yang hanya bisa diakses oleh kaum elite. Publik harus mengawasi wajah baru peradilan agar humanis dan berkeadilan, bukan sekadar cepat dan transaksional.
 
Doktoral Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Kades Diminta Tetap Tenang Sikapi Penyesuaian Dana Desa

Rabu, 31 Desember 2025 | 12:10

Demokrat Bongkar Operasi Fitnah SBY Tentang Isu Ijazah Palsu Jokowi

Rabu, 31 Desember 2025 | 12:08

KPK Dalami Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Anggaran Mantan Kajari HSU

Rabu, 31 Desember 2025 | 12:01

INDEF: MBG sebuah Revolusi Haluan Ekonomi dari Infrastruktur ke Manusia

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:48

Pesan Tahun Baru Kanselir Friedrich Merz: Jerman Siap Bangkit Hadapi Perang dan Krisis Global

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:40

Prabowo Dijadwalkan Kunjungi Aceh Tamiang 1 Januari 2026

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:38

Emas Antam Mandek di Akhir Tahun, Termurah Rp1,3 Juta

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:26

Harga Minyak Datar saat Tensi Timteng Naik

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:21

Keuangan Solid, Rukun Raharja (RAJA) Putuskan Bagi Dividen Rp105,68 Miliar

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:16

Wacana Pilkada Lewat DPRD Salah Sasaran dan Ancam Hak Rakyat

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:02

Selengkapnya