Logo PBNU. (Foto:NuOnline)
Mantan jurubicara Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Adhie Massardi, menilai konflik internal yang terjadi di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bukanlah persoalan teknis organisasi, melainkan mencerminkan persoalan moralitas para pengurusnya.
Adhie mengaku sudah lama mendengar dinamika dan friksi internal di tubuh PBNU. Namun selama ini ia memilih tidak banyak berkomentar karena menilai isu-isu yang dipersoalkan tidak bersifat prinsipil.
“Saya sudah lama mendengar masalah internal di PBNU. Tapi saya nonton saja karena yang dipersoalkan tidak penting. Soal keuangan, tujuan berorganisasi, soal Israel nanti saya jelaskan,” kata Adhie dalam keterangannya, dikutip Selasa, 23 Desember 2025.
Menurut Adhie, persoalan yang lebih serius justru terletak pada kerusakan moral yang tidak dibicarakan secara sungguh-sungguh oleh organisasi keagamaan, termasuk NU.
“Ada kerusakan moral tapi organisasi keagamaan tidak bicara ini secara serius. Malah banyak ngurus dunia,” ujarnya.
Meski demikian, Adhie menegaskan tidak ada larangan bagi organisasi keagamaan untuk memiliki dan mengelola unit bisnis. Baginya, aktivitas ekonomi seperti sekolah atau koperasi adalah hal yang wajar.
Ia kemudian mencontohkan Vatikan yang juga memiliki berbagai unit usaha, termasuk perbankan dan lahan bisnis. Namun, semua itu dikelola dengan standar moral dan etika yang tinggi sehingga tidak menimbulkan polemik.
“Tapi karena dikelola dengan moral dan etika yang tinggi, tidak menimbulkan masalah,” tegas Adhie.
Karena itu, ia menilai polemik di PBNU bukan terletak pada isu pengelolaan tambang atau bisnis semata, melainkan pada moralitas para pengurusnya.
“Jadi persoalan PBNU bukan soal urus tambang, tapi moralitas pengurusnya,” kata Adhie.
Adhie menjelaskan, konflik muncul ketika kewenangan dan kepemimpinan di dalam organisasi tidak jelas. Misalnya, ketika ada konsesi tambang yang seharusnya bisa dikelola pihak yang kompeten, namun terjadi perebutan kewenangan di tingkat pimpinan.
“Kalau saya dikasih konsesi tambang tapi enggak bisa kelola, tapi saya perlu uang itu untuk membangun, kan bisa diserahkan ke yang paham. Tapi siapa yang berhak menyerahkan ini, nah itu yang menimbulkan persoalan lagi,” paparnya.
Ia menambahkan, konflik semakin tajam ketika muncul lebih dari satu pusat kepemimpinan di PBNU.
“Kalau ada dua pimpinan di PBNU, misal saya mau serahkan hak mengelola tambang ke ini, yang satu enggak mau. Di antara mereka jadi berantem. Nah ini persoalan yang terjadi di NU,” ungkapnya.
Adhie bahkan membandingkan konflik di PBNU dengan partai politik yang selama ini kerap dikritik publik.
“Partai politik yang kita kutuk setiap hari itu, enggak pernah ada konflik hanya karena satu tambang. Konfliknya biasanya soal jabatan. Nah ini konfliknya lebih buruk dari penyebab konflik partai politik,” pungkasnya.