Berita

Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi RMOL/Istimewa)

Publika

Save Hutan Nusantara

MINGGU, 21 DESEMBER 2025 | 23:35 WIB | OLEH: JIMMY H SIAHAAN

THE Rollies, sebuah band musik Indonesia yang terkenal, dalam lagu "Kemarau" (1979) terselip lirik tentang hutan. "Mengapa, mengapa hutanku hilang dan tak pernah tumbuh lagi."

Kali ini bukan "Kemarau", ada "Hujan Badai" Siklon Tropis di Sumatera, menjelang akhir November. Air Bah, Banjir bandang (flash flood) yang datang tiba-tiba dan sangat merusak.

Itu mengingatkan tema mitos purba tentang banjir besar sebagai hukuman dewa, yang ada di banyak budaya dunia (Epos Gilgamesh, mitologi Yunani). 


Perbedaan dengan Banjir, biasanya adalah dalam kecepatan dan kekuatan. Banjir Bandang, datang mendadak dengan kekuatan sangat besar, bukan hanya luapan sungai biasa. Sering dikaitkan dengan skala kehancuran yang masif, bahkan global dalam kisah mitos.

Ikon Pulau Samosir

Pernah ada di pulau Samosir, pulau vulkanik di tengah Danau Toba, Sumatera Utara, yang terkenal karena keindahan alam dan budayanya.

Ada tulisan terbaca "RIMBA CIPTAAN" yang terbuat dari barisan ribuan pohon pinus. Diciptakan oleh Pasukan Tentara Siliwangi saat berada di Pulau Samosir.

Ditanam di lereng bukit di Pulau Samosir, seperti di area Tomok, Garoga, dan Tuktuk. Dulu sangat jelas terlihat dari Parapat, menjadi simbol visual yang ikonik bagi wisatawan yang datang ke Danau Toba.

Ikon Pulau Sumatera

Dari Rimba Ciptaan, yang berdiri tegak dari ribuan pohon pinus, juga hilang dimakan waktu, dan barangkali telah berubah menjadi bahan baku untuk pulp, sedikit demi sedikit. Kita kehilangan ikon Rimba Ciptaan di Pulau Samosir.

Juga dalam hitungan  dasawarsa, mulai tumbuh ikon baru di Pulau Sumatera adalah penanaman secara masif, pohon sawit yang luas dan hal ini akan menjadi energi biofuel di masa depan. 

Artinya hutan mulai terkikis dan hilang berubah menjadi hamparan raksasa perkebunan sawit.

Perkebunan sawit raksasa di bangun dengan melakukan penebangan pohon masif tentunya ada yang legal dan ilegal. Hal ini terus berlangsung selama puluhan tahun. Kita akhirnya kehilangan hutan primer di Pulau Sumatera.

Data yang dirilis oleh World Population Review pada awal tahun 2024 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua dalam daftar negara dengan tingkat deforestasi terparah secara global. 

Data ini berdasar perubahan area hutan 1990-2020: Brazil: Negara ini kehilangan sekitar 356.787 mil persegi area hutan, atau setara dengan 15,67 persen dari total area hutannya. 

Deforestasi Indonesia mencapai perubahan area hutan hingga 101.977 mil persegi, atau 22,28 persen dari total area hutan. 

Republik Demokratik Kongo: Negara ini berada di urutan ketiga dengan kehilangan lebih dari 94.495 mil persegi area hutan (16,25 persen). 

Angka ini menempatkan Deforestasi Indonesia sebagai isu lingkungan global yang segera harus segera ditata ulang mulai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.

Paradoks Manusia dan Lingkungan

Inilah paradok kita. Yang membuat kita begini adalah kekuasaan bagi segelintir orang yang bisa memberi izin-izin tanpa pengawasan. 

Di samping itu, faktor kemiskinan menjadi pemicu yang membuat kesadaran terhadap lingkungan menjadi di titik terendah.

Padahal alam adalah milik manusia, bukan milik pemerintah. Kesadaran akan lingkungan merupakan tantangan bersama. Bukan hanya manusia, satwa hewan ikut terguncang.

Kerusakan lingkungan dan meningkatnya bencana bukanlah peristiwa tiba-tiba, melainkan konsekuensi dari keputusan dan keserakahan manusia yang menumpuk selama bertahun-tahun.

Laszlo Krasznahorkai, Pemenang Nobel Sastra 2025 mengatakan bahwa, "Manusia tetap sama, berbahaya bagi dirinya sendiri".

Menyelamatkan Nusantara

Kini sudah tiba saatnya menyelamatkan Nusantara. Pilihan manusia dan birokrasi sangat terbatas. Demikian juga dengan aparat dan polisi kehutanan.

Kekuasaan dan kemiskinan tetap merupakan kendala kedepan.Cakupan luasnya medan area sulit untuk dikendalikan.

Sebuah harapan hanya bisa didapat dari teknologi dan  support infrastruktur. Drone sebagai teknologi kamera yang setia bisa menjadi sebuah kinerja pengawasan yang berguna ke depan.

Jika segera dikerjakan bukan hanya Pulau Samosir dan Pulau Sumatera. Namun seluruh pulau Nusantara. Saatnya teknologi bekerja untuk menyelamatkan hutan atau hutanku hilang dan takkan pernah tumbuh kembali.


*Penulis adalah Eksponen Gema 77/78

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Kuasa Hukum: Nadiem Makarim Tidak Terima Sepeserpun

Minggu, 21 Desember 2025 | 22:09

China-AS Intervensi Konflik Kamboja-Thailand

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:51

Prabowo Setuju Terbitkan PP agar Perpol 10/2025 Tidak Melebar

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:35

Kejagung Tegaskan Tidak Ada Ruang bagi Pelanggar Hukum

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:12

Kapolri Komitmen Hadirkan Layanan Terbaik selama Nataru

Minggu, 21 Desember 2025 | 20:54

Kasus WN China Vs TNI Ketapang Butuh Atensi Prabowo

Minggu, 21 Desember 2025 | 20:25

Dino Patti Djalal Kritik Kinerja Menlu Sugiono Selama Setahun

Minggu, 21 Desember 2025 | 19:45

Alarm-Alam dan Kekacauan Sistemik

Minggu, 21 Desember 2025 | 19:39

Musyawarah Kubro Alim Ulama NU Sepakati MLB

Minggu, 21 Desember 2025 | 19:09

Kepala BRIN Tinjau Korban Bencana di Aceh Tamiang

Minggu, 21 Desember 2025 | 19:00

Selengkapnya