DALAM negara hukum, konstitusi adalah garis batas. Ketika sebuah institusi mencoba melampaui batas itu, seluruh bangunan demokrasi bergetar.
Itulah yang kini terjadi setelah Kapolri menerbitkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri -- sebuah regulasi yang membuat publik terperangah.
Perpol ini membuka kembali pintu bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan strategis di 17 kementerian dan lembaga, tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri.
Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) sudah tegas dengan putusan finalnya: anggota Polri aktif tidak boleh merangkap jabatan politik-administratif di luar struktur Polri, kecuali yang diperbolehkan oleh undang-undang.
Pertanyaannya kini menjadi sangat jelas:
Apakah Perpol 10/2025 sedang mengoreksi konstitusi, atau mengabaikannya?
1. Ketika Perpol Menantang MK: Benturan yang Tidak Bisa DinormalisasiMenurut hukum tata negara, putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga setiap peraturan di bawah undang-undang wajib tunduk kepadanya.
Ketika Perpol 10/2025 justru membuka ruang yang telah ditutup oleh MK, maka lahirlah anomali konstitusional:
- Regulasi turunan melampaui batas kewenangannya
- Ada indikasi
executive override terhadap putusan MK
- Terjadi potensi
ultra vires, karena Kapolri sebagai pejabat administratif tidak berwenang menafsir ulang konstitusi
- Dalam desain hierarki norma, posisi Perpol berada di lapisan paling bawah. Ia tidak bisa -- dan tidak boleh -- menabrak tafsir konstitusional yang sudah dikunci oleh Mahkamah.
- Di sinilah masalahnya: Perpol 10/2025 bukan sekadar aturan teknis; ia tampak seperti perlawanan halus terhadap putusan MK.
2. Dimensi Kekuasaan: Merembesnya Otoritas Kepolisian ke Ruang Sipil- Perpol 10/2025 memberi ruang bagi anggota Polri aktif untuk masuk ke jabatan: Dirjen, Deputi, Staf ahli, Staf khusus, Pimpinan lembaga tertentu, Struktur kementerian strategis
- Ketika polisi aktif masuk ke ruang sipil, terjadi dua risiko utama:
Pertama: Hilangnya Batas Sipil-Polisi
Indonesia mengaku menganut supremasi sipil. Tapi bagaimana supremasi sipil bertahan jika jabatan sipil diisi oleh aparat bersenjata yang masih berada dalam rantai komando kepolisian?
Kedua: Terbukanya Jalur Politik Kekuasaan Baru
Penempatan Polri aktif di kementerian bukan sekadar mutasi -- ini adalah arsitektur kekuasaan.
Ia memperkuat kohesi politik birokrasi, memungkinkan loyalitas melekat bukan pada jabatan sipil, tapi pada komando kepolisian.
Di banyak negara, pola ini adalah indikator
soft militarization of bureaucracy.
3. Perspektif Investigatif: Perpol 10/2025 Bukan Lahir dalam Ruang Hampa- Jika dilihat dengan kacamata investigatif ala
Tempo, Perpol 10/2025 mengandung sejumlah tanda:
Momentum politik: lahir pada akhir tahun, menjelang konsolidasi pemerintahan dan dinamika penempatan pejabat strategis.
Ruang jabatan yang sangat luas: 17 kementerian dan lembaga bukan angka kecil -- ini adalah akses sistemik.
Kecenderungan sentralisasi kekuasaan: semakin banyak aparat aktif mengisi jabatan sipil, semakin besar jaringan kontrol birokrasi.
Ini bukan sekadar regulasi. Ini adalah manuver kekuasaan dengan desain administratif.
4. Perspektif Hukum: Ini Benturan Fundamental, Bukan Perbedaan Tafsir- Dalam logika hukum tata negara:
Putusan - MK tafsir konstitusi
Perpol - peraturan administrasi internal
- Ketika Perpol 10/2025 bergerak bertentangan dengan tafsir MK, maka terjadi:
Cacat substantif
Bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiori
Mengaburkan batas kewenangan Polri
Meluaskan interpretasi secara sewenang-wenang terhadap norma konstitusi
- Dengan kata lain, Perpol 10/2025 rawan batal demi hukum ketika diuji dalam mekanisme
judicial review.
5. Mengapa Publik Harus Peduli?Karena persoalan ini bukan soal jabatan Polri semata.
Ini tentang: Kepastian hukum, Transparansi kekuasaan, Netralitas birokrasi, Kesehatan demokrasi, dan Tegaknya supremasi konstitusi
Jika Perpol seperti ini dibiarkan, maka yang runtuh bukan hanya batas sipil?"kepolisian, tetapi otoritas Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
Bila MK dibiarkan menjadi institusi yang dapat dinegosiasikan oleh peraturan turunannya, maka seluruh sistem hukum Indonesia terancam mengalami disorientasi konstitusional.
Penutup: Kembalikan Negara ke Rel Konstitusi
Sebagai pekerja hukum, saya melihat Perpol 10/2025 bukan sekadar kebijakan teknis, tetapi cambuk bagi keberadaan negara hukum itu sendiri.
Konstitusi adalah pagar kekuasaan. Putusan MK adalah penopang pagar itu. Peraturan administratif tidak boleh, dan tidak pernah boleh, menggeser tiang konstitusi.
Negara harus memilih: Patuh pada konstitusi atau patuh pada selera kekuasaan.
Jika konstitusi mulai dianggap sebagai opsi, bukan kewajiban, maka yang tersisa hanyalah republik tanpa kompas.
Kenny WistonAdvokat