Berita

Seminar Peta Kerawanan Gratifikasi Sektor Manajemen SDM ASN yang diselenggarakan KPK di Yogyakarta, Senin, 8 Desember 2025. (Foto: Humas KPK)

Hukum

KPK Luncurkan Peta Kerawanan Gratifikasi Sektor Manajemen SDM

SELASA, 09 DESEMBER 2025 | 23:17 WIB | LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menekankan pentingnya memahami peta kerawanan gratifikasi dalam manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hal itu disampaikan Direktur Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK, Arif Waluyo Widiarto dalam acara seminar "Peta Kerawanan Gratifikasi: Langkah Strategis Membangun SDM ASN yang Berintegritas" dalam rangkaian Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2025 di Gedhong Pracimasana, Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Senin, 8 Desember 2025.

Arif mengatakan, upaya pencegahan tidak akan efektif tanpa memahami titik rawan korupsi, yang mengakar dalam siklus pengelolaan SDM. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, seperti penerapan sistem merit, digitalisasi melalui SIASN dan CAT, hingga pembangunan zona integritas, masalah manajemen ASN masih ditemukan.


"Titik-titik rawan gratifikasi mulai dari rekrutmen, promosi jabatan, mutasi/rotasi pegawai, hingga pengelolaan kesejahteraan. KPK hadir untuk memperkuat sistem pencegahan," kata Arif seperti dikutip, Selasa, 9 Desember 2025.

Arif menilai, masalah seperti belum meratanya sistem merit pada rekrutmen dan promosi, belum meratanya kompetensi ASN, hingga belum optimalnya budaya kerja, berdampak pada rendahnya kinerja ASN sehingga berpotensi korupsi.

"KPK menilai, membangun manajemen SDM bersih, transparan, serta akuntabel merupakan pondasi penting dalam menciptakan birokrasi profesional, beretika, dan efisien. Adapun tujuan utamanya, guna mendukung efektivitas pelayanan publik, memperkuat integritas dan akuntabilitas pemerintah, serta mencapai tata kelola pemerintahan antikorupsi," terangnya.

Sementara itu, Konsultan Pemetaan Kerawanan Gratifikasi KPK, Sari Wardhani, memetakan 8 fokus manajemen ASN yang berpotensi menimbulkan praktik gratifikasi dan suap.

Delapan titik itu meliputi proses rekrutmen, mutasi dan promosi, penilaian kinerja, diklat, pengelolaan data, perencanaan pegawai, pengembangan karier, hingga penanganan disiplin.

"Integritas tidak bisa hanya mengandalkan individu, namun perlu peran pemimpin aktif, sistem transparan, dan SDM terlindungi. Tiga simpul ini harus bekerja serempak," kata Sari.

Sementara itu, dalam paparan kedua, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Pramusinto mengatakan, reformasi manajemen ASN harus fokus pada penanaman nilai integrasi, meskipun penerapannya dinilai belum berhasil di Indonesia.

"Kalau di Indonesia, barang tertinggal sebentar saja seringkali langsung lenyap karena bagi yang melihat itu dianggap rezeki," ungkap Agus.

Ia meyakini, perilaku tersebut muncul karena nilai integritas tidak diajarkan sejak kecil. Integritas justru seolah menjadi barang baru pada birokrasi atau dunia politik.

Di sisi lain, Plt Direktur Penuntutan KPK, Joko Hermawan Sulistyo, mengevaluasi perkara jual beli jabatan yang telah inkrah. Jual beli jabatan secara legal diklasifikasikan sebagai suap atau gratifikasi, yang diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 12 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

"Jual beli jabatan merusak sistem merit, bukan ‘uang syukuran’ atau ‘biaya jasa’, melainkan suap/gratifikasi yang mencabut hak ASN berintegritas dan merusak tata kelola birokrasi,” kata Joko.

Selain itu, Joko memaparkan sejumlah kasus konkret yang menunjukkan variasi modus operandi korupsi jabatan di tingkat daerah. Pertama, suap berkedok syukuran pada kasus Pemkab Pemalang yang menyeret mantan Bupati Pemalang berinisial MAW.

Kedua, suap untuk mempertahankan posisi pada kasus Pemerintah Kota (Pemkot) Medan, yang menyeret dua orang berinisial DE dan IA. Ketiga, penerimaan setelah perbuatan pada kasus Pemkot Tanjung Balai Karimun, yang menyeret Walikota berinisial MS meminta uang usai menetapkan Y sebagai sekretaris daerah.

Terakhir, gratifikasi jangka panjang pada kasus Pemerintah Kabupaten Probolinggo, yang menunjukkan pola gratifikasi berupa uang dan barang secara berkelanjutan, dari Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) ke Bupati Probolinggo.

"Kasus-kasus tersebut, menjadi contoh celah kecil yang dapat berkembang menjadi korupsi sistemik, sehingga perlu ‘diobati’ hingga ke akar," pungkas Joko.


Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Pasutri Kurir Narkoba

Rabu, 03 Desember 2025 | 04:59

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

UPDATE

Rais Syuriyah PBNU: Ada Indikasi Penetrasi Zionis

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:49

Prabowo: Saya Tidak Punya Tongkat Nabi Musa, Tapi Semua Bekerja Keras

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:42

Mohammad Nuh Jabat Katib Aam PBNU Kubu Sultan

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:19

Konstitusionalitas Perpol Nomor 10 Tahun 2025

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:18

Pemeriksaan Kargo Diperkuat dalam Pemberantasan Narkoba

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:11

Korban Meninggal Akibat Banjir dan Longsor Sumatera Tembus 1.006 Jiwa

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:53

Aktivis 98 Bagikan Paket Bantuan Tali Kasih Natal untuk Masyarakat

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:52

Kader Pemuda Katolik Bali Cetuskan Teori PARADIXIA Tata Kelola AI Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:39

Ketika Jabatan Menjadi Instrumen Pengembalian Modal

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:35

Tokoh Muda Dukung Prabowo Kejar Lompatan Gizi dan Pendidikan Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:29

Selengkapnya